Beberapa Minggu setelah pertemuan dengan Jeff, Camellia tampak lebih berhati-hati dengan sekitar.Sesekali gadis itu merasakan seseorang tengah mengikutinya, dan hal itu semakin membuat Camellia merasa tidak aman jika jalan sendirian, walaupun hanya sekedar melakukannya di lingkungan sekolah yang ramai oleh lalu-lalang siswa lainnya.Camellia lebih memilih untuk mengajak Bella agar dapat menemaninya kemanapun dia pergi. Hal ini tentu saja membuat gadis enam belas tahun itu bertanya-tanya akan perubahan sikapnya.“Ada apa denganmu? Mengapa kau terlihat seperti orang yang ingin menyembunyikan diri, Lia?”Mendengar itu, kepala Camellia pun menggeleng samar.Akhir-akhir ini dia lebih banyak diam, terutama setelah acara pentas seni, dimana sang ayah tidak menghadiri undangan yang telah Camellia berikan pada butler keluarganya.Dia tidak tahu dimana letak kesalahannya. Padahal kehadiran ayahnya sangat Camellia tunggu waktu itu.Dan, sepulang dari acara pentas seni, dia pun menanyakan alasan
Camellia tidak tahu harus melakukan apa dalam situasinya saat ini, sehingga dia hanya mendengarkan suara hangat pria itu yang kini menggelitik telinganya.“Cukup anggukan kepalamu jika kau setuju.”Mendengar instruksinya, Camellia pun mengangguk cepat.Jelas sekali bahwa gadis itu tengah ketakutan.Menyadari hal itu, pria yang kini membekapnya pun tampak berusaha menenangkan.“Sssttt … aku tidak berniat melukaimu. Yang aku butuhkan hanya bantuan.”Seketika, Camellia pun menarik napas dalam-dalam sembari memejamkan mata untuk menenangkan diri. Ketika dia dapat mengontrol rasa takut yang sempat menguasai, gadis itu mengangguk samar dan pelan. Tetapi, tetap saja pria bersuara maskulin yang menenangkan di balik punggungnya tidak melepaskan bekapan tangan dari mulutnya.“Seseorang tengah mengincar keberadaanku, dan jika kau bisa menyembunyikanku sampai supirku tiba, maka aku akan melakukan apa saja untuk melindungimu di masa mendatang.”Mendengar penjelasannya, tanpa Camellia sadari, manik
Saat Ini, di Luna Star Hotel. Honeymoon On New York.Di salah satu kamar Luna Star Hotel, ditemani cahaya remang-remang. Aroma kopi yang maskulin dan wangi mawar yang berpadu. Camellia menatap punggung lebar dan kokoh yang membelakanginya dengan desah napas yang teratur.Otot-otot liat itu menggoda mata Camellia untuk tidak berpaling sedikit pun. Namun, bukan itu yang membuat Camellia masih terjaga kendati jam dinding mewah yang tergantung di depan pintu sudah menunjukkan pukul tiga pagi.Matanya belum perpaling ketika punggung kokoh serupa Dewa Yunani itu berbalik dengan sepasang mata yang menghunjam Camellia. Warna hitam obsidian yang bersinar itu menatap langsung ke arah bola mata Camellia.Dia tidak mampu mengontrol detak jantungnya yang berdesir cepat ketika Hagen memamerkan senyum tipis yang menghiasi wajah rupawannya tersebut.“Mengapa kau belum juga tidur?” Suara parau yang berat dan dalam itu seolah menyedot semua akal sehat Camellia.Camellia tidak mampu menjawab. Tubuhnya
Camellia baru saja terbangun, dan dirinya menatap puas dengan pandangan berbinar pada pria yang masih terlelap di samping tempatnya berbaring. Dengan ujung jemari yang menari-nari di atas kulit telanjang pada punggung pria itu, Camellia mencoba menahan diri agar tidak tertawa, terutama ketika Hagen menggumamkan sesuatu di dalam tidurnya. Tahu bahwa dia hanya akan membangunkan singa yang lapar, Camellia memilih untuk segera bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi. Setelah beberapa waktu kemudian, Hagen tampak masih tertidur dengan posisinya semula, sehingga Camellia membiarkannya dan terus melangkah ke arah balkon. Gadis itu tampak menikmati semilir angin pagi yang menyuguhkan pemandangan hutan beton di hadapan. Sembari menyeduh susu cokelat hangat, tatapan Camellia tertuju pada arakan langit cerah yang memenuhi kota New York. Dia hendak menyesap minumnya kembali, saat tiba-tiba sepasang tangan kekar memeluk dari arah belakang. “Morning, Princess,” sapa Hagen, s
