Hidup memang tidak selamanya akan berjalan mulus. Ada roda kehidupan yang akan terus berputar secara terus-menerus. Sudah menjadi tugas manusia untuk tetap fokus, agar jalan yang dipilih tetaplah lurus.
Agar tetap lurus...
Nindy memegang teguh kalimat itu. Sesulit apapun kehidupannya, ia tidak akan melakukan hal gila untuk bertahan hidup. Dia percaya akan hasil dari kerja keras. Nindy yakin, suatu saat nanti dia akan merasakan hasilnya.
"Makasih ya, Buk." Nindy menerima empat bungkus nasi padang yang ia beli dengan senang.
Empat bungkus nasi padang itu bukan hanya untuk dirinya sendiri. Mendapatkan sedikit rezeki tidak membuat Nindy lupa dengan teman-temannya. Dia masih ingat jika Ela, teman satu kuliah sekaligus satu kostnya mengalami kecelakaan tadi siang. Nindy belum mengetahui keadaan gadis itu hingga saat ini. Semoga baik-baik saja karena jika tidak, maka dompetnya juga tidak akan baik-baik saja.
Nindy membuka kunci pagar dengan susah payah, dia tampak kesulitan dengan makanan yang ia bawa. Saat masih berusaha, tiba-tiba pintu pagar terbuka dan muncul Arif, salah satu penghuni kost di lantai bawah.
"Baru pulang, Nind?" tanya pria itu membawa kantung sampah di tangannya.
"Iya, Mas." Nindy tidak langsung masuk melainkan menunggu Arif yang tengah membuang sampah.
"Apa? Kenapa masih di sini?" Arif mulai masuk diikuti Nindy di belakangnya.
"Mas?" panggil Nindy pelan.
Arif berhenti melangkah dan menarik napas dalam. Dia tahu apa yang akan Nindy tanyakan. Perlahan Arif berbalik dan menatap Nindy bosan, "Nggak ada, Nind. Nggak ada lowongan di tempat kerjaku."
Nindy berdecak, "Susah banget sih cari kerja!" ucapnya dengan bibir yang maju dan berlalu pergi.
Kamar Ela menjadi tujuannya. Nindy ingin melihat keadaan gadis itu.
"Ela?" panggil Nindy sambil mengetuk pintu, "Lo masih hidup kan?"
"Masuk!"
Nindy membuka pintu dan menatap Ela penuh prihatin, "Masih bisa jalan nggak? Gue bawa nasi padang. Makan di dapur yuk?" ajak Nindy sambil menunjukkan makanannya.
"Bisa kok."
"Oke, gue panggil Arinda sama Reina dulu."
"Reina kerja," ujar Ela cepat.
"Itu orang kerjaannya malem mulu. Gue laporin bapaknya baru tau rasa," gumam Nindy mengetuk pintu Arinda sebentar dan berjalan ke dapur. Dia akan menyiapkan makan malam mereka.
"Wah, kesurupan apa lo tiba-tiba bawa nasi padang?" Arinda menatap Nindy dengan wajah yang cerah.
Nindy tersenyum lebar, "Dapet rejeki dari kakek."
"Kakek?" tanya Ela bingung, "Gue tau lo nggak ada duit tapi ya jangan sama kakek-kakek juga dong, Ndis."
"Otak lo ya! Gue habis bantuin orang tadi makanya dikasih duit."
"Kirain udah putus asa, terus—"
"Terus apa?!" Nindy menatap Arinda tajam.
"Nggak jadi." Arinda tertawa dan menarik piringnya mendekat.
Mereka mulai makan dengan diiringi ocehan Arinda yang tiada henti. Gadis itu memang hobi berbicara, bahkan saat makan. Malam ini terasa kurang lengkap tanpa keberadaan Reina yang harus bekerja. Terpaksa Nindy memasukkan makakan milik Reina ke dalam lemari pendingin.
Beruntung Nindy tidak sendiri di kerasnya ibu kota. Dia memiliki teman yang membantunya untuk tetap siaga. Ada Arinda dan Yinela si gadis rantau, lalu Reina si gadis galau yang memilih kabur dari rumah karena cinta yang tak direstui. Mereka semua berjuang untuk bertahan hidup. Saling membantu agar semuanya terasa cukup.
