Share

Bab 4

Di dapur, Laila menuangkan air ke dalam gelas yang berada di hadapannya. Ia meneguk air tersebut hingga tandas. Wanita dengan mata bulat itu menghela napas, menyenderkan tubuh pada kulkas. Ia menatap lurus dengan pandangan kosong. Hatinya bergemuruh, marah, sedih, kesal jadi satu.

Tuhan sedang bermain-main dengan kehidupanku. Aku tidak boleh lemah, aku harus bangkit dan menunjukkan kepada Mas Bimo dan keluarganya bahwa mereka tidak bisa semena-mena padaku. Aku bukan budak yang harus memenuhi hasrat dan kebutuhannya. Aku wanita biasa yang juga butuh kasih sayang dan perhatian. Batin Laila.

Tanpa sadar air mata mengalir di pipi mulus Laila. Ia menghapus air mata dan kembali menghela napas. Laila beranjak dari tempatnya menuju kamar Naya. Jam telah menunjukkan pukul 22.00, perlahan Laila membuka pintu kamar. Di sana, sang putri sudah tertidur pulas sambil memeluk boneka beruang. Laila duduk perlahan di samping Naya, dibelainya rambut gadis kecil itu. Derai air mata semakin mengalir deras saat Laila mencium lembut pucuk kepala Naya.

“Maafkan Bunda yang membawamu ke situasi sulit seperti ini, Sayang. Bunda janji, besok kita akan menjalani hidup yang lebih bahagia. Bunda akan membawamu keluar dari situasi ini.” Laila bermonolog sendiri.

***

Bimo berdecak kesal, ia mengumpat sang istri karena telah mempermainkannya. Laki-laki dengan rahang tegas itu menyandarkan tubuh ke kepala ranjang. Ia menghela napas kasar dan memijat dahi. Kepalanya merasa sakit karena hasrat yang tidak dapat disalurkan.

Bimo memejamkan mata, teringat saat pertama kali ia terpesona dengan kecantikan Laila. Ia tersenyum kala kembali teringat senyum manis Laila. Mereka bertemu di acara pernikahan salah satu sahabat. Lalu, mereka diperkenalkan satu sama lain, sejak saat itu Bimo dan Laila sering bertukar kabar melalui pesan singkat atau pun telepon. Beberapa bulan kemudian mereka menikah, pernikahan yang sederhana, tetapi sangat berkesan. Hari-hari yang dilalui penuh tawa dan cinta.

“Aarrgghhh ....” Bimo berteriak dan melemparkan bantal ke segala arah.

Frustrasi, itu yang dirasakan Bimo saat ini. Sebagai laki-laki dan juga kepala keluarga, Bimo merasa gagal. Ratna sebagai ibu terlalu mengatur dan ikut campur masalah keluarganya. Namun, hal itu tidak akan terjadi jika Bimo bisa tegas dan tidak terlalu manjah. Tertekan, kesal, bingung, dan merasa bersalah, hal itulah yang memicu Bimo terpengaruh minuman keras. Ia tidak bisa melampiaskannya kepada sang ibu. Jauh di lubuk hatinya, ia sangat mencintai Laila. Sakit hatinya saat Ratna membentak Laila, tetapi laki-laki yang telah memberikan cinta kepada Laila itu terlalu cemburu saat sang istri dekat atau berbicara dengan laki-laki lain.

Sebagai seorang penjual kue dan sarapan di stasiun, Laila sering berinteraksi dengan lawan jenis, hal ini salah satu alasan perubahan sikap Bimo. Cemburu melihat istrinya melayani pembeli jika seorang laki-laki. Laila yang memiliki paras cantik, kulit sawo matang dengan senyum manis khas orang Jawa dan sikapnya yang ramah kepada semua orang, membuat kaum adam terpesona.

Kini, ditambah lagi masalah yang sedang menimpa sang ayah, Bimo semakin yakin tidak mau melepaskan istrinya begitu saja. Siapa yang akan menunjang ekonomi mereka jika Laila meninggalkannya. Beberapa aset ayahnya sedang dalam pemeriksaan, tidak menutup kemungkinan hal terbutuk akan terjadi pada keluarganya. Bimo harus mengantisipasi dengan memanfaatkan Laila sebagai tulang punggung dan tempat mereka bertedu jika suatu saat hal yang tidak ia inginkan terjadi pada sang ayah.

“Tidak, aku tidak akan membiarkan Laila pergi dari hidupku!” ucap Bimo sambil meremas bantal di tangannya. “Jika kau berani meninggalkanku, maka akan kubuat hidupmu menderita.”

***

Dua pekan berlalu, Bimo sudah kembali beraktivitas setelah berpura-pura dianiaya Laila.Pria tinggi itu sudah siap dengan pakaian kerjanya, terdengar dering ponsel, ia merogoh kantung celana untuk mengambil ponsel tersebut. Di layar tertulis nama Ratna, Bimo menghela napas, sebelum menekan tombol hijau.

“Iya, Ma,” jawab Bimo malas.

Laila yang duduk di kursi meja makan, hanya melirik sekilas tanpa memedulikan suaminya yang hendak berangkat kerja. Ya, sejak kejadian itu, Laila mulai menjaga jarak kepada Bimo. Ia masih memikirkan cara untuk lepas dari suami mokondonya.

