Share

Chapter 2. Minggu Pagi dan Aiden

"Bun, Ai tadi bangunin kakak pake nampar tau." Diwana mengadu sambil memegangi pipi kanannya yang sebenarnya tidak sakit juga, hanya berpura-pura agar adik jahilnya itu setidaknya dimarah sang bunda. Ia bahkan tidak tahu kalau sebenarnya bukan pipi kanan melainkan pipi kirinya yang ditampar Aiden.

"Aiden.. udah gede kok masih jahil?" ucap bunda yang tangannya sibuk mengaduk-aduk krim sup buatannya.

"Dengerin tuh" Diwana menjulurkan lidah penuh kemenangan.

"Loh loh loh kok gue yang salah sih. Lo aja yang ngigau lagi. Bunda tau kan kalo kakak udah teriak-teriak sambil tidur tuh serem banget." Si bungsu membela diri.

"Bilang apa barusan? Gua gue gua gue? Udah dibilangin kan jangan pake lo-gue ke kakak ih. Kayak si Junio itu loh, Dek. Udah cakep, baik, sopaaan banget sama kakak, pinter, rajin, ganteng lagi. Duh paket komplit banget, adek idaman semua abang pokoknya."

Junio adalah tetangga keluarga Diwana yang sekaligus teman Aiden sejak mereka pindah ke rumah yang sekarang ditinggali sekitar enam tahun silam.

"Jeje terus.. Dimana-mana tuh biasanya ibu-ibu yang banding-bandingin anaknya sama anak tetangga. Bunda aja diem aja masa situ yang ribet. Eh, toh aku juga lebih suka Bang Tama tuh."

Tenang, Aiden tidak pernah tersinggung sedikitpun dengan ucapan kakaknya tentang Junio. Karena kalau kata Aiden, love language ala Diwana memang dengan mengomel. Mungkin ia akan lebih sedih kalau kakaknya itu tiba-tiba berhenti meledeknya.

Bunda pun hanya tersenyum melihat tingkah keduanya, pemandangan yang sangat kelewat lumrah. Justru sepi kalau tidak ada cekcok diantara kakak beradik itu, pikir Bunda.

"Ngeles mulu punya adek satu," ucap Diwa sambil memasukkan satu potong besar toast berselai kacang kemulutnya.

Ketiganya kini duduk di meja makan menghadap piring masing-masing yang sebentar lagi terisi penuh dengan makanan. Pagi itu sama seperti agenda rutin hari minggu mereka, sarapan pagi bersama yang selalu disempatkan ditengah kesibukkan masing-masing.

Bunda dengan tugasnya sebagai perawat senior di klinik rawat inap setempat, Diwana dengan kesibukannya sebagai manager divisi keuangan di kantor sahabatnya sendiri-Theo-atau biasa dipanggil Tama, dan Aiden yang... sibuk meyelesaikan skripsi ditahun kelimanya sebagai mahasiswa. Atau lebih tepatnya disemester yang genap kesepuluh, sampai-sampai Diwa menambahkan predikat khusus untuk nama tengahnya, Aiden Mahasiswa Abadi Ryu Lazuardi atau biasa disingkat Aiden Mabadi Ryu Lazuardi.

"Pacaran sambil organisasian aja mampu, masa kuliah nggak selesai-selesai sih, Dek? Kalo tahun ini nggak bisa lulus juga, kakak beliin kamu kambing pokoknya." Begitu kira-kira kalau Diwa mengejek sekaligus mengancam si bungsu.

"Dek-" Kalimat Diwa terhenti saat Aiden tiba-tiba memotongnya.

"Belum selesai, Kak. Mau nanyain skripsi aku kan? Belum selesai, mungkin satu atau dua kali lagi revisiannya baru bisa cari tanggal sidang."

"Pelan-pelan ih ngomongnya, takut kesedak ntar kamu, Dek. Orang kakak nggak mau nanyain itu kok." Diwana menyodorkan segelas susu dan langsung disambar Aiden yang memang hampir saja tersedak sepotong kentang goreng.

"Yaa kirain, soalnya Lo itu-Aww SAKIT KAK.." teriak Aiden lepas saat kakinya ditendang sang kakak tepat ditulang keringnya. Ia menatap Diwa kesal, tapi kakaknya pun balik menatap tak kalah kesal.

"Hmm, soalnya KAKAK keseringan nanyain skripsi, sampai hapal lah diabsen minimal satu kali sehari kaya gini," lanjut Aiden menekankan kata 'Kakak' yang langsung disambut senyum puas Diwana.

