Blake Hagen. Pria paling ditakuti di seluruh Kota Lancester. Dia menguasai perdagangan dan beberapa hal yang diisukan sebagai transaksi ilegal. Bahkan, gadis sepolos Camellia pernah mendengar legenda yang menceritakan bagaimana pria itu bekerja di tempat yang tidak seharusnya.
Banyak orang yang tidak ingin berseberangan dengan si lelaki pemilik mata obsidian, karena sekali saja membuat Blake Hagen marah, maka kedamaian hanya tinggal angan-angan.
Itu sebabnya Camellia tidak mampu membalas tatapan pria itu setelah dia mempelajari nama yang sangat tabu disebut di seantero Kota Lancester. Apa lagi saat ini dia berada dalam radar pria itu yang merupakan berita buruk bagi masa depan Camellia.
“Apa kau tidak mau menyambut uluran tanganku?”
Pertanyaan pria tersebut mengangkat kepala Camellia seketika. Dan saat itulah dia baru menyadari bahwa sejak tadi Hagen menunggu jabatan tangan darinya, yang tentu saja tidak ingin Camellia lakukan.
Akan tetapi dia tidak memiliki pilihan. Karena menolak sama saja cari mati.
Dengan memberanikan diri, gadis itu menekan rasa frustrasi dan menghadapi Hagen tanpa sedikit pun memperlihatkan rasa takut. Dia tidak boleh lengah. Terutama pada laki-laki seperti ini, yang dapat mencium bau ketakutan dan mengartikannya sebagai kelemahan.
“Camellia Duncan,” kata Camellia, menyambut uluran tangan tersebut dan menjabatnya dengan tatapan mata lurus ke depan.
Sebelah alis Hagen naik ke dahi begitu dia melihat keberanian Camellia setelah namanya terucap. Sebelumnya tidak ada yang berani balik menatap matanya begitu mereka mendengar siapa dia.
Tentu saja hal itu membuat sudut bibir Hagen melengkung seketika, membentuk serangkaian senyum yang jauh dari kata bersahabat.
“Ah, Miss Duncan,” gumam Hagen sembari membawa tangan feminim itu ke bibir yang dengan cepat Camellia tepis hingga Hagen hanya mencium udara.
Untuk sesaat Hagen tertegun, dia tidak menyangka yang barusan terjadi di depan mata, lalu tidak lama setelahnya terdengar tawa maskulin yang membuat langkah Camellia tanpa sadar mundur selangkah.
Apanya yang lucu?
Batin Camellia sembari memeluk tangan yang nyaris mendapat kecupan dari bibir tegas pria itu.
Salah satu tangan Hagen menutupi mata, sedang dia masih tertawa, namun kali ini dengan suara kekehan yang sangat pelan.
“Kau benar-benar berani telah menolakku,” ucap Hagen setelah tawanya reda.
Kini, pria itu menatap tajam pada Camellia yang seketika membuat napas gadis itu tercekat dengan jantung berdegup cepat.
Tidak ada sedikit pun sisa-sisa ekspresinya yang melunak seperti tertawa tadi. Wajah pria itu tampak jauh lebih dingin dengan rahang mengeras dibandingkan sebelum ini.
Tidak pernah Camellia melihat seseorang yang memberinya pandangan seperti pria di hadapan. Sangat mengintimidasi dan penuh dominasi. Aura gelapnya membuat Camellia merasa sesak tiba-tiba, manjadikan dirinya gelisah dan ingin lari dari sana.
Saat Blake Hagen mendekat dan berbisik tepat di telinganya, bahu Camellia berubah tegang dengan tangan meremas piyama.
“Dengar, kedatanganku untuk menagih sesuatu yang kuyakini kau sudah tahu.”
Napas hangatnya berembus di sekitar telinga Camellia, memberikan getaran aneh yang menjalar hingga ke sepanjang tulang belakang. Bahkan, aroma mint dari napas pria itu membuat paru-paru Camellia menjadi rakus seketika.
“Aku sengaja menunggu selama beberapa waktu, namun sepertinya kau dan keluargamu tidak ada niat untuk mengembalikan semua yang telah dicuri dariku. Itulah alasan mengapa aku dengan berbaik hati bertamu hari in,” ucap pria itu dengan sedikit seringai di wajah yang membuat Camellia kembali gemetar, namun dia tepis dengan cepat.
