46Bahkan keledai pun tidak mau jatuh dua kali ke dalam lubang yang sama. Apalagi aku manusia. Kejadian tadi pagi membuatku tahu jika Tuan Sultan mengambil kesempatan untuk menciumku dengan dalih hukuman. Kini, saat kejadian sama terulang, tentu aku tahu jika dia kembali menangkap tubuh ini. Dan yang terasa basah itu adalah tubuhnya yang habis berolahraga. Aku tahu kini berada dalam pangkuannya lagi, dan ia berusaha menciumku lagi. Entah ada apa dengan dirinya. Sejak tadi main sergap. Apa libidonya sedang tinggi? Ah, mikir apa aku ini! Yang penting sekarang aku harus melepaskan diri. Belajar dari pengalaman tadi pagi. Sebelum ia berhasil mencium lagi bibir ini, kujambak rambutnya dengan kuat, kemudian menarik kepalanya ke belakang hingga menjauh dari wajah ini. Tidak hanya itu, setelah berhasil menegakkan tubuh, kugigit lengannya yang masih memeluk tubuhku. Terasa keras dan asin dari keringatnya, tetapi tetap kuperkuat gigitan hingga ia berteriak kesakitan dan akhirnya melepask
47Aku merebahkan diri setelah menyumpal telinga dengan headset. Kuputar musik cukup keras dari ponsel. Tentu dengan mematikan wifi-nya lebih dulu. Aku ingin istirahat setengah hari ini, tak peduli bos aneh yang terus memanggil-manggil atau mungkin pak Sam yang kembali menghubungiku. Yang terjadi hari ini cukup melelahkan. Setelah semalam lelah menghadapi keluarga Arman, hari ini masih lelah juga menghadapi Tuan Sultan dan Pak Sam yang aneh. Aku memutuskan mau tidur, tanpa ingin memikirkan apa pun. Bukankah bila hari minggu Tuan Sultan memberiku waktu istirahat setengah hari? Semua yang diucapkan Pak Sam tadi kuanggap angin lalu. Kuanggap ia sedang bercanda. Tak ada satu pun yang kuanggap serius. Agar kepala ini tak semakin pusing. Semoga saja besok keadaan kembali normal seperti sedia kala. Seperti sebelum kami berangkat ke pesta. **Senin pagi kujalani hari seperti biasa. Membereskan kamar Tuan Sultan sebelum berangkat ke kantor. Untunglah sikapnya kembali seperti biasa. Tida
48Aku dan Tuan Sultan saling pandang sebelum bergumam dengan bibir bergetar. “Tuan...?”Sementara dengan wajah merah padam, lelaki itu mengayuh kursi rodanya sendiri menuju pintu. Di mana di depannya semakin ramai orang berteriak menyuruh kami keluar. “Keluar kalian, dasar pasangan selingkuh!”“Pezina!”“Pantas saja mejanya dipindah ke dalam, biar bebas berzina?”“Bos tidak bermoral! Memberi contoh buruk!”“Kami tidak menyangka memiliki bos bermoral rendah!”Entah cacian dan nyinyiran apa lagi yang terlontar dari mulut-mulut puluhan orang yang berkerumun di depan ruang kerja Tuan Sultan itu. Suara-suara itu semakin jelas, terlebih saat pintu terbuka. Dengan memutar kursi rodanya sendiri, Tuan Sultan keluar dan menemui mereka. Aku sendiri masih mematung di sini dengan gemuruh hebat dalam dada. Betapa tega Arman memfitnah diriku setelah semua perlakuan buruknya selama menjadi istrinya. Seolah belum puas menjadikanku pembantu di rumahnya, menghina fisikku dengan selalu memanggil Bo
49“Kenapa Anda menambah runyam keadaan, Tuan?” tanyaku saat membantu membersihkan noda bekas telur di wajahnya. Noda telur mentah yang amisnya lumayan membuat mual. Sementara blazerku yang juga terkena telur, sudah kuganti lebih dulu. Faris memang keterlaluan. Ia sepertinya sengaja membawa telur mentah untuk melempari Tuan Sultan. Entah apa motifnya. Dia bilang melawan kemungkaran. Apa pun alasannya, tidak dibenarkan melempari orang lain dengan sengaja, apalagi alasan yang mereka bawa tidak dapat dibuktikan. Begitu mudah Arman menghasut para karyawan. Memprovokasi mereka untuk mendatangi dan mengata-ngatai kami yang mereka tuduh berselingkuh dan berzina. Maka pantas jika Tuan Sultan langsung melaporkan mereka berdua dengan tuduhan-tuduhan itu. Lalu, karyawan lain yang dianggap provokator pun sudah dipecat dengan tidak hormat oleh Tuan Sultan. Tiada ampun bagi mereka. Karyawan lainnya yang ikut-ikutan dalam insiden tadi, yang akhirnya dibubarkan polisi bawaan Pak Sam, ada yang ke
