--Tidak ada yang terjadi secara kebetulan, semua sudah diatur Sang Semesta. Termasuk pertemuan aku, kamu dan dia--***Hari-hariku dipenuhi Langit, Langit, dan Langit.Hampir setiap hari sepulang dari pabrik, dia ke rumah. Padahal jarak rumah kami lumayan jauh, walaupun masih satu kota. Alasannya, karena ibunya--dulu, aku sebut Den Ajeng--masih di Jogja. Alasan aneh, apa hubungannya ibu sama pacar? Kata terakhir ini yang membuat hatiku berdesir. Pacar.Ah, istilah yang terlalu kekanakan. Aku lebih suka menyebutnya teman dekat yang spesial.Memang, bersamanya aku merasa bahagia, tetapi untuk melangkah lebih jauh, rasanya belum berani. Aku tidak yakin dengan hubungan ini. Hanya sekadar dijalani dan menunggu bermuara kemana. Aku tidak berani berjanji lebih."Bukankan kamu mencintaiku?" tanya Langit, mempertanyakan hubungan kami.Sore itu, kami duduk santai di sunbed pinggir kolam. Dua sunbed dijadikan satu. Menikmati bulan purnama yang bulat sempurna terpantul di air kolam. Sinarnya
Aku mengantar Langit sampai mobilnya menghilang keluar dari pintu gerbang. Semenjak kecelakaan itu, aku melarangnya menggunakan sepeda motor. Aku masih ketakutan saat ingat sepeda motor yang teronggok di depan truk itu.Selama beberapa kali mempunyai teman dekat, hanya dengan Langit inilah aku seperti ini. Entah, apakah ini cinta yang benar atau perasaanku yang terjebak gairah orang dewasa semata.Aku masih belum tahu.***Hari ini aku berangkat ke ibu kota, diantar Langit sampai bandara. Seperti biasa, pesannya bernada sama. "Selalu ingat, aku menunggumu. Dan, jangan terlalu berdekatan dengan Mahardika. Bagaimanapun dia laki-laki yang bisa saja khilaf."Dia merengkuh dan mengecup keningku, kemudian menangkup kedua pipi ini sambil berkata, "Jangan hilang tanpa kabar. Setiap ada kesempatan video call. Ingat, di sini aku merindukan kamu." Tersenyum dia sambil tetap menatapku lekat. "Huuh, membayangkan kamu pergi saja, aku sudah merasa kangen."Segera kueratkan pelukan kami, menunjukka
"Cantik," ucap Mahardika di belakangku. Aku masih duduk di depan cermin. Tidak ada yang meragukan tim Mahardika dalam hal mendandani. Riasan natural sedikit glow terkesan sederhana namun terlihat anggun. Apalagi rambutku disanggul tinggi dengan hiasan beberapa kuntum bunga segar."Tambah cantik kalau memakai ini," bisiknya sembari mengalungkan hiasan leher berbandul permata berkilau. Kalung yang tipis tidak begitu kentara, berpusat pada bandul."Sponsor, Dika?" tanyaku sambil melihatnya melalui cermin. Mengagumi kalung yang cantik ini, model sederhana dan tidak mendominasi tetapi menambah pesona si pemakai. Betul yang diucapkan Mahardika."Kamu suka?" "Iya.""Itu memang buat kamu. Tanda persahabatan kita yang akan bersinar sampai kita menua.""Dika .... Ini berlebihan. Tanpa ini pun, kamu satu-satunya sahabatku yang menyinari di setiap langkahku. Menunjukkan jalan terang dan membuatku bangkit saat terpuruk," ucapku. Kami berpandangan melalui pantulan cermin. Tersenyum bersama dan s
Dengan dukungan Mahardika, hubunganku dan Langit semakin dekat, walaupun aku masih belum berani menemui ibunya Langit, Den Ajeng.Aku masih kawatir, karena kebohonganku membuat Den Ajeng kecewa dan menolakku. Aku belum siap menerima kemungkinan berpisah dengan Langit.Berbeda dengan Langit, dia semakin akrab dengan orang-orang terdekatku. Tidak hanya Mahardika, sekarang ada Mbak Rahmi yang mulai akrab dengannya. Bagiku Mahardika dan Mbak Rahmi adalah keluargaku."Mas Langit orangnya baik, ya. Pantas saja Mbak Lintang terkiwir-kiwir," seloroh Mbak Rahmi saat kami makan pagi berdua. Langit sering datang berkunjung ke rumah, termasuk berbincang dengan Mbak Rahmi. Pribadinya yang super, membuat mereka menjadi akrab."Kalau sudah cocok, langsung bungkus saja. Model seperti Mas Langit sudah langka di jaman sekarang!" tambahnya semakin menjadi-jadi. "Memang makanan?" "Ya tidak jauh bedalah. Sama-sama membuat semangat! Mbak Lintang juga semakin rajin update tulisan. Aku kan baca terus. Bab
