Silver memucat dan merasa perutnya diaduk serta diremas-remas, dia sontak memuntahkan seluruh isi perutnya di tempat. Sorot wajahnya penuh dengan teror begitu ingatannya akan hidangan mana saja yang dia makan, terganti oleh bagian tubuh mana saja yang sudah dia habiskan.
Dia menangis sambil terus muntah akibat emosi yang campur aduk dan mentalnya yang terguncang hebat, terus berusaha mengeluarkan isi perutnya sekalipun kini hanya asam lambung saja yang keluar. Rasa jijik, ngeri, teror, benci, amarah dan sedih terus muncul silih berganti. Membuat wajahnya terdistorsi sebelum akhirnya pingsan, entah akibat kurang cairan atau justru akibat ketakutan.Pendosa yang terpaku di sisinya juga turut mengeluarkan isi perutnya, walaupun kondisinya tidak separah Silver. Tapi membayangkan bahwa roti empuk yang kemarin dia makan, berubah menjadi ulat putih gemuk yang menari liar diatas piring saji, sudah lebih dari cukup untuk membuatnya muntah.Kaizen mengawasi dengan tKaizen tidak bisa menerima apa yang barusan didengarnya mentah-mentah.Terutama setelah yakin bahwa orang ini benar-benar sesosok pria, bukan sosok anak-anak yang seharusnya merupakan sosok asli dari Xaver Madison.Namun saat tiba saatnya untuk sebuah penyangkalan, Kaizen juga mengingat deskripsi dari sosok nyonya Madison yang muncul di hadapan Silver seperti seorang Slender man raksasa.Jika roh seseorang bisa tumbuh dalam ukuran massive seperti itu karena memakan energi amarah dan dendam, kenapa roh tidak bisa tumbuh normal seperti manusia pada umumnya untuk mengecoh sesama manusia?Pemikiran ini begitu masuk akal dan menenangkan Kaizen seketika, membuatnya mampu untuk menanyakan beberapa pertanyaan lain"Kenapa? Bukankah nona Madison merelakan dirinya demi dirimu?"Pria di belakangnya sekali lagi tertawa dan bermain-main dengan rambut Kaizen, memutar-mutarnya di sepanjang jari telunjuk yang dingin seperti sedang memainkan benang ja
Winter juga Pendosa sedang bahu membahu berusaha memotong tangan dan kaki Gadis merah, entah kenapa boneka ini tampak berjuang keras untuk masuk kedalam kamar Kaizen. Tangan dan kakinya yang penuh jahitan juga terus mengeluarkan bunyi tajam, dengan darah yang terciprat kesana-kemari setiap dia bergerak. Seisi ruangan memiliki bau busuk darah, berantakan dan juga mengerikan.Daging manusia yang ada diatas meja juga sudah menghilang beberapa waktu lalu, tapi Silver masih sesekali berusaha memuntahkan seluruh isi perutnya sekalipun hanya ada angin dan suara sendawa yang canggung. Dia masih shock dengan fakta bahwa dia sudah memakan tubuh manusia, bahkan kini dengan sangat putus asa berjuang seolah ingin memuntahkan organ dalamnya sendiri.Pikirannya semakin kacau akibat trauma.Pada awalnya dia masih bisa berpikir positif bahwa ini salahnya sendiri untuk tidak mendengarkan Kaizen, salahnya sendiri untuk memakan sesuatu di tempat terkutuk berisi iblis seperti
Beberapa detik yang lalu dia masih seorang manusia, rekan mereka yang mengalami trauma akibat 'makanan'. Tapi sekarang dia sudah menjadi daging cincang, dicabik-cabik oleh cakar lain milik seorang gadis kecil bergaun merah.Tubuh Silver berserakan, tapi gadis merah tidak mengambil satu bagian pun dan langsung melesat menuju kamar tempat Kaizen berada bersama adiknya, Xaver Madison.Pendosa merasa marah, marah karena mayat rekannya diperlakukan seperti benda tak bernyawa sekalipun memang dia sudah tidak lagi memiliki sukma. Dia melompat dan menerjang gadis merah dengan tongkat besi miliknya.Sama seperti yang dilakukan Kaizen, dia menghancurkan kepala gadis merah. Tidak lagi merasa iba pada gadis yang baik pada masa hidup maupun matinya sudah menjadi boneka.Namun anehnya gadis merah tidak mati ataupun tersungkur, seolah yang dihancurkan oleh tangan Pendosa bukanlah kepalanya, melainkan sebatas pernak-pernik di tubuhnya. Pendosa juga terk