Bimo menghampiri Laila yang sedang menyantap nasi goreng bersama Naya. Diusapnya kepala sang istri, tetapi ditepis Laila. Saat Bimo mengulurkan tangan untuk berpamitan, wanita dengan dress biru selutut itu berdiri dari duduk dan menuju dapur. Bimo, mengeretakan gigi, kesal dan malu karena penolakan Laila.

“Aku pergi,” pamit Bimo meninggalkan ruangan itu.

Laila tidak memedulikan ucapan sang suami, ia masih sibuk mencuci piring bekas mereka makan.

Dengan mobil pemberian orang tuanya, Bimo meluncur membelah jalanan. Keluar gerbang perumahan, ia berbelok ke arah kiri, berlawanan dengan kantor kepala desa tempatnya bekerja.

Mobil silver itu berhenti di sebuah bangunan mewah di salah satu kompleks perumahan elit. Bimo masuk ke rumah itu, di ruang tamu sudah ada Ratna dengan pakaian mewah serta dandanan menornya. Gelang emas serta cincin memenuhi tangan.

“Mama kenapa gak minta antar sopir aja sih, aku kan mau kerja, nanti telat.”

“Elah, kamu gak kerja juga gak akan dipecat. Berani kades itu pecat kamu, jangan harap dia bisa menjabat lagi. Ayo, antar Mama ke rumah Tante Widya. Nanti Mama kenali sama anaknya, ya.”

Bimo tidak menjawab perkataan Ratna. Seperti sapi yang dicolok hidungnya, ia berdiri dari duduk dan mengekor di belakang sang ibu tanpa protes sedikit pun.

***

“Kamu gak mau masuk dulu dan kenalan sama anaknya Tante Widya? Dia cantik, loh. Lulusan Jepang.” Bimo hanya menggeleng menanggapi ucapan wanita dengan bulu mata anti badai itu. “Oke, jam 3 jemput Mama, ya,” ujar Ratna lagi karena respons yang diharapkan tidak sesuai.

Bimo melaju meninggalkan rumah bercat biru itu. Ratna masuk dengan langkah gemulai. Di dalam telah ramai teman-teman sejawatnya yang merupakan geng arisan kelas tinggi. Senyum merekah dari sudut bibirnya saat melihat sambutan ibu-ibu yang melambaikan tangan padanya. Ratna duduk di sebelah salah satu wanita yang tidak kala menor setelah merekacupika-cupiki.

“Jeng, aku sebel deh sama anakku. Masa kemarin aku minta uang buat beli gelang emas gak dikasih. Katanya uang dia dipegang semua sama istrinya. Padahal ya, istrinya itu cuma di rumah doang, untuk apa coba pegang uang banyak-banyak. Aku malah disuruh izin dulu sama istrinya,” gerutu wanita dengan lipstik merah menyala yang duduk di sebelah Ratna.

“Iiihh ..., kok, sama? Aku juga kemarin bilang sama Anton kalau aku mau liburan, katanya gak ada uang, istrinya baru aja bayar uang kuliah S2. Kan, aku ibunya, masa mentingin istri. Mana dikuliahin lagi, buat apa coba? Udah bagus suruh di dapur aja ini malah disuruh kuliah lagi,” timpal wanita yang duduk di sofa tunggal tepat di seberang meja.

“Aduh, Jeng, kok, pada ngeluh, sih. Udah terima nasib aja kalau anak kalian itu suami-suami takut istri. Kayak Bimo, dong, meski pun udah punya istri, tapi dia gak pernah lalai sama aku. Uang bulanan masih tetap dapet, mau apa-apa tinggal bilang, besoknya udah ada. Ke mana-mana tinggal telepon, pasti dianterin. Istrinya mah dikasih seberapa aja nurut, gak pernah protes. Malah bagus nyari uang sendiri gak nyusahin Bimo,” jawab Ratna dengan angkuhnya.

Ibu-ibu yang mendengarkan hanya tersenyum miring, ada yang saling senggol seolah-olah mencibir perkataan Ratna. Pasalnya mereka tahu bahwa Laila berjualan sarapan serta kue di stasiun setiap pagi.

“Bagus, sih, Jeng, masih inget ibunya, tapi gak gitu juga sih, masa kita yang masih sehat dan tanggungan suami malah minta jatah bulanan dari anak? Lagi pula, suami Jeng Ratna, kan, pejabat. Gajinya gede, uangnya gak berseri. Harusnya Jeng Ratna yang ngasih Bimo, bukan sebaliknya. Dan parahnya masa mantu sampai harus jualan di stasiun,” ejek salah satu ibu yang memang saingan Ratna.

Ratna yang mendengar ejekan dari wanita itu menjadi kesal. Wajahnya merah menahan amarah dan malu. “Laila itu bandel, udah dibilangin di rumah aja terima uang, masih aja mau jualan, katanya bosen kalau di rumah aja,” kilah Ratna.

“Omongannya gak sesuai fakta, padahal si Bimo tertekan, Anton pernah cerita kalau melihat Bimo mabuk karena Jeng Ratna selalu morotin anak, sampai mantunya gak dikasih jatah belanja sama si Bimo,” bisik salah satu ibu-ibu.

“Gosipnya, sih, suami Jeng Ratna lagi kena kasus,” timpal salah satunya.

“Gak benar itu!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status