Pukul 08:00 Malam di Lancester, Perbatasan Denver. Seorang gadis duduk menyendiri dengan posisi tubuh meringkuk di atas bangku, sedang kedua tangan memeluk diri di sudut ruangan sebuah kantor polisi. Tampak baju dan rambutnya acak-acakan serta luka di sudut bibir dan memar di pipi bagian kiri. Tatapan gadis itu terlihat kosong dengan kepala menunduk ke bawah, terpaku pada kaki telanjangnya yang mulai kedinginan, namun tidak dia pedulikan. Bahkan suara-suara ribut dalam kantor kepolisian tidak lagi dia dengar. Begitu pula para petugas yang sejak tadi lalu-lalang di depan kursi tampak tidak menyadari keberadaannya. Gadis itu seolah tidak terlihat, dan dibiarkan sendiri di sudut tanpa seorang pun mendekat. Tubuh rapuhnya semakin mengkerut di kursi. Rasa takut dan trauma kejadian tadi masih membekas dalam ingatan. Bahkan bila diperhatikan, gadis itu terlihat menggigil. Berkali-kali dia mengusapkan tangan pada kedua lengan yang mel
Dua Minggu Yang LaluSeluruh stasiun televisi memberitakan hal yang sama sejak beberapa hari; berita skandal perselingkuhan dan kasus korupsi seorang pengusaha ternama dan paling berpengaruh di Lancester, yaitu Edgar Duncan. Diikuti dengan layangan perceraian sang istri, Amanda Duncan. Setelah menyebarnya kasus perselingkuhan tersebut di media yang membuat heboh jagat raya.“Saat ini Amanda Duncan menolak untuk memberi komentar terhadap kasus yang menyandung Edgar Duncan. Wanita berusia empat puluh tahun itu meminta media untuk berhenti mengejar-ngejar keberadaannya, karena dia sedang dalam masa penyembuhan diri akibat kasus yang menjerat sang suami,” jelas seorang reporter dari salah satu media yang menunjukan video rekaman ketika Amanda dikawal beberapa bodyguard saat memasuki sebuah mobil di tengah-tengah kerumunan paparazzi dan media.Dari layar televisi, tampak mantan model tersebut menyembunyikan wajah dengan syal dan topi bund
Sekembalinya dari rumah sakit, Camellia membuka pintu rumah. Seketika dia terjang oleh kenangan secara bertubi-tubi saat melihat ruang tengah rumahnya kosong dari segala perabotan mewah yang dulu pernah menghiasi tempat itu.Tangan gadis tersebut membeku di gagang pintu, sedang matanya panas ketika menyapu ke seluruh sudut ruangan. Tidak ada sedikit pun kenangan yang tersisa.Bahkan, foto-foto beserta lukisan yang pernah memenuhi setiap sisi dinding hanya menyisakan jejak keberadaannya saja. Membentuk sebuah bayangan hitam seperti bingkai yang menandakan dulunya pernah ada benda di sana.Memori Camellia masih mengingat jelas, bahwa dinding itu penuh akan hiasan bernilai jutaan dollar yang tersusun hingga memenuhi seluruh ruangan.Dengan langkah lelah, Camellia pun memasuki rumah dan menutup pintunya rapat.Seketika tubuh gadis itu pun luruh ke lantai, kemudian dia melipat diri dan merebahkan kepala pada lutut yang terasa sangat rapuh. Seolah, tidak
Langkah Camellia terdengar ragu-ragu saat mendekati pintu. Namun, dia pernah merasakan hal seperti ini saat di awal-awal kebangkrutan sang Ayah.Ketika itu, banyak debt collector mendatangi rumah mereka, dan satu per satu perabotan di sana diangkut paksa. Mulai dari lukisan sampai album foto keluarga. Katanya, bingkai pada foto-foto itu bernilai ribuan dollar.Camellia tahu akan hal itu, sehingga dia tidak bisa berkata apa-apa dan meminta agar setiap lembar foto dikembalikan pada waktunya.Dia juga ingat sangat jelas, ketika semua isi lemari dan guci diambil sampai tidak bersisa. Membuat Camellia kesulitan memilih baju untuk keluar rumah. Karena itulah, tidak lagi ada benda yang bisa dipakai di sana.Jadi, kali ini apa lagi yang mereka minta? Tubuhnya?Menyadari ke mana arah pemikirannya saat ini, Camellia pun menggelengkan kepala. Tidak mungkin dia akan merendahkan diri sampai sejauh itu, sehingga tanpa sadar kesedihannya semakin dalam.Tet