"Bagaimana kalau lukaku ini tidak akan pernah sembuh, Kak?" isak Randy pesimis."Pasti bisa. Karena semua yang ada di dunia ini sebenarnya seimbang. Contohnya ada orang sakit, tapi ada obatnya juga bukan? Obatnya memang pahit, tapi menyembuhkan. Nah lukamu nantinya akan sembuh setelah mengalami kepahitan-kepahitan hidup."Raline berusaha mengingat-ingat kata-kata yang sering dinasehatkan oleh guru-gurunya terdahulu. Seperti inilah nasehat guru-gurunya apabila ia dibully di sekolah sewaktu kecil dulu. Namun khusus untuk Randy ia akan menambahi dengan kalimatnya sendiri."Tapi sebelum si waktu bekerja, Kakak akan mencuri start duluan. Kamu tunjukkan saja di mana alamat rumahmu. Biar kakak yang akan menghadapi ayah beserta ibu dan kakak tirimu." "Jangan!" Randy menggeleng cepat. Ia tidak mau mengemis pada ayahnya. Kalau ayahnya menganggapnya bersalah, biarkan saja. Seperti kata Raline tadi, biarlah waktu yang akan menjawab semuanya. "Saya pulang ke kost-an dulu, Kak, Bang Ali." Randy d
Raline menyetir dengan tangan gemetaran. Suara desingan peluru yang mental terkena badan mobil membuatnya adrenalinnya menggila. Oh Tuhan, begini rupanya rasa deg-degan dikejar-kejar oleh musuh. Raline heran bagaimana jantung Axel bisa tetap normal jikalau ia kerap mengalami kejadian seperti ini. "Gas lagi sekencang mungkin. Kalau kita sudah mendekati jalan besar mereka tidak akan berani lagi ber--beraksi. Di lampu merah persimpangan depan nanti, tolong lo te--telepon Erick. Bilang kalo kita akan segera tiba di ru--rumah. Suruh ia menyiapkan ruang o--operasi." Axel berusaha berbicara dengan napas terengah-engah."Heh, ruang operasi? Ini kita mau ke rumah lo apa ke rumah sakit? Lo kalo ngomong yang bener dong? Jangan bikin gue bingung!" Raline panik. Sepertinya kesadaran Axel makin menurun. Buktinya omongannya sudah tidak sinkron lagi. Katanya mau ke rumah saja. Tapi si Erick disuruh menyiapkan ruang operasi. Perintah mana yang harus ia laksanakan?"Ru--rumah gue ada ruang operasi ber
"Siapa yang bernama Erick?" tanya Raline siaga. Ia bertahan tidak membuka pintu mobil sebelum mengetahui siapa orang yang mendekatinya."Gue! Cepat lo buka pintunya. Nanti si boss bisa kolaps karena kekurangan darah!""Tadi lo bilang temen. Sekarang boss. Yang mana yang bener? Jangan-jangan lo ini musuh!" "Dia Erick. Cepat bu--buka pintunya, ce--cerewet." Raline merasa tubuh di pelukannya bergerak. Axel sudah sadar rupanya."Lo ini udah ditolongin malah ngatain gue cerewet." Raline membuka pintu sambil menggerutu. Tugasnya sudah selesai. Ada para anak buah Axel yang akan mengambil alih tugasnya."Tung--tunggu!" Raline urung turun dari mobil saat Axel mencengkram pergelangan tangannya."Apalagi? Itu si Erick sudah datang. Noh, lihat! Gue mau pulang. Udah malem." Raline berdecak. "Rick," Axel mengedikkan kepalanya pada Erick, sebelum tubuhnya diangkat oleh empat orang pria kekar tatooan. Raline melongo saat pintu mobil besar berwarna hitam itu dibuka. Karena mobil tersebut di desain s
Raline tengah mencoba-coba kostum kepala Mini Mouse yang dibawa oleh Randy, tatkala Randy mengomelinya sekali lagi. "Kostum ini harga sewanya lebih mahal lima belas ribu dari kepunyaan Bang Ali kemarin, Kak. Belum lagi kalau rusak atau kotor, kita wajib membayar denda. Jadi ingat, Kakak harus menjaganya baik-baik." Randy memperingati Raline keras. Raline memang cenderung lelet dan menggampangkan masalah. Jikalau nanti ketemu batunya, baru dirinyalah yang ketiban pulung."Iya, Bocah. Kakak paham. Tidak usah diulang-ulang. Pengeng kuping Kakak mendengar ancamanmu." Raline menghela napas kasar. Menggunakan kostum kepala Mini Mouse segede gaban begini sudah membuat kepalanya keliyengan. Ditambah dengan ancaman yang ditekankan berulang-ulang oleh Randy membuat kepalanya makin pusing."Jangan iya-iya aja. Saya sudah memperingati Kakak pahit-pahit ini ya? Jangan nanti bilang ; Ya gimana dong, Kakak nggak sengaja. Nggak ada alasan kayak begitu-begitu ya, Kak?" Randy kali ini tidak memberi Ra
