“Mbak kok rasanya ada yang kurang ya?” gumam Zia tiba-tiba mengalihkan pandangannya dari layar laptop dan menatap Embun.
Embun mengangkat kedua alisnya, ”Apa yang kurang?” tanyanya heran, ”Sarapanmu tadi pagi?” tebaknya setengah bercanda. Zia menghela napas pelan, ”Bukan. Ini enggak ada hubungannya sama sarapanku tadi.” sahutnya cepat, ”Itu mbak soal undangan yang dititip sama mbak Alya kemarin.” kata Zia menyampaikan maksudnya. “Apa yang aneh? Alya kan memang tahunya dua Nara itu pasangan.” sahut Embun begitu menangkap hal yang dimaksud oleh rekannya itu. “Justru itu mbak!!” seru Zia tiba-tiba dengan nada meninggi hingga membuat Embun tanpa sadar memeluk dirinya sendiri. “Kamu bikin kaget orang saja!” omel Embun kaget. “Mbak bisa bayangin kalau seandainya mereka semua enggak sengaja ke kumpul jadi satu.” ujar Zia kini malah dengan suara berbisik seakan ada yang bisa mendengar pembicaran dirinya dan Embun. Embun meApa Ara akan pergi ke tempat resepsi Alya? Bagaimana dong nasib Nara? Jangan lupa vote dan reviewnya ya. 😁 ❤❤❤
“Sus dokter Nara mana ya?” tanya Arka begitu hanya menemukan perawat waktu membuka ruang praktek sahabatnya itu.Perawat yang bertugas di ruang praktek Ara memutar mata, ”Harusnya sih sebentar lagi datang dok.” jawabnya,”Enggak bilang akan telat sih dok.”jelasnya lagi.Arka mengeluarkan ponsel dari saku jas kerjanya lalu menghubungi sahabatnya itu, ”Kok enggak ada sinyal?” gumamnya sambil memandang layar ponselnya, ”Lagi ke mana itu anak? Di dalam gua?” tanyanya heran.#“Sekarang kita sudah di dalam mobil. Terus kamu mau terus ngelihatin aku kayak begitu?” tanya Ara sambil memiringkan kepalanya.Nara menghela napas lelah karena harus memakan waktu cukup lama untuk bisa menyeret pria satu ini, padahal dialah yang menjadi penyebab dari semua masalah ini.“Mas tahu enggak siapa teman mbak Davina yang menikah minggu ini?” tanya Nara akhirnya.Ara menggelengkan kepalanya, ”Kirain ada hal penting apa yang mau diomongin. Ya jelas en
"Itu anak sudah putus asa ya?" tanya Embun yang langkahnya terhenti saat hendak keluar untuk mengambil air minum.Zia memutar mata, "Iya nih. Jeng satu itu bahkan bilang kalau perlu akan daftar dulu untuk ketemu sama mas Ara." ujarnya, "Aku tuh selama bertahun-tahun kenal Nara, baru kali ini lihat dia mau repot karena urusan macam begini." komentarnya lagi."Enggak kamu doang kali. Aku juga baru kali ini, lihat itu anak jadi aneh begini." tambah Embun menanggapi.#“Tunggu yang jadi masalahkan kalau kita ketemu sama Davina dan Alya tapi kan minggu ini kamu kerja di tempat lain?” sahut Ara santai begitu selesai mendengar kekhawatiran yang disampaikan oleh adik sahabatnya itu. Nara memutar matanya, "Ya benar juga sih kata mas tapi kan bisa saja ada kemungkinan terburuk yang bisa terjadi tiba-tiba." ujarnya berandai-andai."Kamu lagi belajar nulis cerita ya?" tanya Ara sambil memutar matanya, "Maksudmu bisa saja ada kejadian ya
“Galang kena diare? Aduh?! Apa enggak dibawa ke dokter saja?” tanya Alya dengan wajah cemas begitu Zia memberitahukan mengenai keadaan pegawainya itu.“Sudah langsung ke rumah sakit tadi pagi mbak.” tambah Zia lagi, ”Jadi nanti Nara yang akan kemari.” jelasnya lagi.“Enggak apa-apa sih. Lagi pula kan acara pagi kita juga tidak terlalu banyak.” ujar Devan menanggapi dengan wajah tenang, “Yang penting sekarang keadaan Galang sudah mendapat perawatan dengan baik.” Katanya lega.Zia menarik napas lega mendengar kedua kliennya yang tidak panik, bahkan Alya dan Devan terdengar jauh lebih tenang daripada dirinya.#Nara tiba di lokasi resepsi Alya dan Devan sekitar pukul sebelas siang, ia masuk dengan tergesa-gesa setengah berlari menuju lift, ”Semoga saja semua bisa berjalan dengan baik.” harapnya cemas.Begitu pintu lift terbuka Nara melihat sahabatnya melintas, berlari dengan kecepataan penuh. Zia yang tidak sadar kalau Nara sudah da
