Share

Bab 7

Sebelum Ratna berbuat kasar, Laila langsung berdiri dan berlari menuju kamar Naya sambil menjulurkan lidah ke arah mertuanya. Dari balik pintu, ia tertawa geli melihat ekspresi Ratna yang kesal karena diledeknya.

“Ini baru awal, Ma. Aku bukan Laila yang dulu, yang hanya diam saja saat kau hina.” Laila bermonolog.

“Bunda, kenapa?” tanya Naya melihat sang bunda tertawa sendiri. Laila hanya menggeleng lalu berjalan mendekati Naya, duduk di sebelah sang putri yang sedang mewarnai.

Di luar, Ratna mengumpat perbuatan menantunya itu. Mendengar teriakan Ratna, Bimo yang tengah tertidur di kamarnya, keluar sambil berjalan malas.

“Ada apa, sih, berisik sekali!” bentaknya.

Wanita yang dari tadi berdiri di depan meja makan, menoleh ke sumber suara. Mendapati anak laki-lakinya keluar kamar. Ia berjalan mendekat dan menjewer telinga Bimo. Menumpahkan kekesalan atas tindakan Laila kepada Bimo.

Laki-laki dengan celana pendek itu menjerit. Matanya terbelalak menyadari bahwa sang ibu yang membuat keributan hingga tidurnya terganggu.

***

Bimo duduk di warteg langganannya, tidak jauh dari balai desa. Di antara jari tengah dan jari telunjuk Bimo terselip sebatang rokok di mana ujungnya telah dibakar. Dia mendekatkan benda itu pada mulut, menghisap, kemudian mengeluarkan asapnya dari mulut dan juga hidung. Kemudian menyesap kopi yang berada di hadapannya. Bimo memikirkan bagaimana cara mendapatkan uang untuk melunasi hutang-hutangnya. Semakin hari para preman itu semakin brutal. Ia tidak bisa bebas ke mana-mana karena selalu diintai oleh para penagih hutang itu.

Bimo tidak mau sampai orang tuanya tahu kalau ia terlibat banyak hutang, belum lagi Ratna yang selalu banyak permintaan. Perawatan, shopping, arisan, dan lainnya. Padahal uang ayah Bimo lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan ibunya. Namun wanita yang telah melahirkannya itu lebih gemar meminta uang kepada sang anak dengan dalih balas budi karena sudah mengandung, melahirkan, serta membesarkannya.

Dari kejauhan, Bimo melihat pria dengan seragam cokelat berjalan ke arahnya. Otaknya langsung menemukan ide. Bimo melambaikan tangan kepada pria itu, kemudian memberi dengan menepuk bangku kosong di sebelahnya, kode agar si pria duduk di sebelahnya.

Pria dengan perut buncit itu pun duduk di sebelah Bimo dan mengisyaratkan kepada pemilik warung agar menyiapkan makan untuknya.

“Makin ganteng aja Pak Kades ini, setiap hari kelihatannya makin muda,” puji Bimo seperti penjilat.

Sedikit berdehem, pria yang merupakan kepala desa itu tersenyum bangga mendengar gombalan Bimo. Wajahnya tampak semakin sombong atas pujian yang dilontarkan.

“Bisnis kemarin lancar, Pak?” basa-basi Bimo sebelum melakukan serangan. Pak Kades hanya mengangguk menanggapi pertanyaannya.

Bimo menggeser kursinya agar lebih mendekat lagi ke kursi Pak Kades. “Ehm ..., begini, Pak, sebenarnya saya gak enak mau bilangnya, tapi gimana, ya, saya lagi butuh uang. Mertua saya lagi sakit, harus operasi secepatnya. Jadi, saya mau menggadaikan rumah saya ke Bapak. Itu, sih, kalau Bapak mau menolong saya,” ujar Bimo dengan wajah memelas dan sedih.

“Kenapa gak minta sama Pak Hermawan aja? Papamu pasti dengan mudah mengeluarkan uang,” tutur Pak Kades sambil menerima sepiring nasi rames lengkap dengan lauknya yang baru saja diantarkan.

“Bapak, kan, tau sendiri kalau Mama tidak menyukai Laila dan keluarganya. Bisa marah dia kalau tau aku meminjam uang untuk operasai ibu. Ayolah, Pak, bantu aku. Aku akan merasa bersalah jika tidak bisa menjadi menantu yang bermanfaat. Masa aku tega melihat orang tua istri dalam keadaan sakit dan harus dioperasi aku hanya diam saja.” Bimo memasang wajah menyedihkan untuk meyakin Pak Kades yang juga seorang rentenir.