***
Di dalam sebuah gedung yang berbentuk unik itu, terlihat seorang pria tampak fokus mendengarkan presentasi dari karyawannya. Jari tangan Raka bergerak untuk mengelus dagunya, menunjukkan jika ia tengah serius mendengarkan saat ini. Kepalanya berkali-kali menggeleng saat menemukan banyak kesalahan.
"Berhenti, ganti yang lain," ucap Raka yang membuat nyali karyawannya menciut.
Tak lama karyawan lainnya mulai berdiri dan bersiap untuk presentasi, "Baik, Pak. Berikut desain yang saya buat. Di sini say—"
"Berhenti," ucap Raka lagi sambil mengusap wajahnya pelan, "Kamu duduk."
"Ba—baik, Pak."
Raka berdiri dan menatap karyawannya satu-persatu, "Apa kalian lupa di mana kalian bekerja saat ini?"
Semua karyawan yang merupakan arsitek profesional itu tampak menunduk takut.
"Adhitama Design, perusahan arsitektur ternama di Indonesia. Sangat sulit untuk masuk dan bergabung menjadi bagian dari perusahaan ini. Saya yakin kalian tidak lupa dengan usaha kalian dulu." Raka memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, "Kalian adalah orang-orang yang terpilih. Saya menerima kalian karena saya percaya dengan kemampuan kalian, tapi sekarang apa? Ke mana perginya ide kreatif kalian?"
"Maaf, Pak. Setelah ini kami akan memperbaikinya lagi. Ka—"
Suara ponsel yang berbunyi membuat Raka mengangkat tangannya, meminta Dodit untuk berhenti berbicara. Dahinya berkerut melihat ada nama kakeknya di sana. Seketika perasaan Raka berubah gelisah.
"Ya, Kek?" sapa Raka.
"Nenek kamu ilang lagi!"
Raka memejamkan matanya erat, "Di mana?"
"Tadi sama Tuti ke Mall tapi tiba-tiba ilang."
"Pecat Tuti, dia nggak becus jaga Nenek. Aku ke mall sekarang."
Setelah itu Raka mematikan teleponnya cepat. Dia kembali menatap karyawannya satu-persatu.
"Saya yakin kalian bisa membuat desain yang lebih baik dari ini. Perbaiki dan kita ulangi rapat tiga hari lagi. Kalian boleh kembali." Raka mengakhiri rapat dan bergegas keluar. Dia harus segera pergi mencari neneknya.
Neneknya memang mengalami Demensia Alzheimer yang membuatnya cepat lupa akan sesuatu. Hilangnya nenek bukan kali pertama terjadi, bahkan sudah sering tapi Raka masih tetap merasa gelisah. Dia tidak memiliki siapapun lagi selain kakek, nenek, dan adiknya. Raka akan melakukan apapun untuk membahagiakan dan melindungi mereka.
***
Di depan Mall, terdapat kawasan pejalan kaki yang tampak ramai. Nindy berdiri di sana sambil membagikan brosur yang sama seperti hari kemarin. Kali ini lebih banyak, bahkan dia harus berpindah-pindah tempat dari pagi hingga siang seperti ini.
Teriknya matahari membuat Nindy mengusap dahinya pelan. Dia menelan ludahnya saat melihat pedagang yang menjual minuman dingin. Kepalanya menggeleng cepat. Tidak, dia tidak akan membelinya sekarang. Hal itu akan membuatnya semakin terpacu untuk segera menyelesaikan pekerjaannya.
"Brosurnya, Kak."
Nindy selalu menggunakan senyum manisnya untuk menarik perhatian. Dia jarang mendapat penolakan karena itu. Sedikit membuatnya terbantu.
Sudah 20 menit berlalu dan Nindy memilih untuk menyerah. Pedagang es benar-benar menggodanya. Dia berjalan mendekat dan membeli minuman yang menarik perhatiannya sejak tadi.