"Heh, mau ke mana lo, Bocah? Mana bisa lo membatalkan pekerjaan sepihak begini saja!" Bang Ali menghardik Randy. Randy menghentikan langkah. Namun ia tidak berbalik. Ia hanya terdiam membelakangi pagar dengan air muka tidak bersahabat."Tenang, Bang. Ntar gue yang bakal nenangin hati itu bocah. Namanya juga anak abege, Bang. Masih labil." Raline membujuk Bang Ali yang kesal. "Ya udah, ambil itu kostum dan segera ganti pakaian. Temui Pak Asep. Dia yang mengundang kalian. Bilang aja kalo lo bedua anak buah gue. Oh ya, ntar pulangnya kalian gue jemput, sekalian gue anterin lo pulang. Anak gadis bahaya kalau pulang malam-malam.""Iya, Bang. Ntar kalo udah selesai gue akan nelpon Abang." Raline mengiyakan sambil menarik dengan susah payah kostum dari bak belakang pick up. Randy tetap diam seribu bahasa. Melihat sikap Randy yang cuek Bang Ali mendecakkan lidah. Anak abege zaman sekarang memang moodyan. Tidak bisa ditebak suasana hatinya. Bang Ali turun dari mobil. Ia membantu Raline menur
Raline terus menari heboh bersama Randy. Dugaan Randy benar. Mereka diundang untuk memeriahkan ulang tahun Ismi, adik bungsu seayah Randy yang kelima. Ismi sangat menyukai tokoh kartun Mickey dan Mini Mouse. Makanya kedua orang tuanya membuat tema Disney diulang tahunnya. Ketika masuk ke dalam rumah. Dalam kurun waktu kurang dari lima belas menit, Raline sudah mengetahui alasan Randy kabur dari rumah ini. Rumah ini menguarkan aroma kemunafikan. Wita, ibu tiri Randy adalah type perempuan manipulatif yang bisanya hanya memerintah-merintah dan merayu Pak Fandy, ayah kandung Randy. Sedari ia baru tiba hingga sekarang satu jam telah berlalu, Bu Wita bersikap seperti seorang nyonya besar yang mengatur ini itu. Namun dirinya tidak bergerak sama sekali. Bu Wita hanya duduk dan meneriakkan perintah. Semua hal yang menyangkut kenyamanan dirinya harus dibantu. Mengambilkan makanan, minuman hingga mengambilkan tas tangannya. Seolah-olah tas tangannya itu beratnya puluhan kilogram. Belum lagi re
"Baik, Pak. Nanti kami menyusul ke belakang. Kami berganti pakaian dulu ya, Pak?" Raline girang bukan kepalang. Soalnya ia melihat ayah Randy dan anak buahnya berjalan ke arah tempatnya berganti pakaian tadi. Sepertinya selain ruangan kantor, ayah Randy ini suka bersiasat di ruangan lain. Yaitu ruangan di dekatnya berganti pakaian."Ayo Randy, kita ganti baju terus makan." Raline menarik tangan Randy yang ogah-ogahan mengikuti.Dugaan Raline benar. Belum juga mencapai kamar ganti pakaian, suara-suara percakapan dari ruangan sebelah cukup jelas terdengar. Raline segera masuk dan melebarkan daun pintu sekian sentimeter. Ia ingin mendengarkan pembicaraan dengan lebih jelas. Nasib baiknya, Randy tidak curiga dengan aksinya. Randy masih terlihat galau. Ia hanya diam dan termenung di sudut ruangan."Kalian semua memang cuma menang sangar saja. Tapi sama sekali tidak berguna! Saya baru menerima kabar kalau sesungguhnya Axel itu baik-baik saja. Tembakan kalian cuma menyerempet kulit dadanya.
Setelah hampir dua puluh menit berjibaku menunggu angkutan umum, Raline berhasil juga mendapatkan angkutan umum yang menyisakan kursi. Walau bokongnya sakit karena himpitan penumpang kanan dan kirinya, Raline tidak peduli. Yang ia pikirkan hanyalah, ia harus secepat mungkin sampai di rumah Bang Ali dan berganti kostum. Setelahnya barulah ia akan menyusun rencana untuk menyelamatkan Axel."Berhenti, Bang. Stop... stop..." Raline meneriaki supir angkutan. Gang Rumah Bang Ali telah terlihat. "Astaghfirullahaladzim, Neng. Hati-hati atuh. Pelan-pelan aja." Raline nyaris terjungkal dari angkutan umum akibat tersandung kaki seorang penumpang. Ia memang sedang terburu-buru."Maaf ya, Bu? Saya tidak sengaja. Saya buru-buru soalnya." Raline meminta maaf, sebelum kembali berlari."Mampus, tinggal satu jam lagi. Mudah-mudahan gue keburu nolongin lo, calon laki." Sambil berlari Raline memindai jam di pergelangan tangannya. Jarak dari rumah Bang Ali ke panti asuhan Kasih Bunda itu memakan waktu s