“Kedatanganku untuk menagih apa yang seharusnya menjadi milikku, Princess.”
Satu tangan Hagen mengelus permukaan pipi Camellia begitu dia mendapati pipinya berubah menjadi sedikit merah muda. Rasa penasaran akan tekstur kulit gadis itu membuat Hagen sedikit lupa diri.
Menerima sentuhan pria itu yang tiba-tiba, perlahan-lahan rona merah menjalar di sepanjang leher, pipi hingga ke cuping telinga Camellia yang membuat Hagen terkesima untuk beberapa waktu. Namun, mendengar suara tercekatnya yang feminim, Blake Hagen pun tersadar kembali.
Hatinya mengutuk diri, karena bisa-bisanya terpaku pada sesuatu yang sesedarhana itu.
Saat Hagen bermaksud untuk menarik diri, dia pun mencium wangi persik yang menahan tubuhnya untuk beranjak dari sisi gadis itu. Lagi-lagi dia terpaku untuk ke sekian kali, membuatnya mendengus keras, menyebabkan Camellia sedikit terperanjat.
Mata Hazel gadis itu membulat, membuat Hagen kesulitan mengalihkan pandangan hingga menjadikan keduanya saling mengunci tatapan, yang tanpa mereka sadar telah kembali berada dalam sihir masing-masing.
Di antara keduanya, Hagen-lah yang memutus kontak mata mereka. Hal itu membuat Camellia menundukkan kepala dan menghindari mata pria itu.
“Apa semua hutang-hutang keluargaku ada di sini?” tanya Camellia pada akhirnya.
Sembari menelan saliva dengan susah payah, gadis itu membuka lembaran dokumen yang sejak tadi berada dalam genggaman. Tangannya sedikit gemetar, sehingga dia pun berusaha untuk tidak menunjukkannya dengan berpura-pura tegar.
Hagen tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya mengawasi Camellia sembari memperhatikannya dari ujung kepala hingga kaki. Pembawaan anggun gadis itu membuat Hagen mengeraskan hati.
Setelah selesai membaca dokumen tersebut, Camellia pun menghela napas panjang.
“Aku tidak bisa membayar ini semua hanya dalam waktu satu tahun,” ucapnya sembari menatap lurus ke mata pria yang berdiri di hadapan.
Kepala Hagen sedikit miring ke kiri, dengan sebelah alis naik ke dahi, dia pun menatap Camellia arogan.
“Aku tidak ingin tahu bagaimana kau melakukannya, karena yang aku inginkan semua uang tertera di dalam dokumen dilunasi dalam waktu yang telah ditentukan.”
Melihat wajah Hagen yang dingin tanpa senyuman, Camellia menjadi gelisah. Dia pun merasa pusing tiba-tiba hingga tanpa sadar memijit pelipis.
“Beri aku waktu selama lima tahun, Mr. Hagen,” pinta Camellia dengan tatapan sayu dan bahu tertunduk lesu.
Ayahnya masih dalam perawatan, dia butuh uang untuk membayar biaya rumah sakit yang tidak dicover oleh asuransi. Belum lagi hutang bank dan beberapa hutang di tempat lainnya. Bagaimana mungkin Camellia tetap waras untuk melunasi semua dalam waktu bersamaan.
“Blake,” kata Blake Hagen yang seketika menarik perhatian Camellia kembali. Dengan tatapan bingung, Camellia tampak hendak bertanya maksud perkataan pria itu barusan.
“Blake, panggil aku Blake,” ucap Hagen yang mendekatkan wajahnya lagi.
Bila bergerak seinci saja, bibir keduanya dapat bersentuh tanpa sengaja.
Menyadari itu, Camellia mencoba menarik diri, namun Hagen menahan belakang kepala gadis itu sehingga dia kesulitan untuk menoleh meski hanya sesaat, dikarenakan genggaman Hagen yang kuat.
