“Maafkan saya, Tuan.” Maid itu memohon sambil bersujud di kaki Joshua. Suaranya gemetar hebat, tangannya tidak berhenti mengusap meminta ampun pada sang majikan. Joshua memijat dahinya pening. Wajahnya pucat pasi, sakit kepala menderanya tanpa ampun. “Seharusnya kau laporkan padaku apa yang terjadi. Kenapa saat dia pergi dari tempat ini tidak ada yang tau?!” Suara Joshua menggelegar di seluruh ruangan. Ia murka dengan kecerobohan para pelayannya. “Kau dipecat. Jangan tunjukkan lagi mukamu di hadapanku!” Kaki Joshua melangkah pergi meninggalkan sang maid yang masih bersujud di lantai. Beberapa temannya langsung menghampiri dan memeluk maid tersebut. Masih untung Joshua tidak menarik pelatuk pistolnya. “Cari dia sampai dapat! Aku tidak peduli bagaimana pun kondisinya.” Perintahnya pada DK. Ia terlihat sangat marah sekarang. “Baik, pak.” Kaki Joshua kembali melangkah menuju kamar sang wanita. Ia melihat kamar itu kosong sekarang. Perasaannya hancur karena Karina pergi begitu saja m
5 bulan kemudian…Sudah lima bulan berlalu sejak Karina memilih pergi dan tinggal di sebuah desa tempat ia menghabiskan masa kecilnya. Wanita itu terlihat hidup apa adanya, ia bahagia tinggal di rumah sederhana peninggalan kedua orangtuanya. Setiap bulan, Karina rutin pergi ke dokter untuk memeriksakan kandungannya yang sudah menginjak umur enam bulan lebih satu minggu. Karina sangat bahagia saat tahu jenis kelamin anaknya, ia semakin tidak sabar untuk menantikan kelahiran bayi cantik ini. “Terima kasih, saya akan datang lagi.” Karina membungkuk singkat kepada dokter kandungannya.“Hati-hati di jalan, sampai jumpa.” Dokter kandungan itu sangat ramah.Karina keluar dari dalam klinik dan melihat ke arah langit sejenak. Udara sore yang dingin langsung menyapa. “Ugh, dingin.” Karina mengeratkan coat-nya saat melangkah keluar dari klinik kandungan. Ia berjalan santai menuju rumahnya yang jaraknya tidak terlalu jauh. Karina biasa jalan kaki, itu lebih sehat.Cuaca sudah mulai dingin mema
Sekarang jam sepuluh malam lewat tiga puluh menit. Joshua masih enggan beranjak dari meja kerjanya. Matanya masih betah melihat layar persegi Ipad-nya. Jari telunjuknya menggeser foto demi foto yang beberapa jam yang lalu ia dapat dari asistennya, DK. “Dia terlihat menggemaskan dengan perut buncit itu,” monolog Joshua. Bibirnya tidak berhenti tersenyum. Seolah terhipnotis oleh foto itu. Tok-tok-tok “Masuk!”Joshua menyahut setelah mendengar suara ketukan pintu. Matanya langsung teralihkan ke DK yang baru saja kembali dari perjalana panjang. 4 jam perjalanan ia tempuh dengan kerja keras. Untungnya, hari ini jalanan tidak terlalu macet, jadi DK bisa kembali tepat waktu untuk laporan. “Selamat malam, pak. Saya akan langsung menjelaskan apa yang sudah saya dapatkan hari ini.” Joshua mengangguk, “Silakan.” “Nona Karina tinggal sendiri di rumah kecil peninggalan kedua orang tuanya di desa itu. Beliau bekerja dari rumah. Nona jarang keluar rumah kecuali ada hal yang penting. Satu bulan
“Joshua,” bisik Karina. Seketika ketakutan itu menggerogoti dirinya. Ia tidak pernah menyangka kalau Joshua bisa menemukannya secepat ini. Bibir Joshua melukis sebuah senyum. Senyuman itu membuat tubuh Karina merinding. Pria ini seperti ingin memakannya hidup-hidup. “Apa kamu tidak mau menawarkan ku untuk masuk? Apa kita akan bicara di depan pintu seperti ini? Tidak enak dilihat tetangga. Izinkan aku masuk, Karina.” Suaranya dingin, mendominasi dan kejam. Karina semakin takut, takut sesuatu yang buruk terjadi padanya. “M-M-Masuklah!” Karina mundur beberapa langkah. Membuka akses masuk untuk Joshua. Matanya tidak berhenti mengawasi setiap gerak gerik pria itu. Ia takut setengah mati sekarang. Apa yang akan Joshua lakukan padanya. Mengingat, kepergiannya merupakan pelanggaran aturan yang sudah Joshua buat. Ingatan waktu itu tiba-tiba menghantuinya. “Indah, rumahmu terlihat nyaman sekali. Aku jadi ingin tinggal lebih lama lagi di sini.” Joshua masih mengamati interior rumah Karina.
