"Lun, orang tuamu sudah datang!" panggil ibu mertuanya. Wanita itu hanya membuka sedikit pintu kamar Hamzah, ia bahkan tidak berani masuk ke dalam kamar anak tirinya itu. "Iya, Ummi!" ucap Aluna sambil berjalan keluar, kali ini dia sudah memiliki sedikit tenaga tambahan setelah menghabiskan roti maryam dan kari pemberian Sofiyah."Ukh, maaf aku tidak bisa menemanimu, aku takut!" Sofiyah memeluk Kaka iparnya. Ia memilih kembali ke kamarnya sendiri dan mengurung diri. Gadis itu tidak berani, ia takut jika akan ada pertengkaran di antara mereka. "Doakan yang terbaik untuk Ukhti, ya!" "Pasti, Ukh, apa pun yang terjadi, aku akan terus menyayangimu. Inni Ukhi buki fillah, sungguh aku mencintaimu karena Allah." Tangan Sofiyah sedikit gemetar dan dingin, ia merasa sangat takut jika akan ada sesuatu yang buruk yang mungkin terjadi kepada Aluna. "Doakan aku akan baik-baik saja!" Aluna berjalan keluar kamar, ia sebenarnya merasa takut, lututnya terasa lemas dan kakinya gemetaran. Ia berjalan
Aluna menyeret kopernya, berjalan tanpa tau arah mana yang akan dia tuju. Wanita bercadar itu merasa malam itu langit kembali runtuh, gelap, tidak ada cahaya sama sekali. Ia bahkan nyaris hampir tidak bisa bernapas. "Ya Allah, kuatkan aku!" ucapnya lirih. Air matanya kembali mengalir ketika mengingat betapa banyak kenangan yang ia lalui bersama suaminya. Ia bahkan ingat sekali, betapa bahagianya rencana masa depan mereka berdua. Bahkan dulu Hamzah selalu memohon kepadanya untuk tetap tinggal dan tidak boleh pergi. Namun saat ini, justru Hamzah lah yang mengusirnya. Aluna sejenak berhenti dan jongkok di pinggir jalan, sekedar berteriak tanpa suara, mencoba meluapkan emosinya yang sedari tadi ia coba tahan. Wanita itu sejenak menatap langit malam yang kelabu tanpa bintang. Ia berpikir, akan kemana dia kali ini. Aluna membuka ponselnya, hanya ada pesan dari Umar. Ia membuka pesan laki-laki itu. Banyak hal yang ia tanyakan kepada Aluna, terutama keadaannya dan di mana dia saat ini. Nam
Aluna yang enggan berbicara lagi tentang urusan perasaan pun lahirnya memilih untuk kembali ke kamar Matilda dan Sonya untuk beristirahat. Setelah sampai di kamar, Aluna mendapati Matilda yang sedang beribadah. Saat itu, Aluna pun sontak merasa tertohok, seharusnya, dalam masa sulit seperti ini ia mencari Tuhan, bukan mencari orang lain untuk berlindung. "Ya Allah, maafkan atas segala kebodohanku, aku sudah terlalu banyak menyakiti diriku sendiri!" ucap Aluna pelan kepada Tuhannya. "Hi Lun, tidur lah, aku sudah menyiapkan tempat tidur untukmu. Aku tidur bersama Sonya." Matilda menyapa Aluna yang masih melamun di depan pintu sambil berdiri. "Eh, iya, Da. Maaf aku merepotkanmu!" ucap Aluna yang masih dalam kekacauan pikiran. Kali ini ia merasa sedikit gugup, ia merasa kedatangannya ketempat ini, justru menambah masalah baru, setelah dia tau jika Brian ternyata jatuh hati kepadanya. "Jangan sungkan, sudah sewajarnya kita saling menolong satu sama lain. Kita sama-sama diciptakan oleh
Aluna mencoba menghalangi kopernya agar tidak terlihat oleh Hamzah. Wanita itu menyibukkan diri memainkan ponselnya, mengecek pesan yang mungkin terlewat saat dia salat Subuh tadi. "Lun, aku akan segera ke sana jam enam, tunggu di situ, jangan kemana-mana, aku sudah menyiapkan tempat tinggal sementara!" Aluna membaca pesan dari Umar. Laki-laki itu memang selalu tampil menjadi malaikat penyelemat dalam hidup Aluna. Aluna melihat ke arah langit yang sudah mulai menguning, dan tersenyum dalam tangisnya. Aluna mengabaikan Hamzah yang pergi meninggalkan masjid dengan menaiki mobil pribadinya, di belakang mobil laki-laki itu, ada sebuah mobil pengawal pribadinya yang memang hampir setiap hari mengikutinya kemana pun ia pergi, kecuali memang Hamzah menolak. Aluna duduk di tangga yang untuk naik ke teras masjid, perempuan itu melihat ke arah mobil yang bagus saja datang. Dari bentuk dan warna mobilnya saja, Aluna sudah paham sapa yang datang. Aluna langsung bangkit dari tempatnya duduk dan