Sambil menyendokkan nasi ke mulutnya Pak Kades bertanya, “Kamu butuh berapa?”

“250 juta, Pak,” jawab Bimo cepat.

“Balik 300 juta dalam 2 bulan. Kalau mau antarkan sertifikatnya ke rumah siang ini.”

Seperti mendapat durian runtuh, Bimo langsung menyanggupinya. Urusan bagaimana nanti ia melunasinya belakangan, yang terpenting saat ini ia dapat terbebas dari preman-preman itu. Namun tanpa ia sadari, dari jauh ada yang memperhatikannya.

Bimo bergegas pamit dari sana dan meminta izin pulang untuk mengambil sertifikat rumah milik Laila. Pak Kades hanya mengangguk tanda setuju. Secepat kilat ia menunggangi kuda besi milik Laila untuk segera pulang ke rumah. Dalam benaknya sangat berbunga-bunga, kesempatan baik karena Laila masih berada di stasiun saat ini. Bimo merasa lebih leluasa untuk mengambil sertifikat rumah itu.

Sesampainya di rumah, Bimo langsung menuju kamar dan membuka lemari pakaian. Ia tahu persis di mana istrinya menyimpan surat berharga itu. Laci bawah, tepat bagian tengah lemari. Diliriknya jam yang melingkar ditangan kiri, sudah pukul 12.55, sebentar lagi Laila pulang, cepat ia mengambi benda itu, kemudian penyambar kunci motor yang tergeletak di atas meja. Sebelum pergi, ia menghubungi Pak Kades, menanyakan di mana mereka akan bertemu.

“Baik, Pak, saya ke sana sekarang.” Bimo menyalakan motor dan melesat cepat ke tempat yang telah disepakati.

Hampir 40 menit membelah jalanan, laki-laki yang mengenakan jaket biru itu masuk ke dalam sebuah kafe tidak jauh dari balai desa. Di sana, sudah ada Pak Kades yang menunggu dengan segelas jus jeruk dan sepiring pisang goreng di hadapannya. Bimo duduk di kursi yang berada di depan pria itu. Tanpa basa basi, Bimo langsung menyodorkan map berwarna hijau dengan lambang garuda itu kepada pria di hadapannya.

“Sesuai kesepakatan tadi, 250 juta kembali 300 juta dalam waktu 2 bulan,” terang Pak Kades. “Jika dalam waktu 2 bulan tidak ada tebusan, maka rumah itu jadi milikku.”

“Baik, Pak.”

Pak Kades mengambil ponsel yang tergeletak di meja, mengutak-atik benda itu, lalu kemudian menunjukkan bukti transfer kepada Bimo.

“Sudah aku transfer ke rekeningmu.”

“Terima kasih banyak, Pak.” Bimo meraih tangan Pak Kades dan menyalaminya.

Bimo lega, masalah hutangnya untuk sementara bisa diatasi. Selanjutnya ia akan mencari alasan yang tepat agar Laila tidak murkah.

Keluar dari kafe tersebut, Bimo langsung menghubungi para preman yang mengincarnya. Hari itu juga ia harus menyelesaikan semua agar Ratna tidak curiga lagi kepadanya.

***

Malam itu, di meja makan, wajah Bimo tampak semringah. Ia seperti burung yang baru saja bebas dari sarang. Menikmati hidangan telur ceplok, sayur bening, dan oseng tempe tanpa protes. Biasanya, setiap kali Laila memasakkan masakan sederhana, ia akan protes dan marah lalu keluar sambil membanting pintu. Namun kali ini ia sangat menikmati lauk yang di sajikan istrinya.

Laila hanya menatap suaminya heran, tidak biasanya laki-laki yang duduk di hadapannya itu makan dengan lahap dan terlihat sangan bahagia. Namun ia tidak begitu peduli, setidaknya hari ini tidak ada pertengkaran di antara mereka.

Namun sepasang suami istri itu terkejut karena gedoran pintu yang sangat keras. Siapa yang tidak sopan bertamu ke rumah orang dengan menggedor begitu kencang. Cepat Laila berjalan menuju pintu. Laila terkejut saat membuka pintu dan orang di hadapannya langsung menyerobot masuk.

“Andara!” Pekik Laila.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status