"Sudahlah, Bu. Gak usah mikirin ayah lagi," jawab Fitri saat sang ibu mempertanyakan ayahnya yang tidak kunjung menjenguk. Bu Fatimah terdiam seketika. Ia mengerti dengan kekesalan anaknya pada Pak Burhan. Memang seharusnya seorang ayah bisa jadi contoh untuk putrinya. Bukan malah sebaliknya. Hari sudah kian sore, tiba-tiba terdengar ketukan pintu. Qintan segera bangkit dari duduknya. Ia bahkan sudah hafal dengan ketukan suaminya di pintu. "Sudah pulang, Mas." Qintan segera mencium tangan suaminya. Mereka pun masuk bersama. Farid langsung menyalami ibunya yang sedang duduk di sofa. Mereka pun kembali duduk bersama. Saat makan malam, mereka menuju ke ruang makan. Untungnya makanan sudah tersaji oleh Qintan. Ia senantiasa melakukan semua pekerjaan rumah di sana tanpa paksaan. "Eum, aku tahu ini masakan siapa," celetuk Fitri di tengah-tengah. "Emang siapa?" tanya Qintan penasaran. Ia sih rasanya sama saja antara masakannya san ibu mertuanya. "Mbak Qintan kalau ini. Punya ciri kha
Pak Burhan sedang menghabiskan waktu dengan mereguk surga dunianya. Ia seolah lupa kalau punya istri pertama yang kemarin masih di rumah sakit. Pak Burhan terkulai lemas setelah menuntaskan hasratnya. Rasanya dunia sedang berada di genggamannya saat ini. Saking nikmatnya yang dirasakan. "Gimana, Mas? Puas kan?" tanya Bu Melvi setelah mereka selesai."Selalu, Dek. Kamu memang yang terbaik! Pokoknya service Dek Melvi gak ada duanya. Sampai pinggang Mas pegel ini," puji Pak Burhan sembari mengacungkan jempolnya. "Iya dong. Aku emang paling jago muasin lelaki. Makanya, kalau mau terus sama-sama harus kasih setorannya yang banyak," celetuk Bu Melvi terdengar seperti menagih. Bu Melvi tersenyum lebar sembari memeluk Pak Burhan. Itulah jurus andalannya saat sang suami marah atau ingin meminta uang. "Iya, iya. Tar kalau udah ada biar Mas kasih lebih buat kamu, Dek," jawab Pak Burhan dengan sedikit kesal. Istri keduanya ini persis angkot. Tergantung setoran baru bisa melayani dengan baik
"Pak, ada ibu?" tanya seorang anak gadis yang baru masuk ke halaman rumah. Pak Burhan yang hendak masuk, kembali menoleh ke belakang. Ia menatap dan mengira-ngira siapa daun muda itu. Wajahnya agak mirip dengan Bu Melvi istrinya. Tapi, hidungnya lebih mancung dan kulitnya lebih cerah. Hanya saja untuk anak seusianya badannya agak bongsor atau boros."Ada, adek siapa ya?" tanya Pak Burhan seraya menghampiri gadis itu dengan tatapan beringas. Ia bagai menemukan mangsa baru.Gadis itu memandang tak suka pada Pak Burhan. "Saya Tiana, anaknya Bu Melvi," jelas Tiana membuat ayah tirinya kecewa.Pak Burhan hanya pernah melihat anak itu sekilas saat awal menikah. Jadi, tidak begitu hafal dengannya. Berbulan-bulan menikah, anak itu juga tidak pernah datang ke rumah. Wajar saja dirinya lupa. Tiana tinggal dengan ayahnya yang merupakan mantan suami Bu Melvi. Ia lebih betah di sana dibanding bersama ibunya."Ada, Dek, ayo masuk!" ajak Pak Burhan dengan semangat. Tiana mengikuti langkah Pak B
Fitri sedang menyuapi Bu Fatimah makan siang. Keadaan Bu Fatimah sebenarnya sudah mulai membaik, hanya saja ia yang memaksa untuk menyuapi. Alasannya kalau dirinya sakit, ibunya juga selalu perhatian dan menyuapinya makan."Ibu harus makan yang banyak. Biar cepat sembuh," ucap Fitri disela-sela menyuapi makan ibunya. Bu Fatimah hanya tersenyum tipis mendengar ucapan putrinya. Walaupun ia diberi ujian suami yang selingkuh, untungnya anak-anaknya sangatlah baik. "Makasih ya, Fit," ucap Bu Fatimah setelah selesai makan. Suaranya masih terdengar lesu karena masih sakit. "Sama-sama, Bu," jawab Fitri dengan senyum manis. Farid telah berangkat ke toko sejak pagi tadi. Sementara Qintan masih ada di rumah Bu Fatimah untuk menjaganya dikala Fitri kuliah."Bu, boleh aku tanya?" tanya Fitri ragu."Tentu, kalau bisa akan Ibu jawab," jawab Bu Fatimah yang juga penasaran dengan pertanyaan putrinya. "Soal surat-surat berharga Ibu, gimana? Dengar-dengar Ayah menggadaikan tanah di desa sebelah ke
