Andaikan, semuanya bisa diputar kembali. Segala penyesalan mungkin bisa teratasi dan luka bisa terobati. Setidaknya jika perandaian itu ada, Aira sangat menginginkan sang papa kembali bersama di sampingnya. Satu keluarga, tertawa bersama.
"Ngapain masih di sini? Nggak pulang?"
Ketika keluar dari masjid, Daffa mengerutkan kening saat melihat Aira masih duduk di teras. Sendirian, sementara orang-orang yang selesai jamaah sholat isya bergegas pulang. Daffa membuang napas, sebelum mengambil duduk di samping Aira.
"Kesel gue di rumah, boleh nggak sih, gue nginep di rumah lo?" Aira tidak menoleh, tapi berucap dengan ketus. Pandangannya tidak luput dari langit malam di atas sana.
"Jangan gegabah dulu, dong. Emang ada masalah apa, sih?" tanya Daffa lembut dengan tangannya yang dia gunakan untuk merangkul kedua pundak Aira.
"Papa mau gue jauhin lo."
Yang awalnya jemari Daffa sembari mengusap menenangkan, tetapi pergerakan jemarinya itu spontan terhenti kala mendengar hal itu.
"Serius?"
"Buat apa gue bohong?" Aira membuang napas, dirinya sendiri juga tidak mengira dia akan sejujur ini.
"Terus? Lo mau lakuin itu?" Daffa memutar tubuhnya menghadap Aira.
Aira berdecak, Daffa sudah lama menjadi sahabatnya, mana mungkin dia bisa menjauhinya. "Nggaklah, jangan ngira gue bakal jaga jarak sama lo."
"Lha, jadi? Emang kenapa sih, bokap lo nyuruh jauhin gue? Gara-gara insiden pasar malem kemarin itu?" Daffa mendengkus keras, memutar tubuhnya kembali menghadap depan lalu mengusap rambutnya ke belakang.
Kematian almarhum papa Aira satu tahun yang lalu, memang cukup membuat hubungan persahabatannya dengan Aira semakin terhalang. Sang papa tiri yang sekarang bukannya menerima Daffa, justru malah menjauhkannya dari Aira.
"Katanya dia mau gue fokus belajar," jelas Aira membuang napas panjang. Kepala menunduk menatap ujung sandalnya.
"Gitu, doang? Pasti ada alasan lain," desis Daffa hampir frustasi. Dia bisa menjauhi teman-temannya, tapi tidak dengan Aira. Gadis itu sudah menjadi bagian penting dalam hidupnya.
"Terus, yang bikin gue tambah kesel, dia minta gue buat nggak sholat jamaah lagi di masjid. Gila nggak, sih? Harusnya dia bangga, dong, punya anak yang masih paham agama. Lha, ini?"
Aira ikut mengusap wajahnya kasar, sifat sang papa tirinya jauh di luar ekspektasi. Dan Aira tidak menduga sebelumnya jika sang mama ternyata juga ikut mendukung pria itu. Semua seolah berantakan, tidak satu pun yang mendukung Aira. Apalagi menyemangatinya.
"Wah, emang nggak bener itu bokap lo." Daffa menyahut dengan tawa hambar, merasa lucu karena menemukan orang tua yang semacam itu.
"Daffa, gue harus gimana? Dia emang bukan orang tua kandung gue, tapi kalo gue ngelawan, pasti bakal dosa juga, kan? Sedangkan, gue juga nggak mungkin ngelakuin perintahnya. Gimana, dong?"
Benar, Daffa juga menyetujui ucapan Aira. Walau pria itu bukan orang tua kandung Aira, tetapi dalam Islam tidak diperbolehkan untuk melawan perkataan orang yang lebih tua. Siapa pun itu dan di mana pun berada. Tetapi, jika perintahnya buruk, Daffa tidak yakin dengan jawabannya.
"Gini aja, soal itu kita pikir besok. Ini udah malem, mending lo pulang terus istirahat. Pasti papa lo udah mikir yang nggak-nggak kalo lo nggak cepet pulang." Daffa berdiri, berusaha menyelesaikan topik pembicaraan.
"Nggak, gue mau di sini."
"Aira. Ini udah malem, besok lo juga harus sekolah. Kesehatan lo pun juga penting, Ra. Besok gue janji bakal bantuin lo sampai masalah itu kelar. Lo bisa tagih kalo besok gue lupa. Okay?"
"Daffa ...." Aira merengek ketika Daffa menarik tangannya agar ikut berdiri. Namun Daffa tidak mau luluh, dia tetap memaksa.
"Please, Ra. Nggak enak juga diliatin sama tetangga, udah sana pulang. Atau gue anterin? Gimana?"
