Share

Nelangsanya Jadi Istrimu, Mas!
Nelangsanya Jadi Istrimu, Mas!
Penulis: Dee

Bab 1

Suara pintu yang membentur tembok menimbulkan getar. Laila yang baru terlelap beberapa menit langsung terperanjat. Ia melihat jam di dinding, jarumnya masih menunjukkan pukul 22.15. Laila langsung bangkit dan menuju ke luar saat namanya dipanggil beberapa kali.

“Laila!” pekik laki-laki itu.

Laila berjalan tergopoh-gopoh ke sumber suara. Ia mencium bau menyengat dari tubuh laki-laki itu, “Mas, kamu mabuk”

Laki-laki yang masih berdiri sempoyongan di depan meja makan itu mendorong tubuh Laila hingga membentur sudut lemari. Wanita itu sedikit meringis saat bahunya terbentur lemari.

 “Aku lapar, siapkan makanan!” titah Bimo, suami Laila.

Laila masih bergeming di tempatnya.

“Hei! Kamu denger gak, sih, aku bilang siapkan makan! Aku lapar!” teriak Bimo.

“Tidak ada lauk dan nasi, Mas,” jawab Laila.

Bimo menendang kursi yang ada di hadapannya, “Kamu gak tinggali aku nasi dan lauk?”

Laki-laki yang dipengaruhi alkohol itu mendekati Laila dan mencengkeram wajah istrinya dengan kasar.

“Kamu mau aku kelaparan? Sudah berani kamu sama aku sekarang, ya!” Bimo melirik ke arah dapur yang masih sedikit berantakan, “kamu habis buat makanan, ‘kan? Cepat siapkan untuk aku!” titah Bimo dengan tatapan tajam.

“Gak ada!” benta Laila sambil sedikit meringis karena menahan sakit oleh cengkeraman sang suami.

“Cepat keluarkan makanan yang kau sembunyikan!” Bimo mendorong tubuh Laila hingga terjatuh ke lantai.

“Gak ada makanan! Kamu lupa atau pura-pura lupa? Pagi tadi sebelum pergi bekerja, aku minta uang untuk beli beras, tapi kamu bilang tidak ada dan kamu akan berusaha mencari uang untuk makan hari ini. Nyatanya, kamu pulang dalam keadaan mabuk dan marah-marah,” sungut Laila.

“Istri kurang ajar!” Bimo menjambak Laila hingga kepalanya mendongak, “aku ini mencari uang di luar sana!”

“Dengan cara berjudi?!” bentak Laila. “Aku tidak sudi makan dari hasil uang harammu!”

Bimo yang dipengaruhi oleh minuman keras itu langsung kalap mendengar ucapan Laila. Ia menendang dan menampar istrinya.

“Dasar istri si*lan, pantas saja tadi aku kalah. Kamu mendoakan hal jelek kepadaku, harusnya kamu doakan aku agar menang judi dan bisa memberimu uang!” ujar Bimo.

Wanita itu meringis menahankan sakit akibat tendangan dan tamparan Bimo. Tanpa sadar air matanya jatuh, ia merasakan perih di sudut bibir. Ada sedikit cairan kental berwarna merah keluar dari sudut bibirnya.

Bimo berjalan sempoyongan ke arah dapur, membuka lemari makan dan kulkas untuk mencari kue yang dibuat Laila. Semua piring dan peralatan dapur ia lempar ke sembarang arah. Hingga ia menemukan makanan yang dicarinya.

Laila bangkit dan mendekati Bimo, “Mas, jangan! Itu untuk aku jualan besok,” ujar Laila merebut donat yang berada di tangan sang suami.

“Jangan pelit sama suami sendiri!” Bimo mendorong Laila dan memakan donat tersebut.

Laila menarik lengan Bimo, lagi-lagi laki-laki itu mendorong sang istri kemudian menendangnya. Tidak tinggal diam, Laila mengambil baskom yang berserakan di lantai lalu melemparnya ke arah Bimo. Baskom itu tepat mengenai kepala laki-laki pemabuk itu.

Bimo menatap sengit ke arah Laila. Wajahnya merah padam karena emosi yang semakin memuncak. Cepat ia menarik Laila dan menyeretnya. Beberapa kali tamparan dan tendangan mendarat di wajah dan tubuh Laila. Wanita itu memberontak dengan berusaha menendang benda berharga suaminya. Dengan beringas, Laila membalas kekerasan yang dilakukan oleh Bimo kepadanya.

Bimo menjerit saat benda berharganya ditendang oleh Laila. “Wanita si*lan!” umpat Bimo sambil memegang area intimnya.

“Kau pikir, aku akan terus diam? Sudah cukup selama ini aku menderita karena kelakuanmu!” Lail bangkit dan meninggalkan Bimo yang tengah kesakitan.

