Hagen keluar dari mobil begitu melihat tubuh Camellia yang terbaring di bahu jalan. Dia menarik napas sejenak, memijit kepala, lalu menengadah ke langit sembari mengumpat pelan sebelum akhirnya berjalan dengan langkah biasa. Tidak sedikit pun terlihat terburu-buru atau khawatir, padahal jelas sekali matahari sangat terik siang ini.
“Boss?” panggil Frank yang membuka jendela kaca mobil dan melihat atasannya itu mendekati si gadis keras kepala.
Padahal dia sudah bilang pada bosnya itu untuk tidak perlu datang menemui gadis tersebut, namun tentu saja tidak ada yang bisa menghentikan Blake Hagen.
Satu tangan Hagen naik ke udara, dan dia mengisyaratkan pada bawahannya untuk tetap di mobil, membuat Frank membuat gesture tangan menyerah.
Ketika tinggal beberapa langkah lagi saat mendekati tubuh Camellia, Hagen mengeluarkan ponsel dan mendial nama Brown. Saat dering ke tiga, terdengar suara serak sahabatnya itu, yang tampaknya sedang menahan sakit.
Go
Hagen membawa tubuh Camellia melintasi halaman sampai ke depan pintu. Dia kesulitan mengeluarkan kunci rumah gadis itu dari balik saku celana di saat kedua tangannya sibuk menggendong Camellia. “Shit,” umpatnya ketika kunci itu nyaris terjatuh dari genggaman. Kemudian, dia pun menatap wajah tertidur Camellia cukup lama sebelum akhirnya memperbaiki posisi gendongan gadis itu kembali dengan merebahkan kepalanya di bahu. “Kau tidak berat, jangan salah paham, Princess. Hanya saja …” Hagen bergumam disaat dia sibuk memutar kunci pada pintu. Berkali-kali dia menarik napas sembari menggeram, dikarenakan melakukan dua aktivitas bersamaan. “Hanya saja … aku tidak bisa memelukmu terlalu lama.” Beberapa kali Hagen menghela napas ketika dia merasakan benda di balik celananya mulai membentuk tenda. “Oh, shit,” bisiknya sembari memperbaiki celana yang mulai menyesaki. “Itu benar-benar ketat,” gumam Hagen dengan gigi mengatup rapat. Begitu pintu ruma
Suara gumaman percakapan di sekitar membangunkan Camellia. Perlahan-lahan mata gadis itu terbuka, dan dengan kepala yang terasa sedikit berat, dia pun mengedarkan pandangan ke sekitar.Camellia mengerjab-ngerjabkan kelopak mata beberapa kali untuk menjernihkan penglihatan yang masih berkunang-kunang, dan saat itulah dia melihat tepat di depannya seorang pria tengah duduk di sebuah kursi dengan burger dalam genggaman. Pria berusia empat puluhan itu makan dalam diam, dan tidak sekali pun melihat ke arah Camellia yang kini terbaring di atas lantai dingin.Sementara itu, terlihat televisi menyala di dinding yang berhadapan dengan pria tersebut.Untuk sesaat, Camellia mengumpulkan kesadaran, menatap sekitar dengan seksama, pada dinding kusam dan atap tidak terawat. Dia juga menyadari, tubuhnya terbaring di atas lantai kotor, membuatnya menahan diri untuk tidak menjerit jijik.Kemudian, perhatian Camellia teralihkan pada pria berbadan gempal tersebut.Se
Begitu panggilan berakhir, mata Camellia membulat seketika. Dengan manik mata bergetar dan pelupuk mata yang basah, dia pun menatap pria yang menculiknya penuh permohonan tersirat.Kepala gadis itu menggeleng cepat saat mendapati tatapan bengis pria tersebut dengan bibir membentuk garis lurus. Dapat Camellia rasakan aura gelap yang keluar dari tubuh pria itu, membuat sekujur tubuhnya hendak meringkuk, insting melindungi diri secara tidak sadar.Kini, wajah pria itu pun memerah dengan pandangan marah yang terarah pada ponsel dalam genggaman. Dan seketika saja benda pipih itu membentur dinding yang berada di balik tubuh Camellia, meloloskan jeritan histeris cukup panjang dari mulut gad
“Apa yang kau lakukan pada gadis itu?”Seorang pria dengan stelan jas hitam berdiri tidak jauh dari tubuh terbaring Camellia. Dia mengusap dagunya pelan sembari melirik sesekali pada pria yang kini mematung di dekat meja makan.Dengan gigi beradu dan nada sinis, pria yang ditanya itu pun berkata; “Aku tidak melakukan apa pun yang dapat membunuh gadis tersebut.”Mendapat jawaban itu, si pria berjas hitam menaikkan sebelah alis sembari menunjuk ke arah tubuh tidak berdaya di atas lantai.
