Aku kembali menuju kamar. Terlihat Mama mertua masih terbaring lemah di atas pembaringan, aku duduk di tepi ranjang dengan Daffa yang ada di gendonganku.
"Sudah baikan, Ma?" tanyaku sesaat setelah melihat Mama Mertua, wajah tua itu masih terlihat pucat.
"Iya, tapi perut masih ngerasa nggak nyaman," ucap Mama dengan lirih. Nada suaranya masih terdengar lemah.
Entahlah, aku masih bingung dengan perasaanku saat ini. Dengan teganya kuberikan obat pencahar itu ke dalam minuman Mama, namun ada rasa kasihan yang menyelinap di dalam dada saat melihat Mama sampai pingsan, namun saat melihat dirinya sudah membaik ada rasa kecewa.
Jahatkah aku?
Kurasa tidak, bukankah apa yang dilakukan Mama jauh lebih kejam?
"Mama tadi habis dari rumah Lidya?" tanyaku. Aku bangkit dari tempat dudukku, menimang-nimang Daffa.
Rencana Vita"Bagaimana? Kamu setuju?"Aku memikirkan jawaban yang tepat untuk kuutarakan pada Mama mertua. Aku tak boleh salah langkah. Aku harus lebih hati-hati. Mama mertua pandai sekali bersandiwara dan bermuka dua.Saat bersamaku ia pura-pura berada di pihakku, namun saat bersama Lidya ia pun juga bersikap seperti itu.Setelah beberapa saat memikirkan semuanya, aku sudah memutuskan jawabannya. Bukankah aku memang ingin mengikuti rencana yang dikatakan Mama? Bukankah membahagiakan orang tua itu sesuatu yang sangat baik, begitu juga yang kulakukan saat ini. Meskipun kebahagiaan itu hanya sesaat.Mama menatapku, raut wajahnya penuh harap."Baiklah, Ma. Tapi Mama bantu Vita kan? Mama tinggal di sini juga kan?" ucapku yang sepersekian detik kemudian membuat bibir yang masih terlih
Kini tidak ada lagi yang bisa kupercaya selain diriku sendiri. Setiap langkah yang kuambil, aku terus berusaha berhati-hati.Di rumah ini, kini tinggal kami berlima. Aku, Daffa, Mas Pandu, Mama Mertua dan Lidya.Setelah kepergian Mbok Jum, aku meminta Mbak Ratih untuk pulang ke kampung halamannya. Aku memberinya libur beberapa hari.Tujuanku hanyalah, agar perempuan ular itu sadar diri kalau dirinya tidak bisa duduk bersanding denganku. Apalagi sampai merebut kursi singgasana ku di rumah ini.Akan kusadarkan dia, posisi apa yang pantas untuk dirinya. Teringat dengan jelas saat Mbak Ratih kuminta berpura-pura untuk pulang ke kampungnya dengan alasan ada urusan keluarga yang harus segera di selesaikan."Loh, Mbok Jum pulang, kamu juga pulang. Terus siapa dong yang mengurus rumah ini?" jawabku bersandiwara. Pu
"Vit ...."Aku terkejut, tubuhku tersentak kaget saat tiba-tiba seseorang memanggilku dan saat aku menoleh ternyata ia sudah berdiri di belakangku.Jantungku berdetak lebih kencang. Khawatir jika ia mendengar perbincanganku dan juga Aulia.Aku dan Aulia saling berpandangan.Kuhela napas panjang untuk menetralkan degup jantung yang sudah tak beraturan ini. Pandanganku beralih pada Mas Pandu yang masih berdiri di sana. Kupasang wajah setenang mungkin."Ya, Mas?" ucapku menahan gugup yang amat luar biasa. Takut jika Mas Pandu mendengar perbincanganku dengan Aulia."Aku pulang dulu, sekalian mau antar Mama pulang. Mobil Mama biar di sini saja." Ucapan Mas Pandu seketika membuat hati ini lega."Oh, iya, Mas," jawabku. Pandanganku beralih pada Aulia. Wajah yang semula gugup itu terlihat lega, sama sepertiku."Aku temui Mama dulu ya
