Bayu merasa matanya mengantuk karena memang suah malam. Keluarga semua sudah pulang, tinggal dia yang menjaga. Padahal malam ini Irwan juga jaga malam. Kesepian di kamar itu membuatnya mengantuk. Baby twin juga sudah dialihkan ke inkubator. Tinggalah Bayu seorang menemani Eliana yang masih terpejam. Dia mamandang nyalan ke arah tangan Eliana. Satu tangan dialiri darah, yang satunya lagi infus. Bayu mengusap anakan rambut Eliana yang tidak teratur lagi.
Bayu menaikan temperatur ruangan itu agar istrinya tidak terlalu kedinginan. Dia menarik selimut sang istri agar sampai ked leher. Satu ciuaman mendarat di kening sang istri yang hari ini begitu heroik berjuang untuk kedua jagoannya yang sudah nyenyak dengan balutan kain bedong. Satu warna biru dan satu lagi warna merah dengan boneka dan juga buah-buahan seakan menempel menjadi lucu dan terlihat menyenangkan.
“Sayang, aku mengantuk,” ucap Bayu. Dia berkali-kali menguap. Ucapannya t
Hari ini Eliana dan bayinya boleh pulang. Sambutan yang meriah bagi mereka untuks ampai di rumah. Pesta penyambutan dengan tumpeng dan juga banyak makanan dengan menundang anak-anak yatim seperti keinginan Bayu sudah berjejer. Tentu dengan menerapkan protokol kesehatan yang sangat ketat. Suara salawat yanabi salam mengalun dari mulut mungil anak-anak kecil itu. Bayu menggendong kedua anaknya tangan kanan dan kiri. Nama akan diumumkan bebarengan dengan lepas pusar nanti. Sebenarnya Bayu sudah memiliki nama, tapi nanti saja ngumuminnnya. Dia sudah memiliki rencana untuk istrinya dan bayinya.Wajah-wajah ceria anak-anak itu tergambar jelas. Suara terbangan dari tangan-tangan mungil itu membuat Bayu menyunggingkan senyuman. Dia membawa kedua jagoannya melewati mereka. Kemudian berakhir di depan dan beebrapa adat Jawa dengan ditaburi beras yang dicampur kunyit. “Anak-anak, terima kasih.” Hanya itu yang diucapkan Bayu. Setelah ramah tamah, maka anak-anak i
Pagi hari baby twin sudah tertidur lelap. Eliana juga tertidur karena merasakan sangat lelah. tapi Bayu harus rapat pagi ini. dia mencium kening kedua bayinya kemudian istrinya secara bergiliran. Setelah itu, lelaki jangkung itu pergi dari kamarnya. Letih rasanya. Baru dua hari menjadi ayah sudah merasa sangat payah. Dia mulai sdar, bahwa memang seperti itu payahnya mengasuh anak.Di kantor, dia berusaha konsentrasi walau badannya sebenarnya sangat terasa remuk. Berkali-kali dia mengulat untuk membuat pinggangnya lebih baik. “Pak, apakah memerlukan sesuatu?” ucap Sasa.“Ah, tidak, Sa. Biar saya bikin sendiri kalau nanti merasa ingin meminum sesuatu.” Bayu lebih hati-hati sejak Miranda mengerjai dia dengan obat tidur. Dia tidak percaya dengan siapa pun. Dia memijit kepalanya yang berdenyut karena kurang tidur. Lelaki kuning langsat itu menutup pintu ruangannya dan menguncinya. Dia tidur untuk sementara. Demi apa pun sa
Bayu keluar dari kantornya. Dia memilih mengajak Pak Yono untuk menyetir. Tubuhnya sangat letih bahkan demam. Dua hari mengasuh baby twin membuatnya kurang tidur. Bayu memanfaatkan waktu sebaik mungkin untuk membuat tubuhnya tidak tepar. Tapi ternyata tepar juga. Lelaki tiga puluh lima tahun itu pulang dengan lemas. “He, ayah sudah pulang.” Eliana mencoba duduk walau masih sedikit nyeri.“Hai jagoan ayah,” sapa Bayu. Dia mencium kening kedua putranya kemudain bibir sang istri. Elaina mengerutkan keningnya. Pasalnya, saat Bayu menciumnya terasa panas.“Ayah sakit?” Eliana meraih ponselnya menelepon Nilam yang ada di kamarnya. Telepon tersambung, terdengar suara menyapa.“Ada pa, Kak.” Nilam baru saja mandi saat Eliana bicara.“Suamimu pulang jam berapa? Mas Bayu demam.” Bayu melepas jasnya dan meletakkan di keranjang pakaian kotor. Dia hanya