"Oiya jadi mau nanya apa?" ulang Aiden.

"Tadi kamu bilang kakak ngigau lagi kan? ngigaunya gimana?" Aiden tak langsung menjawab, matanya melihat ke langit-langit mencoba memutar ingatan.

"Mmm, ya manggil-manggil nama Biru kaya biasanya aja sih. Teriak-teriak pelan gitu, kenapa emang?"

"Kakak mimpi lagi?" Kali ini bunda yang penasaran.

Pasalnya, sudah enam tahun penuh Diwana selalu dihantui dengan mimpi berpola sama berulang-ulang. Meskipun tidak setiap hari mimpi itu muncul, tapi tetap saja tidurnya tak pernah nyenyak sejak saat pertama kali mimpi itu mengganggu tidurnya.

Polanya hampir selalu sama. Ada tiga objek disana, perempuan bergaun biru, lautan yang kadang berwarna kuning atau jingga lengkap dengan matahari sayu di ufuk, dan.. Diwana. Semua orang terdekatnya pun tahu tentang mimpi misteriusnya itu, tapi baik dirinya sendiri maupun orang lain hanya menganggap mimpi itu sebagai halusinasinya saja.

"Iya, Bun. Kaya biasanya aja sih, tapi dia makin cantik, hehe." Diwana meringis lucu, dan spontan Aiden tersedak krim sup usai mendengarnya.

"Astaga.. cari pacar sana, Kak. Makin hari kok makin nggak jelas, daripada lama-lama gila. Hantu dibilang cantik, eh sama cewek beneran malah alergi," ledek Aiden.

"Eh eh, dia bukan hantu yaa. Bentar bentar, jadi cewek-cewek itu kerjaan kamu? Valentine dua hari yang lalu banyak cokelat sama bunga dikirim ke kantor kakak sampai diledekin satu kantor. Kamu kan yang ngasih tau alamat kantor kakak ke mereka?" Diwana siap meledak, matanya melotot memandang tak percya kearah Aiden yang melipat bibirnya sambil mengalihkan pandangan menghindari tatapan Diwa.

"Bunda... tolong Aiden. Kakak mau ngamuk."

"Udah udaah.. Jangan lupa bantu bunda cuci piring ya nanti. Awas kalau ada piring kotor di wastafel."

"Bela Diwa sih, Bun?"

"Bili Diwi sih, Bin," ledek Aiden lagi menjulurkan lidahnya pada sang kakak, kemudian menuju wastafel disamping bunda.

"Tapi serius, beneran nggak ada hal aneh di hari itu kan?" Kali ini baik bunda maupun Aiden menoleh kebelakang menatap Diwa. Keduanya menghela nafas nyaris bersamaan, meskipun kemudian sibuk melanjutkan mencuci piring kotor lagi.

"Berapa kali bunda harus bilang, operasi kamu berjalan lancar, sayang. Jangan bahas ini lagi ya? Kamu kecapekan aja kaya biasanya. Makannya istirahatnya tuh dijaga, Diwana. Kamu suka lupa diri kalo udah ngurusin kerja saking semangatnya, jangan sampai forsir diri kamu sampai sakit." Jawab bunda lembut dengan diselingi nasehat-nasehat yang tampaknya hanya numpang lewat saja di telinga Diwa.

"Tapi Bun-"

"Aiden lanjutin ya cuci piringnya, bunda mau telfon Tante Anggi sebentar, lupa kalo siang ini ada janji," potong bunda seketika membuat alis Diwa mengerut, tanda sedikit kecewa namun tetap memahami situasi.

Bundanya memang tidak begitu suka saat Diwa membawa-bawa topik tentang hari dimana ia hampir mati enam tahun silam. Tapi ia tentu faham, bukan hanya ia yang berjuang hari itu, tapi keluarganya juga. Semua pasti berat bagi Bunda, pikir Diwana.

"Siap, Bun. Enak banget jadi bunda tuh, anaknya rajin begini. Aku jamin deh si Jeje nggak bakal pernah cuci-cuci piring bergini dirumah, anak mama kayak gitu" pamer Aiden sambil melanjutkan cuci piring.

"Kalo gitu nitip ya, anak bunda yang rajin..." kata Diwa menyodorkan piring dan gelas kotornya ke wastafel.

"KAK DIWANA LO-" Terlambat, yang dipanggil sudah melesat pergi, menuju kamarnya lagi.

"Ada kisah apa dibalik hari itu?" batin Diwana sambil memegangi dada kirinya.

----

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status