Tiga puluh menit berlalu, Dimitri sudah mengubah posisi. Duduk di depan pintu dengan menekuk lutut. Kepalanya tertunduk, sesekali memejam karena suara-suara yang Sera buat dari dalam kamar.
Entah berapa banyak obat di dalam air mineral itu hingga bisa membuat Sera yang biasanya diam jadi gemar meracau seperti sekarang.
"AC-nya nyala, saya udah lepas hoodie. Kenapa masih panas, Pak?"
Perempuan itu bertanya dengan nada frustrasi, Dimitri lebih frustrasi lagi. Selama ini mati-matian menjaga jarak, sekarang keadaan Sera seolah sedang mengejeknya.
"Dimitri, panas!"
"Itu karena obat. Aku bisa apa? Kamu mau aku melakukan apa?" Dimitri berteriak pada pintu di depan mata.
Entah kapan pagi datang. Dimitri sangsi ia akan bisa bertahan dalam kewarasan sampai matahari terbit. Sera yang hanya diam saja mampu membuatnya berimajinasi yang aneh-aneh. Konon saat begini. Perem
Menapaki lantai ruang tamu sepulang bekerja sore itu, Dimitri disambut banyak orang. Mirna ternyata tidak bohong saat menelepon dan berkata ada ayah dan ibu Maudi di rumah mereka."Sore, Om, Tante." Menyalami mereka, Dimitri menyapa sekenanya. Otak mulai mengatur segala hal untuk kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja hadir.Pertemuan keluarga inti begini, biasanya untuk sesuatu yang serius."Pantas Maudi betah di sini. Sulungmu ini tampan sekali, Mir," puji ibunya Maudi.Demi sopan santun dan pencitraan, Dimitri mendudukkan diri di sofa yang sama dengan Maudi. Gadis itu melempar senyum malu padanya, dibalas anggukkan kaku.Para orang tua di sana bertukar kabar dan cerita sebentar, Dimitri menanti inti bahasan dengan tak sabar. Dua lengan di atas paha, jemarinya bertaut. Sesekali menjawab pertanyaan Handoko--ayah Maudi-- atau ikut tersenyum saat diberi candaan."Saya seben
Melepas embusan napas kasar dari mulut, Dimitri yang duduk di sudut toko memutar bola mata saat melihat nama yang muncul pada layar ponsel yang bergetar. Tampaknya, Maudi adalah orang yang gigih. Panggilan-panggilan sebelumnya diabaikan, gadis itu masih tak mau menyerah.Memang sedang istirahat, lelaki itu memutuskan menggeser tombol hijau di layar."Kamu sibuk, ya?" Suara dari seberang terdengar antusias dan lega."Iya." Dimitri membawa pandangan berkeliling. Mengamati karyawan yang bertugas, juga para pelanggan yang menyempatkan diri melempar senyum ke arahnya."Untuk pertunangan kita, aku jadi pakai EO, ya? Kata Tante, nanti kalau kita yang tangani, takutnya keteter."Si pria memijat pangkal hidung. Baru sehari sejak perbincangan soal pertunangan. Tanggal saja belum ditentukan dan Maudi sudah merepotkan diri soal acara dan segala macamnya."Kita masih harus membicarakan
Satu tangan memegang kemudi, tangan yang bebas Dimitri gunakan untuk meraih jemari Sera. Gagal. Perempuan itu mengelak, semakin merapatkan diri ke pintu mobil. Terus menatapi ke luar jendela, sikap tubuh yang Dimitri bisa baca sebagai ekspresi cemas.Selepas pernyataan cinta di tempat kelewat tidak romantis tadi, sebagai permintaan terakhir, laki-laki itu membawa Sera ke rumah. Bukan kediaman Mirna, melainkan rumahnya sendiri.Sempat menolak dan melontarkan berbagai alasan yang terdengar lucu, Sera berhasil ia buat ikut setelah beberapa pemaksaan dan pengancaman. Sera tetaplah Sera, keras kepala dan suka membantah."Kita mau ngapain ke sini, Pak?" Dengan nada suara persis bagai anak kecil yang akan segera menangis, perempuan itu bertanya saat mobil terparkir di halaman rumah itu.Tidak menyahut, si pria turun. Membuka pintu di samping Sera, meraih lengan kecil itu untuk digenggam. Menuntun langkah masuk, m
Sepuluh. Sera menghitung dalam hati sudah berapa banyak toko pakaian yang ia dan Mirna datangi. Di toko kesepuluh ini, Mirna kembali memintanya mencoba beberapa pasang pakaian.Ini bukan hari libur kerja, tetapi sejak pukul sembilan tadi ia dan Mirna sudah mengelilingi pusat perbelanjaan. Ibunya Dimitri ini meminta izin pada anaknya atas nama Sera, demi bisa berbelanja.Yang berbelanja Mirna, yang dibelanjakan Sera. Semua pakaian dan sepatu yang dibeli sejak tadi semuanya ukuran Sera dan memang untuk perempuan itu.Sebenarnya sudah berusaha menolak. Pun, alasan yang Mirna katakan untuk semua ini--ingin membelikan saja-- tak bisa diterima. Namun, Sera bisa apa saat wanita yang seumuran dengan ibunya itu merajuk dan menampilkan raut sedih.Jadilah mereka di sini, berkeliling, Mirna menghabiskan uang untuk Sera. Maudi baru akan datang 10 menit lagi. Menyusul karena mengaku tidak enak badan sejak pagi.
