Suara pintu yang dibanting keras menarik perhatian dari tujuh pasang mata yang ada dalam ruangan. Secara serentak, ketujuh pria-pria di sana menatap kea rah pintu yang dilewati oleh seorang pria dengan jas berwarna hitam.
Bukannya marah atau tersinggung, salah satu dari pria-pria itu mendengus ketika mengetahui siapa yang baru saja merusak engsel pintu depan bangunan Red Cage.
“Jangan membawa-bawa tantrummu ke sini, Hagen,” kata Rey yang berada di balik bar, tak lama setelahnya Danny Johanson juga mengatakan hal yang sama.
Dengan mulut setengah penuh akan kue mangkuk, pria yang biasanya tidak peduli pada sekitar itu pun berkata; “Jika kau mencari pertengkaran, lebih baik kau mendaftar ke arena saja.”
Tampak beberapa pria mengangguk setuju, apa lagi Blake Hagen dikenal ahli dalam bela diri. Sedikit pertunjukan tinju darinya akan menjadi kesenangan tersendiri bagi pria-pria di sana.
Mendengar gumaman serta persetujuan di sekit
Brandon yang tidak peduli akan kekacauan yang mungkin saja terjadi dengan kemunculan dirinya hanya bisa menatap Hagen nanar. Dia tidak mengira sahabatnya itu sudah mengetahui semua itu. Dan dengan kepala berisi pertanyaan-pertanyaan mengapa, Brandon pun kembali bersuara. “Bagaimana bisa kau mengetahui itu?” Hagen yang berdiri di seberang meja bar juga melemparkan tatapan yang menunjukkan kemarahannya masih belum reda. “Bukan urusanmu jika aku tahu atau tidak, tetapi urusanku saat kau melakukan sesuatu di belakang sepengetahuanku, Brown,” desis Hagen yang mendengus keras. “Kau bahkan tidak berpikir bagaimana nasib gadis itu jika saja aku tidak berbuat sesuatu.” Untuk sesaat suasana hening, namun melihat Brandon yang hanya mengedikan bahu, emosi Hagen pun terpancing kembali. Pria itu hendak melompati meja, namun Nicko menahannya dengan cepat. “Lihat lah, sedikit pun kau tidak peduli!” amuknya dengan tatapan berapi-api. Masih diku
Saat itu malam menunjukkan pukul sebelas, namun Camellia tidak sekalipun melihat kehadiran Hagen di Kastil Petunia sejak dia bangun pagi.Beberapa kali gadis itu memandangi jam di dinding dengan tatapan sedikit gelisah. Entah mengapa sosok pria itu selalu saja hadir di kepala sejak hari di mana Erlinda menunjukkan taman bunga Camellia.Karena mata yang tidak juga terpejam, Camellia pun bangkit dari ranjang dan berjalan menuju ke lantai bawah.Namun, langkahnya terhenti begitu dia melihat punggung Hagen yang sedikit tersembunyi di balik dinding pembatas tangga dengan ruang kerja pria itu.Awalnya Camellia hendak mendekat dan menyapa, tetapi suaranya tertahan, begitu pula dengan kaki yang tidak jadi menuruni tangga ketika dia melihat rambut keemasan dari seorang wanita menyembul d
Pagi itu, Camellia tampak menatap keluar jendela dengan wajah murung. Terpaan cahaya matahari yang hangat seolah tidak bisa memperbaiki suasana hatinya saat ini.Beberapa kali gadis ini menghela napas sembari menatap jauh ke hamparan bunga yang luas.“Tuan sudah menunggu anda sejak tadi, Miss.”Suara Erlinda yang masuk ke dalam kamar mengagetkan Camellia tiba-tiba. Gadis itu terperanjat sembari menoleh ke arah pelayan muda yang menunggunya dengan sabar di dekat pintu.“Katakan padanya, aku tidak ingin keluar dari kamar ini,” ucap Camellia yang membuat pelayan muda itu menahan napas.“Aku tidak bisa melakukan itu.” Dengan sedikit panik, Erlinda memasuki ruangan hingga mendekat ke arah Camellia