“Bisa saya terima pesanan saya, Nona?” DK tampak acuh dengan ekspresi Vivian yang saat ini memandangnya tajam. Vivian menghela napas pelan. Ia kemudian memberikan tanda terimanya pada DK. Ia menyerahkan pesanan itu dengan perasaan yang aneh. “Uang sisanya sudah saya transfer. Terima kasih atas kerja samanya,” ucap DK. Ia sudah menyelesaikan semua urusan tanda terima dan pembayaran. “Apa maksudnya semua ini?” Vivian bertanya. Bagaimana pun dia berpikir positif. Dia tetap merasa ini ganjil. “Maksud apa?” DK balik bertanya. Raut wajahnya tetap dingin dan tegas. Vivian menghela napas pelan. “Apa belum puas dengan semua teror yang Anda lakukan selama ini? Saya sudah sangat bersabar dengan tingkah kalian. Jangan membuat saya melewati batas.” Ia tampak marah, namun masih bisa ditahan. DK menyilang kedua tangan di dadanya. Mata tajam itu menatap bola mata cokelat gelap milik Vivian. “Saya tidak ada maksud apa-apa, Nona. Saya memesan minuman dari kafe Anda karena memang karyawan saya me
DK menyeringai melihat tingkah Vivian yang sama sekali tidak takut dengan dirinya. Seolah seperti tertantang dengan situasi ini. DK ingin melanjutkannya sampai wanita itu lelah lalu menyerah. “Bisakah Anda pergi? Saya harus menutup kafe. Ini sudah larut malam. Besok saya ada kelas,” usir Vivian terang-terangan. Ia sudah selesai dengan kasirnya. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat tiga puluh menit. Vivian harus kembali ke rumah untuk tugas-tugas kuliah dan istirahat. “Tidak bisakah Anda bersikap lebih ramah? Saya datang dengan niat yang baik,” cibir DK. Vivian menumpu kedua tangannya di atas meja. Matanya menatap DK tidak suka. “Jawabannya, tidak bisa. Saya sudah benar-benar jengah dengan Anda dan bos Anda yang tidak tau malu itu.” Vivian berucap tegas. DK tidak tersulut sama sekali. Ia terlihat tenang namun ada indikasi bahaya dalam sorot matanya. Vivian tidak menyadari itu. Dia melangkah ringan menjauh dari meja kasir. Saat dia hendak melangkah menuju pintu. Tangan DK men
Wajah Vivian seperti topeng kemarahan, panasnya memancar secara bergelombang. Matanya menyipit, dan tinjunya mengepal begitu erat hingga buku-buku jarinya tampak putih. Ia mendidih dengan amarah, seakan-akan setiap serat tubuhnya bergetar oleh amarah.Kakinya yang kuat itu menendang perut DK sampai pria itu menjauh darinya. Vivian benar-benar marah dengan perlakuan kurang ajar ini. “Kau benar-benar kurang ajar,” marahnya. Punggung tangannya mengusap bibir yang basah karena ciuman panas yang DK berikan padanya. “Tidak pernah belajar sopan santun, ya? Apa semua anggota mafia bertingkah kurang ajar dan seenaknya sepertimu?” Kata-katanya penuh dengan sarkasme, telunjuknya tertuju pada pria itu. Sangat marah dan benci. DK mengusap bagian bawah bibirnya. Ia tersenyum tipis melihat bagaimana Vivian menolaknya secara mentah-mentah. Sungguh membuat adrenalin semakin membara. Dia wanita pertama yang melawan ciuman dari laki-laki tampan ber-bibir seksi seperti DK. “Semakin menarik, Nona. Sa
2 bulan kemudian…Ruangan itu disapu oleh cahaya keemasan matahari pagi. Burung-burung berkicau pelan di luar, menambahkan melodi yang tenang pada suasana yang hening. Selimut lembut kabut menyelimuti lembah di bawahnya, udara yang hening dan diselimuti embun. Angin sepoi-sepoi menyapu tempat tidur, mengangkat tirai dan menari-nari di atas kulitnya.Aroma ruangan yang manis dan lembab. Pemandangan yang sedikit menyita perhatian. Dua cairan putih dan kuning itu terlihat sudah terlalu lama bertengger menuggu habis dan digantikan dengan yang baru.Perlahan mata yang sudah lama terpejam itu terbuka, penglihatannya masih kabur dan kepalanya berputar. Ia melihat sekeliling ruangan yang asing, mencoba memahami keadaan sekelilingnya.“Ini di mana?” bibir tipisnya bergumam. Netranya masih menganalisa seluruh ruangan tempatnya berada sekarang. Dia mencoba yang terbaik untuk mendapatkan arahnya, pikirannya berkecamuk dan jantungnya berdebar-debar. Matanya menangkap sesuatu yang sangat asing. Ad