Suasana dekorasi di ruang resepsi Alya dan Devan sangat meriah. Sekitar pukul tujuh malam perlahan para tamu undangan mulai berdatangan memenuhi ruangan.Nara yang kini sedang mengawasi keadaan di ruangan berharap-harap cemas agar Ara tidak tiba-tiba muncul di hadapannya.“Lagi cari apa sih dirimu?” tanya Zia yang tanpa sadar jadi ikut memandang ke arah pintu ruang resepsi tempat para tamu mulai bermunculan.“Bukan cari apa tapi siapa.” sahut Nara masih terus menatap ke arah yang sama.Zia memutar mata, “Memang siapa yang dirimu cari?” katanya lagi mengkoreksi pertanyaannya.“Siapa lagi?” sahut Nara malah balik bertanya.“Eh! Itu kan mbak Davina!” seru Zia tiba-tiba dan dengan spontan menunjuk dengan jari telunjuknya, “Aduh mbak satu itu keren banget ya. Selalu kekinian.”komentarnya.Dengan cepat Nara menurunkan tangan sahabatnya itu, ”Jangan ditunjuk!” ujarnya lalu bergegas pura-pura sibuk membuka lembaran kertas
Nara keluar dari kamarnya sambil menguap lebar dan berjalan menuruni tangga dengan mata yang nyaris tertutup.“Kamu itu sudah bangun apa belum sih? Ini sudah siang, bisa-bisa nanti ditinggal mas mu.” tegur ibu Linda yang melihat anak gadisnya yang sedang turun dengan langkah terseret.“Aku enggak bisa tidur ma.” jawab Nara pelan sambil mendorong pintu kamar mandi. Setelah pembicaraan aneh tadi malam dengan Arka, entah kenapa Nara jadi merasa kalau hari ini sesuatu sudah menunggu dirinya.#“Kamu itu sudah besar kenapa masih saja kalau minum berantakan?!” omel ibu Ratih sambil menyodorkan serbet pada putera bungsunya.“Mama ini bukan berantakan tapi keluar semua isi mulutku!” protes Nathan yang kesal karena ibunya tidak merasa kalau dirinya lah yang sudah menjadi penyebab semua kejadian konyol di meja makan pagi ini.“Yang penting nanti kamu jangan lupa ya suruh Nara kemari.” kata ibu Ratih lagi sambil menoleh menatap Ara, tan
“Halo mas!” sapa Danu begitu berpapasan dengan Arka di parkiran rumah sakit.“Eh kamu ke sini mau jemput dokter Tio?” tanya Arka begitu menyadari siapa yang menyapanya.Danu mengangguk santai, ”Wah pemasukan jadi dokter ternyata lumayan juga ya?” komentarnya sambil menunjuk mobil di hadapan mereka.“Ini mobil punya Nara.” ralat Arka cepat begitu menangkap maksud Danu, ”Aku baru kasih makan satu kali saja sudah kapok.” tambahnya sambil tertawa.“Mas Nara itu jadi dokter hanya untuk hobi ya?” canda Danu wajah yang sengaja dibuat-buat.“Yang pasti Nara jadi dokter karena lulus kuliah kedokteran.” jelas Arka membalas candaan Danu.Danu ikut tertawa geli, ”Iya juga sih mas. Masa lulus kuliah kedokteran jadi koki.” sahutnya.“Sudah ya! Aku mau pulangin ini mobil dulu.” pamit Arka sambil hendak membuka pintu mobil.#“Aku sudah selesai. Aku kembali ke kamar ya.” pamit Ara berusaha melarikan diri.“Kam
“Kalian itu kemarin seharian ke mana?” tegur Embun begitu sampai di kantor, ”Memang kantornya mas Baro sudah pindah ke Hong Kong?” omelnya lagi.Nara hanya bisa tersenyum dengan wajah lelahnya, karena sudah dua malam dirinya tidak bisa tidur. Ia menarik kursi kosong di sebelah Zia yang sedang sarapan dan langsung meletakan kepalanya di atas meja panjang di tengah kantor.“Maaf mbak, kemarin itu kami kena macet parah banget.” sahut Zia dengan wajah yang tidak jauh berbeda lelahnya, “Setelah itu kami harus menghadapi kisah menakutkan pakai banget mbak.” ujarnya lagi.“Jadi mbak kemarin pergi nonton film horor?” tebak Nadira dari meja kerjanya dengan wajah bingung.“Nadira sayang, sejak kapan kami pernah tiba-tiba pergi nonton film di tengah-tengah jam kerja? Apa lagi kemarin itu aku perginya sama Nara.” sahut Zia menjelaskan.Mendengar komentar sahabatnya spontan Nara langsung menoleh lalu mencibir tanpa suara.“Jadi ada keja
Karena Arka dan Rio harus pergi menjemput dokter Tio beserta istrinya jadilah Nara dan seisi kantornya malah ikut menemani Ara di UGD, bukan menemani lebih tepatnya mereka semua penasaran kenapa para dokter itu ramai-ramai menangis.“Mas sudah jangan diam begitu kenapa? Bikin takut orang tahu.” tegur Nara pada Ara yang hanya duduk diam di sebelahnya tanpa mengatakan apa pun.Ara yang tadi sempat terisak saat menghadapi kepergian Danu hanya menghela napas panjang.“Mas enggak mau makan?” tanya Galang yang baru datang sambil menyodorkan hamburger yang baru saja dibelinya bersama Nadira dari restoran cepat saji di depan mal.Namun bukannya menanggapi Ara malah hanya mengangkat kepala menatap ke arah Galang yang berdiri di hadapannya.“Ada apa mas?” tanya Galang yang kebingungan dengan maksud tatapan yang ditujukan kepadanya.Terlihat ada rasa penyelasan di mata Ara, ”Seharusnya jangan aku angkat waktu itu.” gumamnya pelan