"Bang, es cendol satu ya."
"Siap, Neng."
Nindy meletakkan brosurnya di atas kursi dan mulai meminum minumannya dengan perlahan, mencoba menikmati es yang sangat menyegarkan. Angin yang berhembus seolah melengkapi waktu istirahat Nindy saat ini.
Tunggu.. angin?
Mata Nindy membulat saat melihat semua brosurnya beterbangan di jalan. Dia panik dan bergegas mengambil semua brosurnya. Kali ini Nindy harus berhati-hati. Berkali-kali dia bergumam maaf pada pengendara motor yang terganggu dengan keberadaannya.
"Maaf, Mas. Permisi."
"Jangan diinjek!" teriak Nindy panik.
"Permisi, Buk."
Nindy masih berusaha mengambil brosur yang bisa ia selamatkan. Dia tampak fokus sampai tak melihat jika ada mobil yang melaju cepat ke arahnya. Suara klakson yang panjang membuat Nindy terkejut. Dia berdiri dengan kaku sambil menyentuh dadanya. Hampir saja nyawanya melayang.
"Kamu mau mati?" Raka, pemilik mobil itu keluar dan menatap Nindy tajam.
Nindy mengangkat wajahnya dan menatap pria itu terkejut. Ternyata pria itu adalah pria yang sama saat di taman kemarin. Tidak berubah dan masih saja menyebalkan.
"Kamu lagi!" Raka menatap Nindy kesal.
"Lo lagi!" Kali ini Nindy ikut merasa geram.
"Kalau mau mati jangan pakai mobil saya." Raka masih menatap Nindy tajam. Kesan pertama mereka sudah tidak bagus, ditambah lagi dengan kejadian hari ini. Raka yakin jika gadis itu jauh dari kata sopan.
"Lo hampir tabrak gue! Lo yang salah, lo yang—"
Benar bukan? Tidak sopan.
"Sekarang kamu minggir, saya buru-buru." Raka dengan cepat masuk ke dalam mobil dan meninggalkan Nindy yang masih saja menggerutu.
Mobil itu memasuki area mall dan berhenti di tempat parkir terbuka. Nindy bisa melihat jika pria itu keluar dan berlari masuk ke dalam mall.
"Dasar nyebelin!" Nindy menghentakkan kakinya kesal sambil melihat brosur di tangannya yang tinggal sedikit. Sisanya sudah beterbangan entah ke mana. Jika bukan karena pria itu, mungkin Nindy sudah mendapatkan brosurnya kembali.
Nindy kembali duduk dan menatap es cendolnya kesal, "Ini juga gara-gara lo!"
Saat akan meminumnya, tiba-tiba otak Nindy kembali bekerja. Dia menatap es cendolnya dan mobil pria galak itu bergantian. Perlahan senyum licik menghiasi wajahnya.
Dengan bersenandung, Nindy mulai memasuki area mall dan berjalan santai ke tempat parkir. Dia menatap sekitar untuk memastikan keadaan. Setelah keadaan terpantau sepi, Nindy menyiram mobil pria itu dengan es cendol di tangannya. Setelah itu dia juga menempelkan semua brosurnya di mobil pria itu.
"Nih, gue kasih brosur. Siapa tau lo butuh obat impoten. Urat lo juga kaku, marah-marah mulu." Nindy menggeram sambil menuangkan sisa cendol miliknya di kaca mobil.
Saat ini mobil hitam Raka tampak mengenaskan dengan cairan lengket dari es cendol dan puluhan brosur yang tertempel.
"Rasain! Salah sendiri ngajak ribut mulu." Nindy tersenyum puas. Tak ingin berlama-lama, dia mulai berlari menjauh.
Hari yang cukup melelahkan. Meskipun ada masalah dengan pekerjaannya tapi Nindy tidak ingin ambil pusing. Setidaknya dia bisa pulang cepat dan beristirahat. Punggungnya benar-benar membutuhkan kasur.
