Saat jam pulang telah tiba, Stevany buru-buru membereskan mejanya dan bersiap untuk pergi. Pauline yang sedari tadi menyadari kegelisahan Stevany seharian ini mulai dibuat penasaran. Tumbenan manajernya ini pulang di jam normal. Selama yang ia tahu, Stevany selalu pulang di jam malam, tak pernah sekalipun pulang di jam normal."Sudah mau pulang, Stev?" Stevany tersentak dan menoleh cepat ke arah pintu. Pauline, asistennya, sudah berdiri di sana dengan tatapan menyelidik. Stevany mengangguk dengan kikuk. "Iya, Paw. Hari ini aku ada janji dengan seseorang!" Pauline yang lebih tua sepuluh tahun di atas Stevany perlahan masuk ke dalam ruangan manajernya itu. "Tumben?" ucapnya kemudian.Stevany membuang muka, ia berusaha menyembunyikan wajahnya yang pasti memerah bila sedang gugup. "Apa kamu sedang janjian untuk berkencan?""Tidak!" tukas Stev cepat.Pauline tersenyum lirih, ia mengintip wajah Stevany yang ia sembunyikan di balik rambut blondenya yang tergerai ikal. "Stev, tidak apa-
Lama tangan Jared terulur berharap Stevany akan menyambutnya. Tanpa bersuara, Aji mengawasi tangan itu dengan nanar, sesekali ia melirik Stev yang nampak gugup dan kebingungan harus merespon bagaimana. "Stev?" panggil Jared seraya menyentakkan tangannya sekali lagi di depan gadis itu. "Maaf, Jared. Duluan saja! Aku baru ingat ada barangku yang tertinggal di kantor!" Stevany bersiap untuk berbalik namun dengan gesit Aji menahan lengannya. Dalam hening, Stevany bisa melihat sorot mata Aji yang seolah menggambarkan perasaannya yang sedang terluka. "Jared, maaf bila pernyataanku ini akan membuatmu kecewa. Stevany adalah calon istriku. Aku minta tolong setelah ini berhentilah mengganggunya," ucap Aji seraya tetap mencekal lengan Stevany dengan erat. Terdengar suara tawa Jared, Stev tak bisa melihat ekspresi mereka karena ia tengah memunggunginya. Namun dalam hati ia mulai komat-kamit membaca doa agar tak terjadi sesuatu yang membahayakan keduanya. Tidak, jangan sampai terjadi! "Are y
"Jelaskan padaku siapa itu Jared, Daren dan bahkan mungkin masih banyak lelaki lain yang aku belum tahu!" keluh Aji serius.Stevany terpana mendengar pertanyaan Aji. Ia tak menyangka bila Aji sekepo itu padanya. Meskipun tadi sore Stevany sempat marah karena Aji asal bicara pada Jared. "Stev, kenapa diam?" ulang Aji tak sabar. Ia sudah menunggu momentum ini sejak tadi sore."Tunggu, sebelum aku menjelaskan, bisakah Pak Aji perjelas lebih dulu status kita?" Stevany menatap tajam pada manik mata Aji. Dan kini giliran Aji yang membisu, dia terhenyak untuk sesaat. Benar, apa statusnya dan Stevany? "Pak Aji mengaku-aku sebagai calon suamiku dan memaksa pria lain untuk menjauh, maksudnya apa?" cecar Stevany penasaran. "Bila tak ada yang spesial di antara kita, Pak Aji tidak berhak melarang siapapun untuk dekat denganku!""Aku berhak, Stev! Sejak kejadian itu kamu hanya milikku!" sela Aji cepat."Kejadian? Kejadian yang mana yang Pak Aji maksud?" Stevany masih menatap tajam pada mantan bo
"Selamat pagi, Stev!" Stevany tersentak, ia mendongah dan mendapati seorang lelaki yang sudah sangat ia kenal baik berdiri di depan pintu ruangannya."Jared?! Kamu serius?" tanya Stevany tak percaya, ia bangkit dari kursinya dan menghampiri Jared yang masih berdiri mematung di pintunya."Sure! Aku tidak pernah main-main dengan perkataanku, Stev!" Stevany tertawa, ia menawarkan Jared untuk masuk ke dalam. "Jadi kamu mulai bekerja hari ini?" Jared mengangguk cepat, ia duduk di kursi di seberang meja kerja Stevany. "Iya, tadi pagi aku tak melihatmu saat meeting. Padahal semua orang berkenalan denganku!" Stev mencibir. "Aku tadi masih sibuk menelefon warehouse di kantor cabang. Beberapa stok ikan kita hampir habis, jadi aku meminta mereka segera mengirimkan stok di sana." "Oh, kamu mengurusi bagian warehouse ya?" Stev mengangguk cepat. "Kamu sendiri di bagian apa?""Aku di bagian produksi. Sepertinya kita akan sering berinteraksi nantinya!" "Tentu. Kamu bisa berkoordinasi denganku