Wanita berkulit kuning langsat dengan lesung pipi itu kembali ke kamar. Ia mengunci pintu dan merebahkan diri di sebelah putri kecilnya yang tertidur lelap. Air matanya membanjiri pipi saat ia memandang malaikat kecil itu. Hampir 6 tahun berumah tangga, Bimo selalu kasar dan juga gemar minum-minuman keras. Ia hanya bisa menangis, hatinya perih mengetahui sifat buruk sang suami. Tidak jarang Laila jadi sasarannya setiap kali sang suami kalah berjudi.

"Tunggu saja jika sudah waktunya aku menampakkan siapa diriku, Mas! Jangankan menendang dan memaki, menyentuhku pun kau tak akan berani!" Laila bermonolog sembari menatap penuh kebencian foto pernikahannya dengan Bimo yang terpajang di kamar.

Di foto itu ia begitu cantik dengan senyum semringah, berharap hidupnya akan cerah bersama lelaki pilihannya. Namun, nyatanya ia salah. Bibit penyesalan mulai tumbuh setelah enam bulan pernikahan, kala sifat asli Bimo tak mampu lagi disembunyikan.

Sebenarnya sangat memungkinkan untuk Laila pergi dan kembali pada lelaki yang jelas mampu memuliakannya, tetapi ia ingin memberikan efek jera yang cantik kepada Bimo dan keluarganya.

Air matanya semakin deras saat teringat kejadian pagi itu. Ia ingat betul bagaimana sikap manis Bimo saat hendak pergi bekerja. Ia mengira laki-laki itu sudah berubah dan benar-benar mau bertanggung jawab.

***

"Mas, beras habis.” Laila berdiri di ambang pintu. Wanita berambut panjang itu menatap suaminya yang sedang mengikat tali sepatu.

Bimo membalas tatapan istrinya dengan sendu, “Sabar, ya, Sayang. Hari ini Mas usahakan dapat uang.”

“Aku lelah, Mas!” Laila bersuara lirih karena menahan sesak di dada.

“Aku janji ini yang terakhir, Dik, besok aku akan berusaha lagi,” janji Bimo kepada Laila.

“Aku bosan, Mas! Selalu itu yang kau janjikan, nyatanya? Aku harus berjuang sendiri!” Suara Laila melengking.

Bimo beranjak mencoba memeluk Laila, tetapi ia memberontak. Laki-laki itu menghela napas, ditinggalkannya sang istri yang masih berdiri di ambang pintu, Bimo berangkat ke balai desa, tempat ia mencari nafkah.

Laila bergeming melepas kepergian suaminya. Ia hanya bisa berdoa agar ucapan suaminya kali ini terkabul.

***

Ternyata doa Laila belum terkabul. Ia harus merasakan lagi sakitnya pukulan dari Bimo. Hal ini bukan kali pertama ia diperlakukan kasar oleh sang suami. Lima bulan pasca pernikahan, sifat asli Bimo mulai tampak.

Laki-laki berhidung bangir itu mulai malas bekerja. Ia merasa tidak perlu capek-capek mencari uang karena sang ayah yang merupakan salah satu anggota dewan. Ia tinggal menyebutkan nominal uang, sudah pasti sang ayah akan segera memberinya.

Laila yang masih polos dan terlalu bucin tidak mempermasalahkannya. Ia juga saat itu tidak merasa kekurangan karena memiliki penghasilan dari gajinya sebagai staf keuangan di salah satu perusahaan swasta. Selama satu tahun Laila menopang kehidupan rumah tangganya, selama itu pula sang suami hanya ongkang-ongkang kaki dan bekerja sesuai keinginannya saja.

Pintu kamar digedor paksa oleh Bimo. Laila yang tengah melamun terlonjak kaget. Anaknya yang berada di sisi kanan pun terkejut karena gedoran pintu yang dilakukan oleh Bimo. Gadis kecil itu menangis, dengan sigap Laila menenangkan putrinya. Namun, gedoran itu semakin kuat.

“Laila .... buka pintunya!” teriak Bimo dari luar. “Istri durhaka! Cepat buka pintu, jangan membangkang, kalau tidak aku patahkan kakimu!”

“Tidak! Aku tidak akan membiarkan kau masuk!” teriak Laila.

Bimo semakin kuat mengedor pintu, ia juga menendangnya berkali-kali agar Laila mau membuka pintu kamar. Hampir 10 menit, pintu akhirnya terbuka secara paksa.

Laila memeluk tubuh putrinya sambil menangis. Ia melihat sebuah gunting yang terletak di meja tidak jauh dari tempat tidur. Terpikir olehnya meraih gunting itu untuk membela diri. Kemungkinan buruk bisa saja terjadi jika berhadapan dengan orang mabuk.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status