Mirna itu seorang ibu. Ia berpengalaman soal asam garam dunia dan sudah berhasil membesarkan dua anak. Bukan sombong, tetapi sudah pantas wanita itu mahir membaca situasi dan menebak apa yang terjadi di sekitar, melalui pengamatan.Ikut pulang satu mobil dengan Dimitri dan Sera, wanita itu diam-diam kembali memerhatikan gerak-gerik dua anak manusia itu. Jelas ada yang berbeda antara mereka yang duduk di kursi depan tersebut. Tak biasanya Dimitri bersikap peduli bahkan kelewat cemas pada seseorang, seperti yang dilihat di rumah sakit tadi.Ekspresi memang tenang, tetapi Mirna seolah bisa menangkap kesan lain dari cara putra sulungnya menatap Sera dan terus-menerus menoleh khawatir pada perempuan itu, layaknya kini.Mirna makin bingung. Bisa mengundang masalah bila semua ini diteruskan tanpa kejelasan. Sebenarnya sudah jelas, ia hanya tinggal menunggu Dimitri mengambil sikap.Ia s
Duduk bersisian di sofa ruang tamu rumah Maudi, Mirna dan Dimitri menampakkan dua ekspresi yang bertolak belakang. Satunya menegakkan punggung dengan dagu terangkat dan raut wajah tenang. Sementara si ibu terlihat beberapa kal membasahi bibir dan menautkan kesepuluh jemari. Ketegangan milik Mirna juga terpancar dari wajah kedua orang tua Maudi. Tiba-tiba dikunjungi calon besan dan menantu, sudah pasti ada hal penting. Mereka menanti pembicaraan dibuka, lalu saat Dimitri buka mulut, mengutarakan sebagian maksud, hening sesudahnya terasa mencekam dan menusuk. "Maaf karena tidak mengatakan hal ini dari awal. Saya bersalah karena sudah mempermainkan perasaan Maudi demi menghindari omelan dan paksaan Mama. Saya tidak bersedia menerima perjodohan ini, Om, Tante, Maudi." Wajah keluarga Maudi serempak memucat dengan sorot kecewa di mata. Tegas, Dimitri melanjutkan. "Saya da
"Saya ... saya mau resign, Pak. Saya akan berhenti kerja, hari ini."Di tengah kebingungannya, Dimitri mengurai pelukan. "Kamu dapat pekerjaan baru di mana? Kenapa tiba-tiba?" Pria itu semakin tak paham ketika Sera tak sudi menatap wajahnya."Apa hubungannya uang ini sama kamu resign?"Dimitri berusaha berpikiran jernih. Mungkin, Sera memang sudah mendapat pekerjaan baru. Tidak masalah bila perempuan itu tak bekerja di rumah Mirna lagi. Toh, nanti, setelah mereka menikah, mereka akan tinggal di rumah Dimitri.Tidak menjawab, Sera mengusapi wajah yang basah. "Saya pamit, Pak." Perempuan itu meninggalkan ruang tamu, hendak mengumpulkan barang-barang.Ditinggal begitu saja, jelas Dimitri semakin kebingungan. Ada apa sebenarnya? Mengapa tiba-tiba sekali Sera melakukan ini semua?Tak lama, Mirna mendatangi. Sama seperti dirinya, si ibu juga kebingungan akan pe
Sudah lewat tengah malam, di kamarnya, Sera yang duduk memeluk lutut di salah satu sudut masih betah memperdengarkan isakan, meski bulir air mata tak lagi turun.Habis sudah air mata perempuan itu menangisi semua kesedihan yang ada. Tak ada eskpresi di wajah lelahnya. Mata yang bengkak itu menyiratkan kekosongan juga luka yang mendera.Jelas, kilasan peristiwa beberapa hari lalu menari-nari di pelupuk mata. Lengkap dengan semua makian dan hinaan yang kembali menyayat sanubari.Hari itu sekitar pukul sepuluh pagi, Sera baru tiba di rumah sang ibu, karena diminta Tina untuk segera pulang. Suatu keadaan yang belum apa-apa sudah membuat ia panik.Sera diminta duduk oleh Tina yang wajahnya sudah berderai air mata. Tak ada Theo atau Hares yang bisa ditanyai perihal apa yang sudah terjadi, si ibu sempat hanya menangis selama setengah jam, tak mau menjelaskan apa-apa.Barulah ketika sebuah kotak p