Usapan lembut di pipi membuat kelopak mata Camellia bergetar. Gadis itu menggerakkan sedikit kepala dan mencari-cari sumber sentuhan. Ketika tangan hangat itu mengelus kepala dan punggungnya, Camellia pun bergumam puas sembari menghela napas pelan.Namun, dahinya membentuk kernyitan halus saat tangan itu menyentuh bagian tubuh yang membiru.Sontak saja Camellia mencoba menjauhkan tubuh diikuti ringisan kesakitan yang seketika menghentikan sentuhan tangan hangat itu di udara.Dan tidak lama setelahnya, dia pun mendengar bisikan lembut menenangkan.
Camellia menatap ujung sepatunya dengan gugup. Dengan kedua tangan meremas sisi rok selutut berwarna biru, gadis itu pun mengangkat kepala begitu mendengar suara yang familiar.“Miss Duncan,” panggil seorang pria paruh baya dengan jas putih yang keluar dari sebuah ruang perawatan.Seketika Camellia pun berdiri, dia mengulas senyum tipis dan menyambut dokter itu ramah.“Selamat siang Dokter Hans,” sapanya balik.Dokter tersebut menatap wajah Camellia yang masih terlihat membiru, membuat gadis itu pun berdiri gelisah dan menundukkan kepala kembali.Menyadari itu, Dokter Hans berdehem dan mengisyaratkan pada Camellia untuk berjalan bersisian dengannya.&ld
Tubuh Camellia terlonjak seketika, dan dengan cepat dia berbalik arah hanya untuk mendapati sosok Hagen yang berdiri tepat di depan wajah.“Astaga! Kau mengejutkanku,” jerit Camellia sembari memegangi dada, sedangkan matanya melempar delikan tajam.Hagen yang saat itu bersikap sangat tenang hanya memberikan tatapan datar pada gadis tersebut. Tidak seperti sebelumnya, pria itu seolah menguarkan aura dingin yang membuat langkah Camellia mundur tanpa sadar.“Kau belum menjawab pertanyaanku,” ucap Hagen sembari mengobservasi keseluruhan wajah Camellia yang masih membiru.Mata pria itu memperhatikan dengan seksama, membuat gadis itu pun berdiri gelisah.Didahului deheman, Camellia pun berkata; “Kau tida
Camellia menatap bingung pada ruangan yang dia tempati. Melihat warna dan interiornya, gadis itu pun menyadari bahwa dia berada di dalam kediaman Hagen. Seketika tangannya meremas seprei putih yang berada di bawah tubuh. Baru saja gadis itu hendak beranjak saat tiba-tiba dia mendengar suara pintu yang terbuka. Kepalanya dengan cepat menoleh ke sumber suara, dan mendapati seorang wanita berparas rupawan tengah masuk ke dalam ruangan dengan pembawaan tenang. Saat melihat dirinya yang duduk di atas ranjang, wanita itu pun mengulas senyum yang tampak sangat terlatih. “Miss Duncan,” sapa wanita tersebut sembari berjalan mendekati ranjang. “Maaf, aku tidak mengetuk lebih dahulu, kupikir anda masih tertidur.”