Aira masih enggan berdiri sembari memberontak agar Daffa melepas tangannya. Lalu sedetik kemudian dia membuang napas panjang karena Daffa menatapnya datar dan tetap tidak mau melepaskan tangannya.
"Daffa ... gue males ke rumah. Gue stress di sana. Gue butuh ketenangan di sini. Lo kalo mau ninggalin gue nggak masalah, gue bisa di sini sendirian."
"Ra?" tanya Daffa tak yakin. Kini rautnya berubah khawatir.
"Udah sana pulang, gue bisa di sini sendirian, Daf," ucap Aira perlahan melepas tangannya dari cekalan Daffa, cowok itu membiarkan.
"Ini bukan saatnya lo kayak gini, Ra," balas Daffa. Mengalah, dia akhirnya kembali duduk di samping Aira.
"Lo nggak ngerti, Daf!"
"Gue ngerti," jawab Daffa lembut, dia enggan membalas bentakan singkat itu.
"Kalo lo ngerti, biarin gue di sini."
"Kesehatan lo lebih penting, Ra. Di luar sini dingin dan lo nggak pake jaket. Gue nggak mau lo sakit, Aira."
"Nggak masalah, gue nggak butuh kehangatan, Daf. Gue cuma butuh ketenangan." Aira mendengkus, menepis pelan tangan Daffa yang hendak kembali menariknya.
Daffa tidak bisa berbuat apapun, dia paling anti menyakiti gadis. Apalagi membantak atau mengasari. Detik setelahnya, Daffa memutuskan untuk mengalah, membiarkan Aira tetap duduk di teras masjid, dan dia akan menemaninya.
"Okey, okey, gue bakal temenin lo di sini. Tapi lo harus janji, kalo lo kedinginan, gue anterin lo pulang," pinta Daffa menunjukkan jari kelingkingnya. Aira tampak mengulas senyum, lalu balas menautkan jari kelingkingnya.
"Gue janji." Daffa tersenyum hangat, masih sempat juga dia mengacak rambut Aira gemas.
"Makasih," jawab Aira balas tersenyum, kali ini tidak marah meski tahu rambutnya berantakan. Setelah sholat, dia memang langsung melepas mukenanya karena gerah.
"Nggak perlu, ini udah jadi tugas gue buat ngelindungi lo." Daffa membalasnya dengan senyum sehangat mungkin. Dia justru beruntung karena masih dipedulikan oleh Aira, sahabatnya.
"Sorry, gue ngerepotin lo lagi."
"Yaelah, santai aja kali, Ra. Gue juga nggak ngerasa terbebani. Justru, gue seneng karena lo masih mau bertahan sama gue sejauh ini."
"Kalo misal lo punya pacar ...." Ucapan Aira tiba-tiba menggantung, namun belum sempat terselesaikan, Daffa cepat-cepat menyelanya.
"Gue nggak akan punya pacar."
"Yakin?" Alis aira terangkat sebelah menatao Daffa di yang kini diam denagn wajah tertekuk.
"Gue udah bilang, gue nggak mau pacaran, Ra."
"Iyain, dah."
"Lo nggak mau cerita? Gue tau lo udah mendem banyak hal selama ini."
"Sok tau lo, Daf."
Daffa tersenyum geli, senyum yang membuat Aira kesal melihatnya. Seolah-olah senyum itu mengatainya. "Gue emang tau, Ra."
"Gue cuma capek aja, Daf. Capek sama semuanya."
"Banyakin doa, banyakin istighfar, tenangin diri dengan beribadah itu jauh lebih baik, Ra." Daffa merangkul bahu Aira dan menepuknya sekilas.
"Udah, Daf. Udah gue lakuin semuanya. Tapi, gue ngerasa tubuh gue bener-bener capek, tidur lama pun, badan gue tetep nggak semangat, Daf. Gue seakan pengen dunia berhenti sebentar aja, deh. Gue pengen berhenti dan nggak ngapa-ngapain."
Daffa tertawa singkat. "Lo pikir ini dunia fiksi? Kalo pun, dunia nggak berhenti, diri lo yang harus istirahat. Bukan karena tidur, tapi lo cukup diam di suatu tempat yang bisa buat lo setenang mungkin. Tapi lo juga harus inget sama waktu dan kesehatan lo, jangan sampai nyakitin diri sendiri, Ra."
Aira membuang napas panjang. "Dan gue, sekarang udah berusaha buat nenangin diri di sini, bantuin gue ya, Daf? Biar stres gue ilang dan gue nggak capek lagi."
"Pasti, Ra. Gue pasti bantuin lo," jawab Daffa dengan senyum hangat. Cukup menenangkan hati Aira ketika melihatnya.