Lima belas menit aku duduk di sofa dengan kedua kaki berselonjoran di atas sofa. Bantal sofa kutumpuk lalu kugunakan sebagai sandaran punggungku.Pikiran ini terus berputar, mencari cara bagaimana agar aku bisa mendapatkan tanda tangan Mas Pandu tanpa ia membaca isi tersebut.Kuuhela napas panjang saat tak kunjung kutemukan ide yang akan kulakukan."Secepat mungkin aku harus mendapatkan tanda tangan Mas Pandu. Kalau bisa sebelum kedua pasangan itu menikah," lirihku dengan pandangan menatap ke langit-langit rumah.Akhirnya aku beranjak dari tempat dudukku lalu melangkah menuju dapur. Saat langkahku kian mendekat, suara beradunya antara wajan dan spatula terdengar menelusup ke gendang telinga.Aku berdiri di ambang pintu, menatap Lidya yang sedang sibuk mengolah makanan."Belum selesai?"&
Kini aku duduk di tepi ranjang seraya membawa lembaran kertas yang membutuhkan tanda tangan Mas Pandu. Berkas-berkas pengalihan nama semua aset-aset milik kami.Bergegas aku beranjak dari tempat dudukku saat Mas Pandu keluar dari kamar mandi."Mas," panggilku. Aku melangkah mendekati lelaki itu. Namun bau tak sedap menusuk indra penciumanku, membuatku mengibaskan telapak tanganku."Bentar! Perut Mas sakit.""Tap ...."Belum sempat kulanjutkan ucapanku, tubuh Mas Pandu hilang di balik pintu. Kuhembuskan napas kasar.Tak bisa dipungkiri, jantung ini berdebar lebih kencang. Takut jika rencanaku kali ini gagal.Beberapa menit kemudian, Mas Pandu keluar. Baru saja aku ingin melangkah, Mas Pandu langsung berbalik kembali menuju kamar ma
Aku berdiri di belakang pintu, mendengarkan kalimat-kalimat yang terucap dari Mas Pandu."Di rekening, Mas hanya memiliki kisaran seratus juta, Lid. Sedangkan untuk membuka salon yang seperti yang kamu inginkan uang segitu pasti tidak cukup. Belum cari tempatnya, peralatan dan lain sebagainya," ucap Mas Pandu."Mas, aku tuh sebentar lagi juga menjadi istri kamu. Mbak Vita saja megang kontrakan, dan penghasilan dari usaha yang kamu lakukan. Aku juga pengen, Mas!" Lidya berucap dengan nada yang mulai meninggi.Memang benar apa yang dikatakan oleh orang lain, seorang pelakor akan datang jika sang lelaki memiliki uang. Terbukti, Lidya sudah mulai menguras harta milik kami.Untung saja aku bertindak lebih cepat. Telah kuamankan semua aset-aset itu, hingga Lidya tak akan bisa menikmati sesuatu yang memang bukan haknya."Ndu, kenapa
Belasan menit kemudian, aku terduduk dengan rasa penuh penasaran. Penasaran tentang apa yang terjadi di rumah ini. Aku ingin melihat apa yang terjadi di dalam istanaku.Akhirnya setelah memastikan Daffa masih tertidur, aku beranjak dari dudukku lalu melangkah ke arah pintu. Kubuka handel pintu lalu tubuhku menyelinap keluar.Aku mencari mereka di dapur. Langkahku terhenti lalu kusembunyikan tubuhku di balik tembok pembatas antara ruang tengah dan juga dapur.Aku terkikik melihat pemandangan di depan mata. Ah, sepertinya aku perlu memasang cctv. Setidaknya biar aku bisa melihat semua hal yang mereka lakukan. Jadi aku bisa memantau semuanya dari telepon genggam.Terlihat dengan jelas Mama mertua sedang mengepel lantai dapur. Sedangkan Lidya sedang mencuci piring. Pandanganku beralih pada tempat di mana Mbok Jum biasanya mencuci pakaian. Terlihat Mas P
Setelah panggilan pada pembuat perhiasan palsu itu kututup, bergegas kuhubungi Aulia."Halo, Vit. Ada apa?" Terdengar suara dari seberang sana setelah panggilan diangkat olehnya."Nanti kalau Mas Pandu hubungi kamu menanyakan soal pesanan perhiasan, kamu iyain aja ya.""Hah?!"Akhirnya kuceritakan semua pada Aulia. Suara gelak tawa terdengar saat Aulia mendengarkan ceritaku, kejadian yang baru saja terjadi beberapa menit yang lalu."Ternyata itu alasan kamu suruh aku cariin nomor pembuat perhiasan palsu?"Aku mengangguk. Padahal aku tahu, Aulia tidak akan melihat gerakan kepalaku."Gimana bisa kamu mendapatkan ide seapik itu, Vit? Aku sampek nggak bisa berhenti ketawa. Bayangin saat pelakor itu begitu bahagia saat mau