Aji tak pernah menyangka bila masakan buatan Stevany ternyata sangat enak dan nikmat. Ia akhirnya bisa sarapan nasi setelah beberapa hari susah sekali mendapatkannya. Keluarga Stevany yang bule asli memang jarang sekali menyantap nasi. Berbeda dengan Aji yang sudah teracuni oleh kebiasaan di keluarganya yang selalu menyantap nasi. Usai mencuci piring kotornya, Aji kembali ke kamar. Ia memperhatikan paperbag berisi hadiah untuk Stevany yang kemarin ia beli. Isinya adalah sebuah kalung berliontin huruf S. Saat melihat kalung itu, ingatan Aji langsung tertuju pada Stevany. Dia pasti akan terlihat sangat cantik mengenakan kalung ini di lehernya yang jenjang. Liontin dengan satu permata di ujung atas hurufnya. Sebenarnya ada juga huruf A, namun Aji lebih memilih huruf 'S' karena ia khawatir Stevany tak mau mengenakannya. Aji meraih paperbag itu dan memutuskan naik ke kamar Stevany. Selama berada di rumah ini, ia tak sekalipun menengok kamar gadis itu. Aji penasaran seperti apa kamarnya
Suasana hati Stevany yang tadinya riang usai menghabiskan makan siang kiriman Jared, kini mendadak suram setelah membaca pesan dari Aji. Seketika itu dadanya terasa sakit, jadi Aji akan benar-benar pergi setelah semalam ia mengusirnya? Ada sedikit rasa sesal di hati Stevany, sejujurnya ia masih ingin menikmati waktu lebih lama bersama Aji. Bukankah sekarang mantan bosnya itu sudah sendiri? Ia bukan lagi pria beristri, kan? Jadi mengapa begitu terburu-buru dan malah menuruti perkataannya yang sedang dirundung emosi! Stevany memencet icon telefon pada sudut atas pesan chat itu. Tersambung, namun tak diangkat. Tiga kali Stevany mencoba, namun tetap tak diangkat oleh Aji. "Hiiih!" Stevany menggeram. Ia mengawasi layar ponselnya yang masih menyambungkan panggilan ke nomor Aji. Stevany bangkit dari kursi dan berjalan mondar-mandir sembari memijat keningnya yang kini berdenyut pusing. Debaran di dadanya masih terasa hingga kini, perutnya pun seketika jadi mulas. "Angkat, dong! Ck," deca
Sudah hari keenam sejak Aji pergi dan Stevany kehilangan jejak. Ponselnya masih tak aktif dan tidak ada yang tahu ke mana Aji pergi. Bahkan Oma Donita dan Tante Wilma sekalipun. Aji seperti lenyap ditelan bumi. Hari ini Nenek Chloe pulang, Stevany menjemputnya ke bandara. Selama di Melbourne, ia jarang sekali mengendarai mobil sedan klasik milik Papanya semasa muda. Hanya untuk keperluan mendesak saja Stevany membawanya, selebihnya ia kerapkali menaiki angkutan umum ke manapun pergi. "Apa kamu sudah bertemu dengan Aji?" tanya Nenek Chloe. Mereka berdua sedang dalam perjalanan pulang dari bandara. "Belum, Nek. Sepertinya dia memang sengaja pergi dan tak ingin melihatku lagi.""Kenapa begitu? Bukannya kalian dulu pernah bekerja di tempat yang sama?""Dia mantan Bosku, Nek. Aku yang bekerja padanya." Stevany menyela dan menoleh pada Nenek Chloe sekilas.Nenek Chloe manggut-manggut seraya berpikir sejenak. "Apa dulu kalian juga sempat berpacaran? Tatapannya terlihat berbeda padamu, Ste
Bandar Udara Internasional Soekarno–Hatta. Stevany tiba di Indonesia tepat jam 1 siang. Ia lekas menarik kopernya dan mencegat taksi di luar. Dua hari yang lalu, Stevany berusaha mencari keberadaan dan kontak Brisya. Ia mencari di medsos manapun, dan beruntung bisa menemukan akun Instagramnya. Brisya masih mengingat Stevany, sempat mengobrol berbasa-basi di DM hingga akhirnya hari ini sudah membuat janji untuk bertemu. Stevany melarang Nenek Chloe memberi tahu Papanya bila ia berkunjung ke Indonesia, ia berencana akan memberi suprise pada mereka besok. Hari ini Stev sudah memiliki jadwal untuk menyelesaikan urusannya dengan Brisya. Namun lebih dulu, Stevany cek in di hotel yang sudah ia booking sejak kemarin.Usai beristirahat sebentar di hotel, Stevany bersiap-siap untuk pergi menemui Brisya di jam 4 sore. Mereka berdua sudah setuju untuk bertemu di Cafe yang berada tak jauh dari rumah Brisya. Cafe Lovable. Stevany tiba lebih dulu, suasana Cafe yang syahdu dengan musik mengalun