“Apa ini? Kamu bisa kerja gak? Aku gaji kamu buat kerja, bukan buat nambahin pekerjaan!” Umar membanting dokumen di meja Susan. Dari wajahnya laki-laki itu tampak sangat marah. “Maa ... Maafkan saya, Pak!” ucap Susan yang kaget. “Lun kerjakan ulang pekerjaan gadis sialan ini!” Umar menunjuk ke arah dokumen yang terhambur di atas meja Susan. “Aku akan segera ke hotel, klien sudah menunggu! Kerjakan segera!” “Tapi, nanti nggak dicek dulu? Apa aku perlu kirim soft copy-nya dulu?” Aluna memang pekerja teladan di kantor itu. Hampir semua pekerjaannya selalu sempurna. “Aku tidak pernah kecewa dengan pekerjaanmu!” Umar pun segera bergegas untuk menemui kliennya di hotel. Susan menatap sinis ke arah Aluna. Sepertinya ia merasa sangat kesal kepada gadis yang sedang mengetik di depan komputer. “Dasar penjilat!” hardik Susan dengan ketus. Aluna tidak memedulikan apa yang diucapkan rekan kerjanya itu. Baginya dokumen itu lebih penting. Aluna mengangkat sedikit lengan bajunya saat membereska
Aluna memegang kepalanya yang masih terasa berat, masih ada sedikit rasa mual. Namun tidak separah sebelumnya. Mata Aluna terbelalak melihat tubuhnya tertutup selimut tanpa sehelai pakaian pun di atas ranjang hotel. Air matanya mengalir, dadanya terasa sesak, bahkan rasanya sulit untuk bernapas. Hari ini, kehormatan yang ia jaga selama dua puluh tiga tahun musnah begitu saja. "Ya Allah, kenapa ini semua terjadi kepadaku? Apa dosaku ya, Allah, sehingga aku harus diuji dengan ujian seperti ini?"Gadis bermata bulat itu mengambil selembar kain hitam penutup wajahnya. Ia meremas kain itu kuat-kuat, Aluna tidak tahu apa yang harus ia katakan kepada kedua orang tua dan calon suaminya nanti. Dengan langkah gontai, Aluna berjalan menuju balkon hotel, tangannya mencengkeram erat pagar besi setinggi dada orang dewasa. Ia pun memejamkan mata, memantapkan diri untuk menyudahi segalanya. "Mungkin ini jalan terbaik, aku tidak mampu menanggung semua ini."Dengan berbalut selimut putih, Aluna menga
Sudah dua hari Aluna hanya berdiam di kamar hotel, bahkan ia tidak mengijinkan petugas kebersihan hotel untuk membereskan kamarnya. Ia juga tidak makan apa pun, Aluna pun mematikan ponselnya. Gadis itu tidak ingin ada orang yang menanyakan kabarnya. Ia baru menyadari, tidak ada petugas hotel yang menanyakan tentang kapan dia akan cek out. Jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi, Aluna langsung bergegas keluar kamar hotel. Gadis itu menyempatkan diri bertanya ke petugas hotel yang sedang berjaga di meja resepsionis untuk menanyakan siapa yang memesan kamar yang ia tempati dua hari ini. “Selamat pagi, Bu, ada yang bisa saya bantu?” sapa seorang perempuan dengan tatanan rambut yang sangat rapi, sama seperti wanita paruh baya yang waktu itu mengantarkan buket bunga di depan kamar. Senyumnya pun memaksa Aluna ikut tersenyum dari balik cadar hitam yang ia kenakan. “Saya Aluna yang menempati kamar 503 di lantai dua. Boleh saya tau siapa yang memesan kamar itu?” tanya Aluna kepada petu
“Mari kami bantu masuk!” ucap seorang perempuan yang lebih muda. “Untuk apa?” tanya Aluna sedikit curiga. Aluna memang orang yang scaptis, dia tidak percaya dengan kebaikan orang yang tidak ia kenal. Ia yakin, jika semua orang mempunyai tujuan tertentu dibalik kebaikannya. Apalagi dia baru saja mengalami kejahatan yang luar biasa. “Kamu terlihat sangat lelah, mari beristirahat sebentar. Kami memiliki beberapa makanan halal yang bisa kamu makan. Setelah kebaktian selesai, Pendeta Brian akan menemuimu lagi.” Suster itu mencoba merayu Aluna agar gadis itu mau mengikuti keduanya. “Baik lah.” Aluna yang sudah benar-benar lemas pun pasrah dan menuruti ajakan kedua suster itu. Mereka bertiga berbincang dengan hangat, beberapa jamaat gereja terlihat tertegun menatap ke arah Aluna. Penampilan gadis itu pasti sangat mengundang penasaran para jamaat. Mereka bertiga berjalan masuk ke area yang lebih dalam, hingga ke belakang gereja. Ada asrama khusus suster dan biara wari di sana. Suster yang