Beberapa waktu sebelumnya."Cobalah berinisiatif untuk menyentuhku" bisik Xaver."Kau ... Ada kelainan ya?" Kaizen berusaha melepaskan diri dari pelukan yang sejak tadi menjeratnya, mencoba bertatap muka dengan Xaver Madison.Namun Xaver menutup kedua mata Kaizen menggunakan telapak tangannya yang dingin, tidak ingin dilihat"Jangan melihatku.""Kenapa?"Xaver terkekeh"Tidak seru kalau kau langsung tau alasan kakak membunuhku."Kaizen berhenti mencoba dan hanya menyandarkan punggungnya pada tubuh Xaver, menghembuskan nafas panjang"Soal itu aku sudah tau sejak kau bicara padaku, Xaver Madison.""Hm?"Gadis itu menyamankan posisi duduknya beralaskan karpet tebal, lalu menjawab dengan sebuah pernyataan bernada pertanyaan"Sindrom Stockholm 'kan?""......"Kaizen menjentikkan jari satu kali sambil menambahkan hipotesis"Kakakmu lambat laun mencintai ayah tiri kalian, setelah diperk*sa berkali-kali. Blanche Madison yang p
Kaizen juga memikirkan hal serupa sekaligus misi tersembunyi miliknya, mati-matian berusaha untuk tidak mengutuk. Gadis itu menatap rekan setimnya yang tampak membeku di tempat, lalu berkata"Aku membuat janji dengannya. Ayo kita panggil ayah tiri, si biang masalah dari semua ini.""Tunggu! Apakah ayah tiri ini adalah iblisnya?!" Pendosa bertanya dengan ngeri."Apa yang kau janjikan padanya?!" Ini adalah suara Winter.Kaizen memilih menjawab pertanyaan pertama karena lebih masuk akal"Sayangnya dia bukan iblisnya, tapi kurasa dia memiliki hubungan yang paling dekat dengan sang iblis."Xaver yang menyembunyikan wajahnya ke ceruk leher Kaizen terkekeh mendengar respon gadis yang dipeluknya, lalu mulai meraba-raba lengan Kaizen"Irish ... Sentuh aku."Winter melotot marah mendengar suara itu dan merangsek maju, demikian juga si Pendosa. Mereka tidak mau melihat Kaizen menyentuh mahluk itu sama sekali, keduanya sama-sama mengacungkan senjata dan
Kaizen melihat bahwa Nyonya Madison menatapnya dan tidak melakukan apa-apa, hanya meraung pada Serigala besar yang merupakan suaminya semasa hidup. Suaranya begitu nyaring dan melengking, seperti siren. Gadis itu mau tidak mau bertanya dalam benaknya.Jika Ayah tiri datang karena dia menyentuh Xaver ....Apakah itu artinya Nyonya Madison datang karena dia membebaskan roh Blanche dari sini?Winter jatuh tersungkur di perapian, membuat seluruh tubuhnya berwarna hitam akibat arang. Kaizen hanya menatapnya sesaat sebelum kembali menatap Nyonya Madison yang kini sedang bertarung dengan Serigala besar itu. Cakar besarnya yang pucat terus menerus menancap di lantai, menghancurkan apa saja.Namun karena perbedaan ukuran, serigala besar itu bisa menghindari serangan dengan mudah. Dia terus melompat dari tembok ke tembok, moncongnya menggeram penuh agresi. Lantas dia melompat sembari meraung, mengarahkan cakarnya pada Nyonya Madison dengan kecepat
Tak sampai satu detik setelah Winter pergi, Serigala besar meraung dan merobek lengan kiri Pendosa hingga putus. Darah mengucur deras ke segala arah seperti fountain, terdengar juga suara gemeretak dari tulang dan persendian milik Pendosa yang di pisahkan secara paksa.Sakit.Rasanya bukan hanya lengannya yang dirobek, tapi juga otaknya.Sangat sakit. Hingga informasi akan betapa sakitnya ini yang dikirim ke otaknya tidak pernah lengkap dan dia hanya bisa meraung kesakitan tanpa suara.Dia turut memuntahkan darah, lalu ambruk di lantai dengan gemetar penuh rasa sakit.Winter bukan manusia.Winter bukan manusia, lalu makhluk apa dia sebenarnya?Serigala besar kembali mendekatinya sambil mengayunkan cakar, kali ini mencabik kedua kaki Pendosa. Potongan celana, kulit serta jaringan otot beterbangan berkat cabikan itu. Membuatnya kembali berteriak tanpa suara, hanya bisa menerima siksaan ini tanpa bisa melawan sedikitpun kar
Telinga Kaizen bergerak begitu menangkap suara asing selain langkah kaki dan nafasnya sendiri, dia menoleh ke belokan ketiga yang dia lewati untuk mencapai ruangan ini. Batinnya berkecamuk, perutnya terasa diaduk entah kenapa, dan matanya menatap lekat belokan tersebut seolah sedang menunggu sesuatu.Matanya hanya menangkap sosok Winter.Kalau begitu ... Pendosa pasti sudah tiada.Dia sudah tau bahkan tanpa harus bertanya."Irish! Kau tidak apa-apa?" Winter bertanya dengan nafas tersengal, perutnya yang sedikit robek sudah tidak meneteskan darah seperti tadi, mungkin itu hanya luka dangkal."Tidak apa"Kaizen menjawab datar dan terus berjalan, maniknya bergerak sekilas mengamati coretan yang memenuhi dinding perapian.Mulutnya menimpali"Ruang rahasia yang cukup besar dibalik perapian."Winter menyusul dan berjalan di sebelahnya, salah satu tangannya masih memegangi luka robek tersebut"Ada yang agak berbeda dari atmosfernya.""Sunggu