"Pagi, Aira?"Aira spontan menoleh mendengar seseorang yang memanggil namanya. Begitu menoleh, ternyata orang itu ialah Rehan. Cowok yang akhir-akhir ini selalu muncul di depannya. Entah karena apa, Aira sejujurnya cukup risih melihatnya."Eh, pagi juga, Re. Udah lama dateng?" jawab Aira dengan senyum sehangat mungkin."Baru aja, Ra. Lo berangkat bareng Daffa?" Rehan ikut berjalan di samping Aira, beriringan melewati koridor kelas yang masih tampak sepi.Aira mengangguk mantap. "Udah jadi rutinitas, Re. Gue nggak bakal mau sekolah kalo Daffa nggak jemput gue.""Oh, gitu, ya. Em, siang nanti lo ada waktu nggak, Ra?""Belum tau, nih, Re. Emang ada apa? Tapi gue nggak jamin kalo bisa, sih," jawab Aira tidak yakin. Dia memang berusaha untuk menolak ajakan cowok itu.Rehan mengerutkan keningnya. "Kenapa? Karena Daffa ngelarang lo? Dan, lo mau nurutin dia?""Bukan, bukan karena itu. Udah lupain aja, lo emang mau ngajak gu
"Muka lo kenapa jelek amat, sih, Ra?" tanya Daffa melihat raut sendu di wajah Aira."Tai, bukannya ngehibur, malah bikin gue tambah kesel aja lo," ketus Aira lalu memalingkan wajahnya melihat pohon besar di depan sana. Enggan menatap Daffa di sampingnya."Ya udah, kenapa tumben muka lo ketekuk gini? Ada masalah apa lagi, hem?" tanya Daffa lembut, setelah menyadari mood Aira tengah buruk, Daffa memilih mengalah.Aira menghela napas sebelum mengembuskannya perlahan. "Kayaknya bentar lagi gue bakal dapet masalah yang lebih berat dari ini, Daf.""Masalah yang ini aja gue nggak tau, Ra. Ada apa, sih, sebenernya?" Kening Daffa mengerut, pertanda jika dia sedang bingung."Setelah kemarin papa, tadi si Rehan sama Serin. Kira-kira gue bakal kuat nggak ya, ke depannya nanti?""Rehan? Ngapain itu bocah? Dan Serin, buat ulah apa lagi sama lo?" tanya Daffa nertubi-tubi, tangannya bahkan menyentuh kedua pundak Aira dan menatapnya khawatir.Aira bal
Setelah lalu lalang beberapa murid berhamburan keluar gerbang, parkiran sekolah yang sudah sepi membuat Daffa dan Aira segera berjalan menuju ke sana. Mereka memang sengaja menunggu sepi karena terlalu malas untuk antri mengambil motor."Daf, beli boba, yo?" ajak Aira sambil mengambil helm yang Daffa berikan."Nggak mau es krim? Padahal gue mau ngajak lo ke taman, lho."Mata Aira seketika berbinar. "Mau semuanya, Daf. Gue mau cari pelampiasan ke makanan.""Astaga, Kebo," decak Daffa setelah selesai memakai helmnya. Namun, belum sempat Aira naik, suara seseorang membuat Daffa menoleh. Dia menemukan Rehan di depan Aira. Sontak saja Daffa segera melepas kembali helmnya."Ra?""Ngapain lo ke sini? Masih berani muncul dia depan gue lo, Re," desis Daffa yang sudah berada di samping Aira.Rehan mendecih melihat Daffa yang sok pahlawan. "Gue nggak ada urusan sama lo.""Urusan Aira, urusan gue juga," balas Daffa dengan
"Aira, kamu jaga rumah sama bibi, kita mau nganterin Serin beli mobil baru, dan papa mau kamu tidak keluyuran malam ini. Paham?"Sang papa menghampiri Aira yang tengah menonton TV. Malam ini, dia mendapat tempat untuk duduk di sana karena biasanya Serin–lah yang sudah terlebih mengambil tempatnya. Sang papa berucap demikian, membuat tanda tanya di kening Aira."Beli mobil harus sama mama, papa? Kenapa nggak beli online aja, sih? Ribet amat," gerutu Aira setelahnya.Andi, sang papa membuang napas berat menanggapinya. "Aira, jangan buat papa marah sama kamu. Lebih baik kamu masuk ke dalam kamar dan belajar. Papa tidak akan segan memberi kamu hukuman kalau sampai ketahuan kamu keluar rumah.""Serin beli mobil baru? Sedangkan Aira kenapa nggak boleh punya mobil sendiri? Pilih kasih banget," gerutu Aira yang kembali mendudukkan diri. Sementara itu netranya menangkap seroang wanita berjalan dan berhenti di samping sang papa."Makanya belajar yang b
"Udah sarapan belum?" tanya Daffa mengambil duduk di depan bangku meja Aira. Sekotak berisi makanan dia sodorkan ke depan, bermaksud memberikannya kepada Aira."Gue nggak laper." Aira malah menggeleng, tidak selera."Beneran? Lo jangan buat gue khawatir kalo tiba-tiba lo nanti siang pingsan, Ra." Daffa kekeuh, dia meraih tangan Aira untuk memegang kotak makan tersebut. Sudah dia buka, dan Aira tinggal memakannya.Namun, sekali lagi Aira mendorongnya kembali kepada Daffa. Bibirnya tersenyum tipis. "Santai, Daf. Gue bukan cewek lemah, lagian ini juga udah jadi kebiasaan gue.""Kebiasaan kok nggak sarapan, kebiasaan itu harusnya lebih baik, bukan malah makin buruk, Ra. Astaga," balas Daffa sembari menghela napas pelan. Aira selalu saja enggan sarapan pagi di rumah."Ya abisnya, gue nggak punya nafsu makan di rumah. Enek mulu bawaannya."Daffa terkekeh kecil. "Liat keluarga lo haha hihi di meja makan? Sedangkan lo menderita nahan lapar di kamar?
