Usai menulis surat untuk Stevany, Aji bergegas turun dan bersiap untuk pergi. Tak lupa ia mengirimkan pesan pada gadis itu untuk berpamitan dan langsung memblokir nomornya dari daftar kontak. Setidaknya hanya hal ini yang nantinya akan menjadi kenangan terakhir untuk Stevany, gadis itu harus melupakannya agar bisa kembali bangkit. Harus. Dengan hati hancur, Aji menarik kopernya keluar dari rumah Nenek Chloe. Ia tak memiliki tujuan, kembali ke Sydney mungkin adalah satu-satunya pilihan. Saat sedang berjalan sambil merenung, ponsel di saku celananya bergetar. Dengan lemas, Aji merogohnya dan membaca nama yang tertera di layar. Freya is calling ..."Halo," sapa Aji suntuk."Aji, aku sedang dalam perjalanan menuju bandara. Aku akan pulang duluan ke Sydney, apa kamu masih lama berada di Melbourne?" cerocos Freya tanpa jeda.Aji tersenyum lega. "Aku juga sedang perjalanan menuju bandara, Frey. Baiklah, sampai jumpa di rumah Nenek!" janjinya."Oke, baiklah. Sampai jumpa!"Tit. Aji memasuk
Aji mendapatkan penerbangan pagi di keesokan harinya. Ia benar-benar lupa bila hari ini adalah hari besar Zunita. Beruntung Mamanya menelefon semalam, bila tidak, mungkin Aji akan kembali sibuk membantu Freya di kantor Ekspedisi. Jam 4 sore, pesawat yang ditumpangi Aji baru saja landing. Ia lebih dulu pulang ke apartemen untuk mandi dan berganti pakaian. Saat akan berangkat, ia lupa bila mobilnya ada di rumah papa dan mamanya. Alhasil, Aji datang ke acara Zunita dengan mengendarai taksi. Sepanjang perjalanan, suasana hatinya yang sempat memburuk selama di Sydney jadi semakin kacau balau. Ia pasti akan bertemu Brisya dan Haris di acara resepsi itu. Sudah lama sekali sejak ia bertemu mereka terakhir kali, entahlah apakah Aji akan sanggup melihat wanita yang pernah sangat ia cintai itu lagi. "Stop, Pak. Terima kasih!" Aji menyodorkan selembar uang seratus ribuan pada supir taksi dan bergegas membuka pintu. Ia keluar dan merapikan jasnya tanpa memperhatikan sosok yang berdiri mematung
"Kamu mencintaiku?" tanya Aji lirih di telinga Stevany yang sedang terpejam di ranjangnya. Semalam, mereka berdua melampiaskan kerinduan yang selama ini tertahan. Aji tak membiarkan Stevany beristirahat barang sedetikpun, seolah tubuhnya yang tak sempat beristirahat seharian kemarin tak pernah lelah menjelajahi tiap jengkal tubuh gadisnya. Aji seperti kesetanan, memiliki Stevany yang merupakan perempuan pertama yang ia tiduri dalam keadaan perawan seolah anugerah yang tak akan pernah ia sia-siakan lagi. Stevany menggeliat di balik selimut tebal yang menutupi tubuh mereka berdua. Tanpa sadar sesuatu yang sedang tegang di bawah sana tersenggol hingga membuat Stevany terbelalak. Ia menoleh cepat pada Aji yang sedang tersenyum nakal menatapnya. "Aku menginginkannya lagi, Stev. Tolong aku," rengek Aji seraya merapatkan tubuhnya pada Stevany hingga junior yang mulai aktif itu menggesek di antara pahanya.Stevany memejamkan matanya gugup. Padahal semalam ia sudah seperti wanita binal, tap
Sejak satu jam yang lalu, Aji berdiri dengan gelisah di pintu menuju altar yang akan menjadi tempatnya mengucapkan sumpah pada Tuhan. Pernikahan yang tak terencana dan dipersiapkan dalam tempo waktu singkat membuat acara itu tak semewah seharusnya. Tak apa, Aji tak lagi menginginkan pernikahan mewah namun berakhir di tengah jalan seperti pernikahannya yang terdahulu. Stevany pun demikian, ia bukan tipe wanita ribet yang terlalu mementingkan detail. Baginya, inti dari pernikahan adalah janji yang diucapkan pada Tuhan, bukan gaun, dekorasi, catering dan lain-lain. Ia hanya membeli gaun seadanya di desainer langganan Mama Aji, bukan gaun custom seperti milik Brisya dulu. Semua keluarga di Sydney dan Melbourne datang untuk menyaksikan pernikahan sederhana itu. Pun Bu Shila dan orang tua Brisya tak luput dari undangan Aji. Ia ingin momen indahnya kali ini disaksikan oleh semua orang yang berharga dihidupnya. Lantunan musik terdengar saat Stevany datang digandeng oleh Thomas. Aji yang men
