Share

Chapter 3. September 2015

Diwana masih duduk terdiam di kasur kamar rumah sakit memandangi infus yang terpasang di tangan. Otaknya tak berhenti berkelana sambil memikirkan satu demi satu kemungkinan yang bisa terjadi. Jantungnya berdegup cukup kencang, membuat nafasnya ikut sedikit memburu, khawatir.

"Bun, Dokter Tano kenapa lama banget ya? Katanya beliau tuh teman Bunda?" tanyanya lembut pada bunda yang duduk di sofa. Tapi keburu disahut duluan oleh sang adik.

"Santai dong, Kak. Grogi ya? Baca-baca majalah gini nih biar santai kaya aku, ah elah grogian amat hahaha," ledek Aiden sambil tertawa kecil. Tapi semua juga tahu kalau suaranya sedikit bergetar. Diwana tahu Aiden sebenarnya tak kalah cemas darinya.

Diwa hanya tersenyum melihat Aiden sedang menutupi wajah khawatirnya dengan pura-pura membaca majalah yang bahkan tidak ia balik halamannya sejak lima belas menit yang lalu. Berjudul Kumpulan Resep MPASI Praktis Balita.

"Bentar lagi, Kak. Baru juga beberapa jam yang lalu kan ngabarinnya. Dokter Tano pasti memprioritaskan kamu." Bunda bersuara. Ia tengah megupas apel di samping Aiden, tangannya sedikit bergetar dan kecemasan terlihat jelas diwajahnya.

Kabar mengejutkan itu memang baru beberapa jam yang lalu. Tapi hidup Diwana seakan benar-benar bergantung padanya.

Seorang korban kecelakaan pagi itu terdaftar sebagai anggota organisasi donor organ yang menaungi Diwana. Setelah belasan tahun menunggu, apa yang ia tunggu akhirnya tiba. Iya, donor jantung.

Sekitar empat jam sebelumnya, Dokter teman bunda-Dokter Tano-mengatakan akan memproses semuanya dengan cepat dan segera memberi kabar. Semua tentu tidakk semudah itu, karena proses dan syarat-syarat pendonor begitupun calon penerima donor harus lolos checklist yang tidak sedikit. Inilah yang mereka khawatirkan. Tapi setidaknya Diwana sebagai calon penerima donor sedang dalam kondisi prima dan sehat.

Tetapi waktu seakan berjalan semakin lambat semakin Diwana menantikannya. Ah, bulan September yang mendung terasa sangat sendu. Langit tentu mendukung suasana menegangkan itu. Hari bersejarah yang tak akan pernah Diwana lupakan sepanjang hidupnya.

Tanpa orang lain tahu, hati Diwana sesungguhnya sedang berkecamuk kecil. Bagaimana bisa ia bahagia diatas duka orang lain yang bahkan mungkin sedang menangis meratapi nasib korban itu sekarang?

Ada rasa bersalah yang mencuat di dadanya, tentu saja. Tapi apa salahnya? Ia juga ingin hidup. Diwana yakin sang pendonor inipun akan senang ia hidup. Begitulah ia menyemangati ragunya, berusaha membuang perasaan bersalah yang hampir menguasainya.

Saat kita berlari di gurun, tentu air yang kita cari.

Saat kita terombang ambing dilaut lepas, tentu daratan yang kita tuju.

Dan saat kita sakit, tentu sembuh yang kita mau.

"Semoga cocok, semoga cocok, semoga cocok," bisik Diwana lirih dengan mata terpejam, yang ternyata tertangkap oleh telinga Aiden.

"Tenang, Kak. Aku yakin pasti cocok. Denger-denger korbannya cedera kepala, jadi semoga organnya baik-baik aja. Kondisi kakak kan juga lagi fit banget, no worry." Ia tersenyum tulus, tidak menyebalkan seperti biasanya.

"Kamu kok tumben pake aku-kamu ke Kakak? Biasanya juga pake lo-gue?" tanya Diwana bermaksud bercanda pada Aiden yang masih fokus pada majalah yang dipegang.

"Yaa.. ya nggak papa. Aku mau insyaf aja hehe," jawab Aiden sekenanya.

"Ai, kamu.. takut nggak bisa baikin Kakak lagi ya?" Entah kenapa kalimat Diwa terdengar pilu. Semuanya tiba-tiba hening selama beberapa saat. Bahkan burung diluar sana seakan ikut berhenti berkicau.

Bunda yang sedang mengupas apel pun berhenti dan berdiri.