***
TBC
Perjalanan dari kost membutuhkan waktu sekitar 10 menit dengan mengendarai motor. Namun sebelum kembali, Nindy memutuskan untuk ke pasar tradisional terlebih dahulu guna membeli beberapa kebutuhan dapur. Dia tahu jika tidak selamanya ia akan bergantung dengan masakan Arinda. Gadis itu juga memiliki nasib yang sama, yaitu berusaha untuk bertahan hidup dengan gaya seminimalis mungkin. "Bang, cabe campur lima ribu ya." "Cabe lagi mahal, Neng." "Ayo lah, Bang." Nindy mendekat dan berbisik, "Khusus buat saya." "Khusus buat Neng Gendis yang manis ini saya kasih, tapi jangan bilang ibu-ibu yang lain. Bisa rugi saya," balas penjual yang juga ikut berbisik. Nindy terkekeh, "Aman, Bang. Tapi kasih saya bonus." Penjual yang merupakan langganan Nindy dan Arinda itu mulai menatapnya pias. Ada saja tingkah anak kost yang membuatnya mengelus dada.
Cahaya matahari belum sepenuhnya muncul tapi Nindy sudah bersiap untuk memulai harinya. Sedari tadi dia tidak berhenti untuk tersenyum. Hatinya terasa campur aduk sekarang, antara senang dan takut. Senang karena akhirnya mendapat pekerjaan dan takut karena ini adalah hari pertamanya. Nindy memang belum tahu pekerjaan apa yang kakek berikan tapi dia yakin apapun itu pasti tidak akan mengecewakannya. Nindy mengusap rambut basahnya dengan handuk sambil menatap pantulan dirinya di cermin. Dia melirik ponselnya yang bergetar. Seperti biasa, ada ayahnya yang mengirimkan pesan setiap pagi. Kali ini Nindy tidak lagi bersedih. Dengan semangat dia langsung membalas pesan ayahnya. "Iya, Pak. Ini udah bangun, lagi siap-siap." Lega. Perasaan Nindy sedikit tenang karena tidak lagi berbohong kali ini. Nindy mendekat ke arah meja rias dan melihat kalender kecil di sana. Ada tanggal yang sudah ia lingkari den
Belum ada sehari tapi Nindy sudah ingin lari. Dia tidak tahu harus melakukan apa saat Raka meninggalkannya sendiri di dalam ruangan. Tidak ada peraturan atau masukan khusus untuknya agar bisa menjadi asisten yang baik. Nindy bingung, dari mana dia harus memulai semuanya? Tidak ingin membuat Raka kembali marah, akhirnya Nindy memilih untuk menemui Tomi. Sebagai mantan asisten Raka, pria itu pasti bisa membantunya. Bersyukur Nindy langsung melihat Tomi di depan ruangan. Dia berjalan mendekat dengan sesekali tersenyum pada karyawan yang menatapnya bingung. Mungkin mereka belummengenalnya. Ingin sekali Nindy mengakrabkan diri tapi keadaannya sangat terdesak saat ini. Dia harus segera menjalankan perintah Raka untuk membeli sarapan. Apa memang seperti ini tugas dari seorang asisten? "Mas Tomi?" panggil Nindy pelan. "Ya, Nind?" "Liat Pak Raka nggak?" Alis Tomi terangkat
Alarm yang terus berbunyi berusaha keras membangunkan Nindy yang masih terlelap. Mata gadis itu terlihat memerah dan meminta untuk kembali dipejamkan. Namun Nindy tidak bisa melakukannya, dia harus bersiap untuk bekerja sekarang. Pagi ini tidak sama seperti pagi sebelumnya. Jika kemarin Nindy sangat bersemangat tapi tidak untuk sekarang. Dia masih sangat berharap jika bosnya bukanlah Raka. Namun harapannya tentu akan sia-sia. Nindy mematikan alarm-nya dan melihat jam yang masih menunjukkan pukul empat pagi. Ya benar, Nindy bangun sepagi ini untuk berangkat bekerja. Jika tidak ingat pesan Raka semalam tentu dia tidak akan mengatur alarm sepagi ini. "Besok pagi jam setengah 6 kamu sudah harus ada di rumah saya. Alamatnya Perumahan Adhiwangsa no 01." Nindy menggosok giginya sambil mengingat kembali pesan Raka. Sesekali matanya terpejam karena tidak bisa menahan kantuk. Entah kenapa hari pertama