2 Januari 2008Langit masih saja menumpahkan seluruh isinya. Hujan, angin dan petir yang tak berhenti sejak sore. Jalanan sepi, basah oleh air hujan yang menggenang di beberapa bagian jalan yang berlubang.Sebuah mobil berhenti tepat di sebuah bangunan bertingkat. Seseorang membuka pintu mobil di kursi penumpang, melebarkan payungnya dan turun. Usai memastikan di sekelilingnya sepi, ia mengulurkan tangan pada seseorang di dalam mobil. Lama tangannya terulur sebelum kemudian sebuah tangan kecil meraihnya, mendekat dan turun juga dari mobil hitam itu."Tunggu di sini, ya, Mami akan segera kembali," ucap wanita itu sambil tetap memayungi gadis kecil tadi.Gadis kecil itu mengangguk, wanita paruh baya tadi melepas genggamannya dan memberikan payungnya pada gadis itu.Buru-buru ia masuk kembali ke dalam mobil. Meninggalkan gadis mungil berjaket biru itu sendiri di tengah hujan yang masih turun dengan deras. Gadis itu tak paham mengapa ditinggalkan di tempat ini, yang ia tahu sekarang ia m
Dwiharis Bibrata, 14 tahun. Hidup berdua dengan ayahnya di sebuah ruko berlantai dua. Orang tuanya bercerai sejak Haris masih kelas 3 Sekolah Dasar, mama dan kakaknya pergi meninggalkan Haris dan ayahnya berdua di ruko. Selama bertahun-tahun Haris hidup tanpa sosok seorang ibu, ia belajar untuk mandiri dan kuat. Terlebih rumahnya berdampingan dengan Panti Asuhan, sehingga setiap hari ia bertemu dengan anak-anak yang hidupnya lebih menyedihkan darinya.Haris mengidap Ombrophobia atau phobia pada hujan. Mungkin karena trauma yang ia alami saat itu. Ayah dan mamanya bertengkar hebat tepat saat hujan dan petir bersahutan. Esok paginya, ia tak lagi menemui mama dan kakaknya di rumah. Ada luka yang ia simpan sendiri dan tidak bisa ia bagi dengan siapapun. Haris terlihat kuat, terlihat selalu ceria. Namun, saat turun hujan, ia selalu menangis sendirian di dalam kamarnya, berkeringat dingin dan ketakutan. Hujan selalu membuatnya takut kehilangan. Bertahun-tahun Haris mencoba untuk menghadapi
Sejak kejadian hujan bersama Haris, Brisya kecil tak lagi menutup diri. Ia mulai bicara pada siapapun dan membuka diri pada semua orang yang berada di Panti.Bu Rahmi dan Bu Shila heran dengan perubahan Brisya yang tiba-tiba, namun mereka bersyukur karena pada akhirnya Brisya mau membaur dengan anak- anak yang lain.Haris pun hampir tiap hari datang ke Panti dan bermain dengan anak-anak yang lain. Meski sudah kelas 8 namun Haris masih sedikit kekanakan. Setiap sepulang sekolah saat tidak ada les, Haris selalu menyempatkan bermain di Panti dan menemui Brisya, meski hanya sekedar untuk memberinya permen coklat atau mengajaknya bermain."Kakak, mana Barbie?" tanya Brisya saat Haris sedang asyik bermain puzzle.Haris terbelalak dan menepuk keningnya keki, ia ingat dulu pernah menjanjikan boneka barbie pada Brisya."Maaf, kakak lupa. Besok ya, sepulang Kakak dari sekolah," sahut Haris tak enak hatiBrisya tersenyum dan mengangguk, lalu kembali sibuk dengan mainannya.Esoknya.Haris sengaja
"Briyyyy, sarapan dulu!" teriak Bu Shila dari ruang makan.Brisya menarik tasnya cepat dan berlari keluar kamar."Briy udah telat, Buk. Nanti sarapan di sekolah aja!" teriak Brisya tak kalah kencang sambil berhambur keluar dari Panti.Bu Shila mengawasi Brisya yang sudah pergi dengan takjub, hampir setiap hari telat berangkat ke sekolah dan tidak ada perubahan, bahkan hingga detik-detik terakhir anak itu lulus SMA.Beruntung jarak sekolah dan Panti tak begitu jauh, jadi Brisya hanya perlu berlari kencang dengan kecepatan 100 km/jam untuk sampai di sekolah tepat sebelum bel berbunyi.Dan sudah tiga tahun keahliannya itu teruji, ia tak pernah sekalipun telat tiba di Sekolah. Brisya selalu sampai tepat waktu saat bel berbunyi."Hai, Briy, selamat pagi," sapa suara hangat di belakangnya.Aji sudah berdiri dan tersenyum menatap Brisya, saat gadis itu menolehinya."Hai, Ji. Selamat pagi juga!" balas Brisya riang. Melihat wajah ganteng Aji di pagi hari menjadi moodbooster tersendiri untuknya