Flash back.Waktu mondok."Dek Fatimah, aku mencintaimu," ucap Rahmat yang sedang piket di dapur umum belakang rumah salah satu dewan pondok.Kebetulan Fatimah sedang piket beberes di rumah dewan tersebut. Sementara Rahmat sedang piket masak nasi untuk santri. "Kalau benar, datang ke orang tuaku. Karena ... aku tak berniat pacaran," ujar Bu Fatimah kala itu."Baik, tunggu aku, nanti aku akan langsung bertemu orang tuamu!" Rahmat kemudian pergi melanjutkan masak di dapur umum tersebut.Rahmat adalah sosok santri sederhana dan mau bekerja keras. Disela kegiatan mengaji ia juga menjadi seksi usaha pondok, yang memajukan usaha koperasi di tempatnya menimba ilmu.Seminggu setelah kejadian itu, Rahmat pulang ke kampungnya karena ayahnya meninggal. Kemudian, ia tak kembali lagi ke pondok.Hati Fatimah sebenarnya telah dicuri Rahmat sejak lama. Bahkan sebelum kejadian itu. Merasakan rindu dan sakit dengan perginya pencuri hati.'Kemana kamu, Mas Rahmat. Andai saja aku bisa memilih, lebih bai
"Dek, bangun! Katanya mau berangkat menemui gurumu!" Pak Burhan mengguncang tubuh Bu Melvi di pagi buta. "Entar siangan, Mas. Aku masih ngantuk banget ini!" Bu Melvi malah berbalik dan membelakangi Pak Burhan. Memang tidak biasanya ia bangun jam segitu sejak menikah. Mereka selalu bangun jika matahari sudah meninggi. "Padahal aku ingin segera bertemu guru itu, biar tokoku cepat laris," gerutu Pak Burhan yang tak digubris sama sekali oleh Bu Melvi. Namun, ia juga tidak bisa berbuat apa-apa kalau istrinya sudah berkata. "Siapin sarapan dulu, gih! Biar nanti aku bangun tinggal sarapan terus berangkat!" titah Bu Melvi tanpa menoleh ke arah suaminya.Pak Burhan menurut dan lekas pergi ke dapur. Ia hanya bisa masak nasi goreng ala-ala sendiri, jadilah itu yang dimasaknya. Tapi, rasanya lumayan enak. Setelah selesai, Pak Burhan memanggil Bu Melvi untuk sarapan. Tapi, karena masih terlalu pagi Bu Melvi enggan untuk bangun. Ia masih betah bergelung di bawah selimutnya yang tebal. "Baru j
"Bu, Ayah sebenarnya punya nazar yang ingin ditunaikan," ucap Pak Burhan di pagi hari yang cerah.Ia sedang duduk santai di meja makan sembari menunggu teh. Istrinya sedang sibuk membuat teh manis kesukaannya. "Wah, nadzar apa, Yah? Kalau untuk kebaikan, nazar yang mendekatkan diri pada Allah tentu Ibu setuju." Bu Fatimah tersenyum. Tangannya mengaduk teh manis untuk sang suami. Rutinitas pagi yang selalu dilakukannya untuk lelaki yang sudah berusia kepala lima itu. Ia selalu mendukung segala hal baik yang dilakukan suaminya. Terlebih hal itu semakin mendekatkan suaminya pada Sang Pencipta. "Tentu, ini adalah sebuah kebaikan yang harus disegerakan. Ayah ingin membantu seseorang." Pak Burhan berkata dengan sumringah. "Memang Ayah nazar apa?" tanya Bu Fatimah sembari meletakan cangkir teh pada piring kecil untuk diserahkan pada suaminya. "Nazar jika Ayah sukses dan mapan akan berpoligami seperti sunnah Rasulullah. Gimana ? Baik kan?!" Pak Burhan berkata dengan begitu entengnya. P
Melihat itu, Farid langsung menahan tangan ayahnya. Bagaimanapun ia tak ingin wanita di rumah itu disakiti. "Dasar anak durhaka!" pekik Pak Farid sembari berontak dari cengkraman tangan anak pertamanya. "Astaghfirullah, Yah, istighfar! Fitri anak kita." Bu Fatimah berusaha mengingatkan suaminya yang hampir kalap dan menampar anak perempuannya. Bahkan sampai mengatakan Fitri anak durhaka."Anak kamu ini, disekolahin tinggi-tinggi malah kurang ajar sama orang tua!" Pak Burhan menatap Fitri nyalang. Fitri sekarang sedang menempuh kuliah, baru semester dua. Perjalanan hidupnya masih sangat panjang. Tapi, sudah dirumitkan dengan masalah seperti ini. "Sudahlah, bagaimanapun tanggapan kalian! Ayah akan tetap menikah lagi, karena itu nadzar Ayah!" Pak Burhan berdiri dengan amarah tergambar jelas di wajahnya. "Nadzar apa nafsu?!" ejek Fitri yang masih tak mau kalah.Pak Burhan melotot, anak bungsunya ini sangat kurang ajar. Padahal biasanya ia sangat manis, meski memang wataknya keras kep