“Sebut namaku, dengan begitu aku akan melepasmu,” bisik Hagen yang sengaja menyentuhkan pucuk hidung mereka, membuat Camellia menahan napas untuk sementara.Hal itu membuat dada Camellia naik turun. Dalam sekejab paru-parunya meminta asupan oksigen dengan cepat. Berdekatan dengan pria itu membuatnya sesak.Dengan gelisah, ujung lidah Camellia menyapu bibir ranumnya yang sedikit merekah seperti kelopak bunga, yang tanpa gadis itu sadari mengundang perhatian Hagen seketika.Begitu dia tahu akan kesalahannya, Camellia pun mengatup bibir dan menggigit pelan mulut bagian dalamnya sembari mengutuk diri dalam hati.Tidak tahan akan godaan gadis di hadapannya yang bertingkah sangat polos, Hagen menyentuh bibir Camellia menggunakan ujung ibu jari dengan sengaja, membuat mata gadis itu membulat sebesar purnama, menjadikan napas Camellia tercekat saat itu juga.“Apa sesulit itu menyebut namaku, Princess?” bisik Hagen dengan suara renda
“Ti-tiga pilihan?” tanya Camellia terbata-bata.Mata bulat jernihnya yang berwarna hazel menatap Hagen penuh kebingungan.“Ya, aku memberikan tiga pilihan yang dapat melunasi seluruh hutang keluargamu,” jelas Hagen dengan kedua jempolnya yang mengelus halus permukaan wajah gadis itu.“Apa yang … kau mau?”Senyuman Hagen semakin lebar, namun tatapan lembutnya yang tadi digantikan dengan suatu pandangan … vulgar. Seketika mengetuk hati Camellia dengan kerasnya, membuat dia lupa caranya bernapas untuk sesaat.Gadis itu pun memegangi pergelangan tangan Hagen, bermaksud menepis sentuhan pria itu pada tubuhnya, namun Camellia tidak mampu menghalau tangan pria itu walaupun hanya seinci. Menjadikan Camellia frustrasi yang jelas tergambar dari ekspresi wajahnya.Hal itu memudahkan Hagen untuk membaca setiap perubahan emosi Camellia, layaknya lembaran buku yang sedang pria itu baca.Masih dengan
Langkah Camellia yang menaiki tangga tampak terseok. Pandangan matanya yang menatap lurus ke depan terlihat kosong. Kini, kepalanya dipenuhi oleh perkataan-perkataan Hagen, yang terus membayangi di sepanjang jalan menuju kamar.“Tidur setahun dengannya, katanya,” gumam Camellia yang seketika menghentikan langkah. Satu tangannya yang memegang anak tangga mengepal erat. “Aku tidak akan tidur denganmu! Kau pria brengsek!”Sekuat tenaga Camellia berteriak, hingga tubunya setengah membungkuk.“Siapa kau yang berani-berani merendahkanku!”Dia memukul keras pegangan tangga di bawah tangannya sampai telapaknya mati rasa.“Dasar kau @$%^&@ dan juga @#4$%#& kuharap juniormu %$#@^& dan ****** Mati saja kau @#%^&.” Gadis itu pun terus memaki tanpa jeda dengan kata-kata sangat vulgar dan penuh warna, yang kebetulan saja dia dengar dari pekerja kebun serta para pelayan ketika rumah itu masih berada
Pena di tangan Camellia melingkari setiap daftar tempat yang sedang mencari karyawan. Sebagian dia coret dengan tambahan catatan kapan akan memasukkan lamaran di sana.Beberapa waktu lalu, dia bahkan melamar secara online ke beberapa perusahaan yang hanya membutuhkan ijazah SMA, tapi semuanya memberikan jawaban serupa.‘Maaf kan kami, Miss Duncan, tetapi anda tidak sesuai kualifikasi yang kami cari.’Anehnya, semua perusahaan itu menuliskan hal yang sama. Seolah-olah ada seseorang yang mendikte mereka. Dan satu-satunya pelaku yang dia curigai adalah Blake Hagen.“Dasar bajingan,” umpat Camellia seraya melempar pena ke dinding hingga tutupnya pecah.Dia melipat kaki di bawah tubuh dan memeluknya erat sembari membenamkan kepala.Sekuat tenaga gadis itu menahan isak tangis, hingga merasa sesak di dada.“Hhhh …,” desahnya, menarik napas keras dengan rasa putus asa. “Apa yang harus kulakukan