Sejak mengenalmu, semua indera tertulis namamu. Aku tidak sanggup perpaling apalagi menjauh. Biarlah. Biarkan saja kau tidak menyambut. Tidak kau hilangkan diriku dari hidupmu saja, sudah cukup. ***Aku hanyalah satu titik kecil yang hampir tidak kentara, bahkan dibuang oleh seseorang yang seharusnya melindungi dan membanggakanku. Karenanya, aku diberi nama Mahardika. Kata ibu panti asuhan artinya kaya, makmur, kuat, berilmu, dan berbudi luhur, bangsawan. Nama ini akan mengantarkan menjadi titik yang lebih jelas.Suatu hari, mata ini terpaku pada satu sosok yang indah. Bersamanya aku merasa lebih berarti. Hati ini menghangat saat di dekatnya. Aku seperti mencandui setiap senyuman, sikap koyol, bahkan bayangannyapun aku rindukan. Dunia seperti hanya dia seorang, Lintang Astuti.Retak hati ini mendengar penolakan cinta yang aku tawarkan. Namun, pengertian dan perhatiannya perlahan memulihkan hati."Aku tidak mengerti tentang cinta itu apa. Yang aku tahu, bersamamu lebih sekedar dari
POV MahardikaSekarang dia menatapku melalui spion. Menarik napas dalam dan menghembuskan kembali. "Apa yang kamu lakukan saat merindukan seseorang?" Suara Lintang akhirnya terdengar."Aku akan mengingatnya.""Kalau masih tetap rindu." Suara Lintang seperti tercekat menahan tangis. Aku menatapnya sekilas, ada kilatan air mata yang mengambang kembali."Aku tetap akan mengingatnya.""Itu saja? Ta-tapi, kenapa malah semakin rindu? Dan hatiku semakin berat?" Dia memalingkan wajah ke arah jendela, menyembunyikan air mata yang semakin deras."Aku akan bercerita tentang kenangan indah. Dengan begitu, aku akan tersenyum kembali," jawabku sembari mengeratkan tangan ini di kemudi. Melihat keadaannya, hati ini ikut teriris. "Ceritakan yang indah tentangnya. Aku siap mendengarkan."Kami berputar-putar menghabiskan malam. Sepanjang jalan Lintang menceritakan tentang Langit. Cerita konyol tentang pertemuan mereka.Tetap dengan linangan air mata, namun ada terbersit senyuman di bibirnya. "Bagaim
POV Lintang AstutiHati ini berdarah kembali ketika menyebut namanya. Langit dan tragedi yang berusaha aku lupakan, seakan bersanding. Hati ini bertengkar hebat berebut kebenaran. Meneruskan hubungan ini atau berhenti sampai di sini. Sungguh, ini sangat berat untukku.Semakin aku menjauh darinya, semakin lekat nama Langit di hati. Bagaikan pasir hisap. Sekuat tenaga aku meronta, semakin dalam aku ditenggelamkan.Hanya Mahardika lah yang bisa menolongku. Menarikku dari kebimbangan ini, seperti dulu saat aku terpuruk.Benar.Malam itu dia memberiku sepucuk surat dari Langit. Sesuatu yang kurindukan sangat, tetapi berat kulakukan. Namun, sikap kesal Mahardika mendorongku untuk menghadapi kenyataan. Aku mengerti, dia pasti tersiksa dengan sikap ketidakdewasaanku.Ragu, aku buka surat beramplop putih dan kubaca dengan hati yang sudah memutih ini. Perlahan suara samar semakin jelas mendendangkan nada indah. Mengantarku keluar dari keraguan.Surat dengan tulisan tangan indah Langit.~~~Lin
Kami duduk berdua di pinggir kolam. Bersandar di sunbed yang sudah disatukan. Aku yang masih sibuk menatap jari manis yang sudah dihiasi cincin indah darinya, kemudian menatapnya sambil tersenyum. Memuaskan kembali dahaga rinduku."Sayang, kenapa tadi tidak secepatnya mengatakan iya. Aku tadi hampir putus harapan. Kawatir kamu berubah pikiran dan lari lagi. Membayangkan saja, aku tidak mau," tanya Langit. "Tadi, aku terkejut sekali. Menurutku, ini terlalu cepat. Aku tidak menyangka kau seberani dan senekad ini?""Memang apa yang harus aku takutkan? Aku lebih takut kalau kehilanganmu. Kamu tahu tidak, kemarin aku seperti orang gila. Kamu menghilang tanpa bicara. Telpon, pesan, bahkan kedatanganku kamu tolak. Untung ada Mbak Rahmi dan Mahardika. Mereka membantuku. Makanya, lebih baik sekarang aku segera mengikatmu," ucap Langit, sambil merangkul pundak ini."Dengan ini?" tanyaku sambil menunjukkan cincin emas ini."Itu langkah awal. Langkah berikutnya, aku akan mengajak ibu ke sini. T