Setelah kepergian Hagen dari Kastil Petunia, Camellia mencoba untuk berjalan-jalan di dekat taman bunga. Gadis itu mengenakan dress putih selutut yang memberikan volume pada pinggul serta bokong dan dada. Ada begitu banyak detail pada dress itu yang memamerkan kulit Camellia. Bahkan, belahan dada pada dress itu begitu rendah hingga sedikit mengekspos gundukan di baliknya yang membuat beberapa penjaga harus menatap lurus ketika berhadapan dengan Camellia.Hal itu tentu saja membuat Erlinda sedikit gelisah.“Kenapa kau menatapku seperti itu?” tanya Camellia yang berjalan lebih dulu di depan.Gadis delapan belas tahun itu menoleh dan menatap pada pelayan muda yang mengobservasi penampilan Camellia penuh kritis.Sembari menghela napas, Erlinda pun mengutarakan isi pemiki
Beberapa kali Camellia menatap jam di dinding sembari mendengarkan langkah kaki yang mendekati pintu kamar. Dengan sedikit gelisah, dia pun berjalan mondar-mandir di dekat kaki ranjang.Tangannya saling memilih, sementara matanya melirik ke arah pintu yang tertutup.Dan ketika jam menunjukkan pukul sebelas malam itu, barulah Camellia mendengar suara tumit sepatu yang mendekat.Sembari menata hati dan pikiran, gadis itu pun bermaksud keluar dari ruangan.“Apa yang kau lakukan di depan pintu?” tanya Hagen yang berjalan menuju kamar tamu di ujung lorong.Pria itu berhenti begitu mendapati Camellia tengah berdiri dengan mata terfokus padanya. Dan dari cara gadis itu memandang, Hagen tahu bahwa Camellia menunggu kedatang
Pengakuan pria itu membuat mata Camellia membuka seketika. Dia pun memutar tubuhnya secara paksa hingga keduanya saling berhadapan dengan wajah berdekatan.Tampak mata gadis itu yang mendelik tajam dengan kemarahan tercetak jelas di sana.“CCTV?” tanya Camellia tajam. “Kau menaruh CCTV di kamarku?!”Satu tangan gadis itu memukul dada Hagen keras hingga membuat pria itu meringis. Jelas sekali Camellia hendak menjerit histeris, sehingga Hagen menahan lengan gadis itu yang terus memukul dadanya tanpa henti.“Mengapa kau begitu suka menginvasi privasiku?”Dengan membawa rasa marah, Camellia pun berusaha bangkit dari atas ranjang, namun Hagen menahan tubuh gadis itu untuk tetap berbaring di samping. Dia bahkan membingkai wajah gadis itu yang matanya terlihat sedikit basah.“Aku melakukannya karena kau bisa saja dalam bahaya,” ucap Hagen dengan nada sedikit datar, yang semakin membuat kemarahan gadis
Camellia menatap makanan di piringnya dengan pandangan kosong, sedangkan kepalanya dipenuhi oleh kejadi malam tadi, di mana Hagen tampak sangat berbeda dari biasanya. Pria itu bahkan memperlakukannya dengan begitu lembut dan perhatian.Karena begitu terhanyut dengan bayangan semalam, Camellia sampai tidak menyadari kehadiran pria itu yang baru saja memasuki ruang makan.Dia juga tidak mendengar deheman serta suara jari telunjuk pria itu yang menekan meja kaca, berusaha menarik perhatiannya dari lamunan.“Camellia!”Seketika saja gadis itu tersentak dan menoleh cepat ke arah Hagen yang telah memanggil namanya lebih dari empat kali.Dengan kening berkerut dan pipi sedikit merona, Camellia menatap pria itu bertanya-tan
“Kau membayar seluruh pengobatan ayah?” tanya Camellia ketika mereka keluar dari bangunan rumah sakit.Hagen yang saat itu berjalan bersisian dengan Camellia hanya mengangguk pelan. Dia tidak ingin mengatakan lebih.“Tapi … kenapa?”Langkah gadis itu terhenti, dan hal itu membuat Hagen juga mengikutinya. Kini, pria itu pun menoleh ke arah Camellia yang menatap dirinya dengan seksama, membuat Hagen menatap gadis itu balik.“Karena aku tidak ingin kau melakukan hal yang bodoh jika terjadi sesuatu pada ayahmu,” jawab pria itu sembari menggenggam lengan Camellia dan menuntunnya kembali menuju mobil yang terparkir tidak jauh dari tempat keduanya berdiri.Kembali mereka diselimuti keheningan, namun kali ini ada denyut ketenangan yang menjadikan keduanya berjalan lebih berdekatan.Dan tidak lama kemudian, Camellia yang hendak memasuki mobil pun berbisik pelan; “Terima kasih.”Yang Hagen