50“Ana, kenapa kau diam saja?” Tuan Sultan bertanya kesal saat aku hanya diam memperhatikan wajahnya yang hari ini berubah-ubah. Itu menurutku. “Lalu, saya harus jawab apa, Tuan?”Pertanyaan bodoh! Namun, aku memang tidak tahu harus menjawab apa. Tiba-tiba dia mengajak menikah. Kapan pacarannya? “Kau harus menjawab ‘ya'. Tidak boleh jawab 'tidak'!”Lah, ini pemaksaan namanya. “Kalau saya jawab tidak?” Aku ingin tahu reaksinya. “Tidak boleh jawab tidak, harus jawab ya!”“Tapi saya tidak mau menikah dengan Tuan!” Aku menjawab lantang. “Kenapa?” Keningnya berkerut. “Karena ... karena tidak ada cinta di antara kita! Kita tidak saling mencintai, kan? Bagaimana mau menikah?” Aku memberikan jawaban logis. Itu benar, bukan? “Kalau begitu, ayo kita saling mencintai!” Ajakan yang menggelikan. Seperti mengajak bermain petak umpet. Aku memutar bola mata. “Tuan, mencintai itu bukan minum obat yang bisa dipaksa. Mencintai itu sebuah proses. Proses rasa yang tumbuh dengan alami. Tidak bisa
51Aku kenal suara itu. Ya, suara Arman. Mau apa lagi dia? Kenapa polisi belum menahannya? Bukanlah Tuan Sultan sudah melaporkannya? “Hmmm.” Aku memukuli tangan Arman yang membekap mulut ini. Tanda minta dilepaskan. “Baik, aku akan melepaskanmu. Tapi jangan teriak. Aku hanya ingin bicara sebentar saja!” Terdengar suaranya mengiba. Tidak angkuh lagi seperti biasa. Tidak terdengar membahayakan. Tubuhku melemah. Tidak lagi meronta. Akhirnya aku mengangguk. Arman melepaskan bekapannya. Juga cengkeramannya di tangan ini. Kami ternyata tiba di dekat mobilnya. Aku mencoba tenang, menegakkan tubuh, kemudian merapikan rambut yang sedikit berantakan, dan mulai bertanya. “Apa yang ingin kau bicarakan? Aku tidak punya banyak waktu. Tuan Sultan pasti mencariku.” Kuucapkan itu dengan tegas, dan tanpa melihat ke arahnya. “Sudahlah! Suruh saja Tuan Sultanmu pulang duluan. Kau nanti kuantar pulang.”Aku menoleh ke arahnya.What? Tidak salah? Ringan sekali dia bicara. Dikira Tuan Sultan itu pe
52Aku merebahkan diri setelah selesai dengan semua pekerjaan rumah. Tubuh yang penat meminta haknya untuk segera diistirahatkan. Untunglah sejak awal Tuan Sultan memberiku jam malam. Aku sudah harus masuk kamar di jam sembilan malam. Tidak boleh berkeliaran lagi di luar kamar di atas jam itu. Jadi, sejak awal bekerja di sini aku memiliki waktu istirahat yang cukup. Secapek apa pun di siang hari, bila malamnya istirahat yang cukup, bangun selalu dalam keadaan segar. Sebenarnya, Tuan Sultan sudah menawariku untuk berhenti sebagai pelayan. Maksudnya, aku tidak harus lagi mengerjakan pekerjaan rumah mengurus kamarnya. Hanya bekerja di kantor saja agar tidak terlalu capek. Seharusnya aku senang dengan tawaran itu. Namun, entah kenapa aku menolaknya. Ada rasa tidak rela jika ada orang lain yang bebas keluar masuk kamar bos-ku itu. Nanti dia bisa melihat Tuan Sultan sedang tidur dan menatapnya lama seperti yang sering kulakukan. Atau melihat Tuan Sultan baru bangun tidur dengan muka bau
53“Ana, ada apa?” Lelaki yang duduk di kursi roda bertanya dengan suara dan wajah datar seperti biasa. Ia duduk di kursi roda di belakang mejanya. Sementara Andrea duduk di kursi depan meja. Di atas meja depan mereka berserakan kertas-kertas. Tidak ada yang aneh. Mereka bicara dengan normal. Gestur mereka juga normal. Seperti diskusi pada umumnya. Ya, memang Andrea duduk melipat kakinya hingga paha mulusnya terekspos, tetapi Tuan Sultan tidak akan melihat karena terhalang meja. “Ana! Ada apa?” Tuan Sultan bertanya lagi dengan suara lebih keras karena aku hanya berdiri mematung dengan mulut menganga di ambang pintu. Sumpah demi apa pun, tidak pernah aku merasa sebodoh dan semalu ini. Aku, dengan amarah membara dan prasangka buruk, membuka pintu ruangan Tuan Sultan dengan kasar. Bahkan sudah menyiapkan kata-kata kasar untuk memaki mereka, karena kupikir mereka sedang berbuat tidak senonoh. Namun kenyataan yang kulihat, mereka hanya berdiskusi biasa dengan duduk saling berjauhan.