"Bunda keluar dulu ya sebentar, mau nemuin Dokter Tano," pamit bunda dengan mata berair, tertangkap sangat jelas dimata kedua anaknya. Diwa dan Aiden tahu bunda bohong, tentu saja.

"Hmm.. kenapa aku bisanya bikin orang sedih sih," gerutu Diwa saat bunda sudah pergi. Disambut hening lagi sejurus kemudian.

"Dek, kalau donornya nggak cocok, kakak nyerah deh. Hidup bolak-balik rumah sakit nggak enak, mau bebas aja. Sebentar pun nggak papa deh. Pengen hidup diluar dengan bebas sebentar aja, abis itu nyusul ayah."

"Kak-"

"Kalau cocok pun, siapa bilang Kakak bisa bertahan waktu OP nanti? Kakak juga takut, Kakak tuh nggak sekuat itu, iya nggak sih?" Lanjutnya dengan terkekeh miris.

"Kak Diwa...."

"Titip Bunda ya kalo nanti kak-"

"KAK DIWANA...!!" Aiden tau-tau menghambur memeluk kakaknya. Melemparkan majalah MPASI-nya begitu saja ke lantai. Diwa diam-diam tersenyum dibalik punggung adiknya itu seraya membalas peluknya.

"Kamu nangis?" Tanya DiwaNA saat mendengar isakan tangis Aiden, merasa sedikit tak percaya.

"Gue cancel deh pake aku-kamu ke Lo. Malah bikin melow kan jadinya," gerutu Aiden dibalik punggung kakaknya, sambil menyerot sedikit ingus tentu saja.

"Cie, meluk aku nih? Sweet banget sih adek aku satu ini utututu..." ledek Diwana. Buru-buru Aiden melepaskan pelukannya, dan ekspresi menyebalkan Aiden pun kembali, ia menatap Diwa tajam.

"Denger ya, nggak usah sok-sokan nitip-nitip bunda segala. Lo nggak akan kemana-mana. Males banget dititip-titipin, gue bukan kurir paket..!" omel Aiden tanpa menatap kakaknya. Ia lantas menghamburkan diri ke sofa lagi, menutup wajahnya dengan majalah yang terbalik.

"Aid-"

"Apa? Nggak usah melow lagi deh. Nyesel gue meluk Lo. Tuhan... please hapus memori meluk kak Diwa, Tuhan..." ucapnya penuh drama.

"Ih, tadi tuh moment terindah aku sebagai kakak kamu tau nggak?"

"Nggak. Nggak denger, gue nggak lihat... nggak denger...!!" teriak Aiden salah tingkah.

"Hmm.. Thankyou," ucap Diwa lirih, dibalas anggukan oleh sang adik, kemudian hening lagi.

"Udah nemu resep yang cocok belum, Dek?" tanya Diwa tiba-tiba, disambut kerutan didahi sang adik, lalu menunjuk majalah yang terbalik dengan dagunya.

"Tuh..."

"DIWANA NYEBELIN DERURINDU...!"

Belum sempat Aiden memukul kakaknya dengan bantal sofa, pintu kamar tiba-tiba terbuka. Kehangatan di ruangan itu tiba-tiba lenyap tergantikan kelam yang sejenak menyeruak. Detak jantung mereka seakan terdengar satu sama lain. Nafas Diwana rasanya hampir sesak karena detak jantungnya mulai berirama tak beraturan. Ia benar-benar tegang setengah mati.

Dokter Tano dan bunda masuk bersamaan ke ruangan. Dibelakangnya ada seorang perawat laki-laki membawa beberapa alat medis dan berkas-berkas di troli medis. Perawat itu kemudian berjalan menghampiri Diwana, seraya mengambil satu berkas yang entah apa isinya.

Begitu dokter Tano tersenyum kearah Diwana, semua tahu apa kabar dibaliknya. Kabar bahagia yang diantarkan melalui senyuman itu adalah yang Diwana tunggu-tunggu selama dua puluh tahun penuh.

Kehangatan pun kembali, menyeruak memenuhi ruangan. Senyum bunda juga mengembang, raut wajahnya seakan berkata 'Akhirnya, anakku..'.

Hanya raut wajah Aiden tak terdefinisikan. Ia hanya menghambur memeluk kakaknya lagi yang kini hanya diam terpaku. Sebutir air mata tertahan di sudut mata, hingga akhirnya jatuh saat hangat peluk Aiden dirasakannya.

"Ah, aku akhirnya akan benar-benar hidup?"

----

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status