Hari ketiga sudah tiba. Seperti hari sebelumnya, Nindy berangkat dengan Raka lagi hari ini. Ini semua terjadi karena dengan liciknya pria itu membuatnya menjadi asisten di kantor sekaligus pribadi. Mau tidak mau, Nindy harus berada di rumah Raka di pagi buta dan pulang hingga larut malam. Nindy menghempaskan tubuhnya di kursi kerjanya. Setelah seharian bekerja di ruangan Raka kemarin, akhirnya dia memiliki mejanya sendiri. Tepat di sebelah Tomi dan berbaur dengan karyawan lainnya. "Masih pagi udah kusut wajahnya, Nind?" Tomi yang baru saja datang mulai duduk di kursinya. Nindy meletakkan kepalanya di atas dan bergumam, "Ngantuk, Mas." Tomi terkekeh, "Semalem pulang jam berapa?" "Jam delapan." Nindy mulai memejamkan matanya. "Nanti jangan lupa minta bonus sama Pak Bos." Nindy membuka matanya dan duduk dengan tegap, "Ya pasti
Di dalam ruangan Raka, Nindy menatap maket di depannya dengan kagum. Maket itu baru saja datang dan dia yang menerimanya karena Raka tidak berada di kantor saat ini. Dia sedang pergi bersama Ilham ke lokasi proyek pembangunan. Tangan Nindy terulur untuk menyentuh kaca yang melindungi maket tersebut. Dia kembali terperangah dan menggeleng tidak percaya. Saat maket yang berukuran cukup besar itu datang, Nindy tidak bisa berhenti untuk terpesona. Maket concert hall itu dirancang dengan desain yang rumit dan unik, khas dari Adhitama Design. Apakah ini proyek Raka? Jika iya, maka Nindy tidak bisa mengelak jika pria itu memang memiliki otak yang jenius. Raka melakukan hal yang tidak pernah Nindy pikirkan sebelumnya dengan detail. "Jenius sih, tapi sayang nyebelin. Jadi banyak minus-nya." Nindy mendengkus. Dia berjalan berputar sambil melihat maket itu dengan teliti. Meskipun hanya asisten, tapi Nin
Menu kedua sudah datang. Setelah menghabiskan ketoprak, Nindy kembali memesan makanan. Kali ini dia memesan bubur ayam. Nindy memang lapar mengingat jika ia hanya makan mie instan semalam. Nindy mengangkat wajahnya saat melihat Raka yang berlari kecil melewatinya. Pria itu tidak menatapnya sama sekali dan terus berlari. Nindy mencibir saat melihat para wanita yang sengaja berlari pelan di belakangnya. "Dih, sok ganteng banget. Pasti dalem hati girang tuh," gumamnya. Raka sudah mengelilingi lapangan sebanyak lima kali dan sepertinya masih belum ingin berhenti. Dasar kaki besi. "Minumnya, Nek." Nindy memberikan botol air mineral pada nenek. Wanita itu sudah menghabiskan bubur aya
Perasaan Nindy terasa campur aduk sekarang, antara senang dan gelisah. Senang karena akhirnya bisa kembali bertemu dengan orang tuanya dan gelisah karena takut jika rahasianya akan terbongkar. Meskipun sudah meminta Raka untuk menutup mulut, tapi kegelisahan itu masih ada. Bukan satu-dua orang yang tahu jika Nindy baru bekerja sekarang. Dia belum mempersiapkan semuanya karena kedatangan orang tuanya yang mendadak. "Pak Raka pulang aja deh." Nindy berbalik dan menatap Raka yang bersandar pada mobilnya. "Kamu ngusir saya?" Nindy mengerucutkan bibirnya kesal, "Nggak gitu." Dia tampak bingung menjelaskan. "Terus?" Nindy berdecak, "Iya, saya ngusir Bapak!" Raka tersenyum miring dan berjalan mendekat, "Nggak