"Gimana tadi olahraganya? Gue denger-denger lo yang dapet rekor tertinggi. Bener?"Bel istirahat berbunyi, beberapa menit yang lalu Aira selesai mengikuti mapel olahraga. Tubuhnya terasa penat dan tenggorokannya yang kering membuat Aira langsung meneguk minumannya hingga tandas. Duduk di depan kelas, kemudian membuang napas lega.Aira melihat Daffa mengambil duduk di sampingnya, mendengar pertanyaan itu Aira tertawa. "Lo tau? Astaga.""Wih, keren kalo gitu. Gue jadi bangga sama lo, Ra." Daffa terkekeh bangga, tidak tahan, dia mengacak rambut Aira gemas. Membuat Aira mendengkus geli."Apa, sih? Cuma gitu, doang. Apanya yang perlu dibanggain, Daffa?" tanya Aira heran, dia memang tidak sebangga itu dengan nilainya.Daffa berdecak, lalu menggeleng pelan. "Ini, nih. Lo kurang bersyukur, Ra. Pencapaian-pencapaian kecil yang lo dapetin selama ini harusnya lo syukurin, karena belum tentu semua orang bisa dapetin itu. Patut dibanggain walau cuma sebat
Aria sudah berdiri di depan pintu rumah Daffa, ketika tangan Daffa menarik gagang pintu, Aira melangkah masuk. Diikuti pula dengan Daffa di belakangnya. Begitu masuk, Aira sudah menerima pelukan antusias dari sang mama Daffa."Wah, Aira? Astaga kamu cantik sekali, Nak!" puji Fatma—sang mama Daffa, setelah melepas pelukannya dan menangkup kedua pipi Aira dengan mata berbinar."Makasih, Tante. Aira juga pangling banget liat wajah Tante yang makin cantik," balas Aira balik memuji, dia juga sedikit pangling dengan wajah seroang wanita di depannya itu.Fatma tertawa kecil, lalu menggiring Aira untuk duduk sebentar. "Bisa aja kamu, oh ya, mau Tante ajarin masak nggak? Katanya kamu suka, ya, sama masakan Tante?""Duh, jadi malu, Tan." Aira merutuki dirinya, dia menebak pasti ini semua ulah Daffa yang memberi tahu mamanya."Anggep aja Tante mama kamu sendiri, nggak perlu sungkan-sungkan. Ayo ke dapur, Tante mumpung semangat hari ini." Fatma mengajak
"Laper nggak, Ra?" tanya Daffa sembari mengenakan jaket hitam miliknya. Kini, mereka sedang berada di luar rumah Daffa.Aira menyengir, sembari menggarukkan kepalanya. "Tau aja lo, Daf.""Makan di tempat biasa aja, gimana? Mau, kan?" tanya Daffa lagi setelah terkekeh kecil. Begitu Aira selesai memakai helm, Daffa merapikan rambut gadis itu yang sedikit berantakan.Aira tidak berontak, kepalanya mengangguk semangat. "Gue oke-oke aja, Daf. Yang penting perut gue nggak koar-koar mulu."Setelah mereka siap, Daffa naik ke atas motornya disusul Aira yang duduk di belakangnya. Hari sudah malam, Daffa tentu tidak tega membiarkan Aira pulang sendirian. Bahkan sang mama sendiri yang menyuruhnya.Setelah melewati jalanan kota malam ini yang cukup ramai, dua remaja itu akhirnya sampai di depan sebuah warung makan. Aira turun, melepas helmnya kemudian merapikan rambutnya yang cukup berantakan lagi.Daffa tiba-tiba bersuara ketika netranya menangkap sosok