Langkah kaki Camellia saat melintasi trotoar tampak lesu. Gadis itu bahkan menggunakan tas selempang di atas kepala untuk menghalau terik matahari yang perlahan meninggi.Dan dengan menahan rasa lapar, Camellia pun mempercepat langkah.Beberapa kali kepalanya menoleh ke belakang, karena dia merasa seakan sedang diikuti, tapi tetap saja tidak ada siapa-siapa di sana.“Tenanglah, Camellia. Itu hanya imajinasimu saja,” bisiknya sembari terus berjalan.Saat mendekati sebuah restaurant kecil, langkah Camellia terhenti. Wajahnya sedikit berbinar begitu mendapati iklan lowongan pekerjaan yang ditaruh tepat di depan jendela kaca.Gadis itu melirik sebentar lowongan tersebut, sebelum akhirnya dia masuk ke dalam dan berpapasan dengan salah satu pelayan wanita yang memiliki usia tidak jauh dengannya.“Hay, bolehkah aku berbicara dengan manajermu?” tanya Camellia secara tiba-tiba yang menyebabkan wanita pelayan itu menatapnya dua
Tangan Hagen sedikit meregang begitu dia merasakan perlawanan Camellia melemah. Pria itu pun melepas lilitan lengan kekarnya dari tubuh gadis itu.Perlahan-lahan, dia pun mundur. Namun, tatapannya tidak sedikit pun lepas dari Camellia.“Kau benar-benar laki-laki yang tidak punya perasaan,” umpat gadis itu dengan tatapan berapi-api.Mata Hagen yang tadinya memandang biasa, berubah menjadi sedikit lebih tajam.“Ah, Princess, aku bahkan tidak mengatakan sesuatu yang dapat melukaimu,” ucapnya dengan senyuman miring.Ketika Camellia hendak mengatakan umpatan, tiba-tiba saja dia mendengar suara kriuk yang berasal dari perutnya sendiri. Hal itu membuat keduanya terdiam.
Tatapan Camellia terpaku pada pantry yang tidak berisi. Lagi-lagi dia dihadapkan pada ancaman kelaparan, dan hal ini membuatnya ingin menangis. Terutama ketika dia hanya menemukan setumpuk roti yang akan kadaluarsa beberapa hari lagi.Dengan tangan gemetar dan tubuh sedikit lemas, gadis itu menahan tangis yang hendak jatuh.Seharian mencari pekerjaan, tapi ternyata tidak semudah itu.“Aku harus bagaimana, Ayah,” bisiknya tercekat.Melihat hanya roti dan beberapa bungkus mie yang tersisa, Camellia tahu dia tidak punya pilihan saat ini.Tangan gadis itu baru saja hendak mengambil roti tersebut, ketika tiba-tiba terdengar suara bell rumahnya berbunyi.Dengan dahi berkerut dan hati bertanya, gadis itu pun mengurungkan niat untuk makan, lalu menutup pintu kulkas pelan.Dia bergegas menuju pintu, hanya untuk mendapati Frank berdiri di hadapan.Senyum yang tadinya hendak merekah, berubah menjadi raut masam penuh ketidaksuk
Aroma kopi dan wangi mentega membangunkan Camellia. Gadis itu mengerjabkan mata beberapa kali, dan kepalanya pun berputar menatap sekitar dengan tatapan kebingungan. Pandangan pertamanya adalah langit-langit kamar yang sangat familiar, membuat kening gadis itu semakin berkerut heran.Begitu aroma yang tadi menyapa penciuman, kembali perut gadis itu berbunyi dengan denyutan perih.“Ouch,” ringisnya.Dia membenamkan kepala pada bantal sembari sedikit berguling-guling di atas kasur. “Ou .. ou … ou.”Gadis itu merengek hendak menangis, saat tiba-tiba terdengar suara maskulin yang datang dari ambang pintu.“Aku sudah memperingatkanmu, tapi kau dan keras kepalamu itu hanya menyiksa diri.”Seketika kepala Camellia berputar dan menatap ke arah sumber suara. Untuk sesaat mata gadis itu membulat. Dengan napas tercekat, Camellia berusaha untuk bangkit, namun perutnya lagi-lagi menahan dia tetap berbaring di ra