Eliana memaksakan diri untuk bangun ketika putranya menangis. Dia menggendong baby pertama keluar dari kamar agar suaminya bisa tidur. Mamanya Bayu tergopoh menghampiri. “Dia rewel? Kayaknya kerasa kalau ayahnya sakit. Sebaiknya boxnya bawa ke kamarnya saja. Ibu akan menemanimu biar suamimu tidur.” Eliana mengangguk.“Mbak Mia dan Mbak Dira, tolong bantu Nyonya mendorong box ke kamar bayi.” Mereka memang dipersiapkan Bayu untuk membantu Eliana walau sebenarnya juga malah keluarga yang banyak mengurus baby twin. Mereka mendorong box ke kamar sebelah. Sedangkan kembar ke dua digendong oleh Dira.“Terima kasih, Mbak.”“Sama-sama, Nyonya.” Wanita berpakaian putih-putih itu duduk di samping box bayi dan meletakkan baby ke dua ke dalam box.“Bu, biasanya berapa hari pusarnya lepas?” ucap Eliana sambil menggoyangkan tubuhnya.&
Stefan menajamkan matanya. Seorang sahabat yang masih setia sama dia datang menjenguknya. Stefan sejujurnya merasakan sangat malu dengan keadaannya. Tapi sudah tidak ada lagi waktu dan tempat untuk sebuah rasa malu. Nyatanya, dia tetap tidak bisa bersembunyi dari dunia. Bahwa tubuhnya selalu dalam kungkungan karena kejahatannya. Namun hal itu tidaklah membuat dirinya jera. Stefan justru semakin menjadi.Lewat tangan temannya itu, Stefan meminta tolong untuk mencelakai Bayu dan keluarganya. Selain dendam dengan Bayu, Stefan juga marah dengan Agung. Lelaki itu marah dengan mertuanya Bayu itu karena ingin naik pangkat menjadi CEO tapi gara-gara suara satu orang tersebut maka gagal.Padahal jika mau disimpulkan, Stefan salah sendiri. Dia tidak mumpuni. Bagaimana bisa dia naik menjadi CEO yang bertanggung jawab semua secara sinegi, jika meneger saja dia telah gagal. Stefan duduk di jabatan itu karena menggantika papanya. Sebenarnya, dia belum sia
Satpam rumah Bayu mengintip ketika ada orang yang mencet bel. Tidak ada siapa-siapa. Tapi dia melihat ada bungkusan kotak putih agak besar. Satpam itu mengerutkan keningnya kemudian mengangkat kotak itu. Dia membawa kotak itu masuk ke rumah.“Kotak apa itu, Marno?” tanya Bi Siti pembantu rumah.“Nggak tahu, Bi. Tadi ada yang ngebel tiba-tiba ada ini di depan pintu.” Bi Siti mengangguk.“Eh, jangan di sini bukanya. Siapa tahu bahaya. Di belakang sana.” Satpam itu mengangguk kemudian membawa kotak itu ke belakang. Alangkah kagetnya, ternyata memang barang yang berbahaya. Ada kertas di dalamnya.“LO HARUS MATI.”“Bi, Bi. Sepertinya ini gawat. Kita harus beri tahu tuan dan nyonya.” Pak Marno bilang tapi tidak menunjukkan kotak itu isinya apa.“Memangnya kenapa?” Pak Marno menunjukkan kertas i
Leo tidak lama datang untuk menghadiri panggilan dari Agung. Lelaki yang ebrusia tidak jauh beda dengan Eliana itu datang dengan baju lengkap berwarna coklat susu khas seragam kepolisian. “Sehat, Om.” Ya, dia adalah Leo yang tadi di panggil oleh Agung. Sedangkan Bayu masih berada di kantor untuk bekerja. Eliana ada di kamarnya. Dia belum boleh banyak bergerak.“Seperti yang kamu lihat. Kita langsung ke belekang sambil menunggu hidangan. Ma, kami ke gazebo belakang!” Agung berteriak memberi tahu kepada istrinya.“Iya,Pa.” Mereka langsung ke belakang untuk membicarakan apa yang terjadi. Agung mempersilakan Leo untuk duduk di gazebo tersebut. Dia mulai mengatakan tentang teror yang terjadi di rumahnya.“Teror? Seperti apa memang?” ucap Leo. Agung bangkit kemudian memabawa Leo menuju ke kotak yang tadi sudah disimpan oleh Marno sang supir. Leo melakukan identifikasi sedrhana ke
Bayu bangun tidur sudah agak siang. Dia merasakan kepalanya begitu sangat berat. Tapi sudah lumayan dari pada tadi siang. Dia juga bersin-bersin. Eliana terdiam saat mendengar Bayu bersin. “Sayang, jangan mendekat. Aku takut jika aku sakit begini menular sama kamu. Kamu masih rentan. Kasihan si kembar.” Eliana merasakan sesak di dadanya. Suaminya sakit tapi tidak boleh melakukan apa pun.“Tolong panggilkan Irwan saja, mungkin harus cek laboraturium lebih teliti. Aku takut terkena virus yang sedang marak itu.” Eliana menggelangkan kepala.“Tidak, Mas. Kamu jangan bilang begitu.” Eliana tidak kuasa untuk tidak menangis. Air matanya jatuh membasahi pipinya. Wanita yang kini rambutnya baru dipangkas karena rontok itu, berbalik dan mengapus air matanya agar tidak kelihatan sama penghuni rumah yang lain. Eliana mengetuk kamar Nilam dan Irwan. Mereka di dalam gelagapan. Nilam memakai handuk dan pura-pura baru sel