Ki Jalak Ireng dan Nimas Isyana langsung saling bertatapan.
“Jika dia adalah seorang pendekar, mengapa bukan dia sendiri yang ikut ambil bagian dalam sayembara ini?” bertanya Juragan Srandak seolah-olah pada dirinya sendiri.
“Maaf, Juragan. Jika pun benar Anom adalah seorang pendekar, tentu saja dia tetap tak tertarik dengan sayembara itu. Pertimbangan saya, pertama, dia lebih bahagia hidup bebas sebagai saudagar petualang, dan tak ingin terikat oleh sebuah jabatan. Yang kedua, dia tidak tertarik dengan hadiah dari juragan itu, karena dia seorang saudagar kaya juga.”
“Ya, ya, aku setuju dengan pendapatmu, Jalak Ireng,” puji Juragan Srandak. “Lalu pertanyaan keduanya adalah, mengapa tiba-tiba Laksmi berminat untuk ikut sayembara yang berbahaya ini? Padahal tujuan akhirnya adalah me
Saat bangun itu, Raden Anom memegang tangan Nimas Isyana untuk membantunya bangun dan berdiri. “Terima kasih,” ucap Nimas Isyana lalu tersenyum manis. “Sama-sama, Nyi...!” Saat melihat Raden Anom melihat ke arah Ki Jalak Ireng dan ingin mengucapkan sesuatu, laki-laki itu menyambutnya dengan sebuah kedipan sebelah matanya. Raden Anom langsung tersenyum sembari menggeleng-geleng pelan. Penonton pada pertandingan di hari kedua jauh lebih ramai dari penonton yang kemarin. Penonton di hari kedua ini bukan saja berasal dari warga dari desa Blimbingan sendiri, namun berasal dari berbagai desa tetangga. Ternyata yang membuat para warga desa-desa lain itu hadir dalam sayembara berdarah-nyawa itu adalah karena mereka mendengar adanya keikutsertaan se
Pertarungan ketujuh adalah antara seorang pendekar yang bertubuh jangkung yang bergelar Pendekar Jangkung Saketi dan pendekar berkulit gelap yang berjuluk Pendekar Kebo Ireng. Begitu nama keduanya disebutkan oleh juru acara, Ki Surojoyo, kedua pendekar itu nyaris bersamaan melentingkan tubuhnya ke atas panggung pertarungan. Keduanya sama-sama membentengi diri dengan senjata andalannya masing-masing. Pendekar Jangkung Saketi memegang tombak trisula, sementara Pendekar tongkat dari wesi kuning. Dilihat dari tampilan, keduanya memiliki usia yang lumayan jauh selisihnya. Pendekar jangkung terlihat jauh lebih tua, sementara Pendekar Kebo Ireng masih terlihat muda dan lebih kekar. Menurut Ki Jalak Ireng, usia pendekar jangkung nyaris tujuh puluh tahun, tetapi kedigdayaannya masih sangat diperhitungkan oleh lawan-lawannya, baik di kalangan aliran hitam maupun di kal
Pendekar Wadon Kulon melirik ke samping, ia melihat dua kaki lawannya. Artinya, jika ia melakukan sebuah gerakan, maka sama halnya dia membunuh dirinya sendiri, dan benar...ujung salah satu pedang yang ditekan di punggungnya akan menembus jantungnya. Maka ia pun langsung menjatuhkan tubuhnya sehingga membuatnya seperti orang yang tidur tengkurap. “Baiklah, Cah Bagus, aku menyerah...!” “Terima kasih, nek. Tapi nenek jangan pernah berpikir untuk melakukan kecurangan, sebab aku tak akan memaafkan nenek!” ancam Pendekar Naga Merah dengan suaranya yang datar. “Baiklah, Cah Bagus, aku tahu. Aku tak mungkin melakukan itu.” “Baik, terima kasih...!” Tepukan tangan dan seruan-seruan penonton pun langsung pecah membahana. Na
Malam hari, Raden Anom mengobrol berdua dengan Laksmi di halaman belakang rumah. Walau dinaungi oleh beberapa pohon sawo, namun sinar rembulan tetap mampu menerangi tempat itu. Keduanya membahas masalah lanjutan pertandingan esok hari. “Apa ada yang Dik Laksmi pikirkan tentang pertandingan esok hari?” tanya Raden Anom. “Tidak pada pertarungannya, Mas, tapi hanya pada siapa calon tarung pertama saya besok.” “Hm. Tapi siapa pun yang lawan pertama atau selanjutnya Dik Laksmi besok, tidak perlu dirisaukan, karena Mas akan melindungi Dik Laskmi tanpa siapa pun yang tahu. Bahkan bila perlu, Dik Laksmi minta kepada juru acara agar Dik Laksmi agar bisa melawan dua orang sekaligus. Jika demikian, maka kemungkinan Dik Lasmi akan bertarung dengan Pendekar Naga Merah di pertarungan terakhir.”
Lagi-lagi Pendekar Banci kelana tertipu. Rupanya gerakan liciknya itu sudah diketahui oleh sang lawan. Saat ujung selendang mengandung maut itu satu depa lagi akan memotong urat lehernya, dengan cepat Pendekar Cambuk Iblis melentingkan tubuhkan ke belakang, yang kemudian dengan menggunakan siku kiri untuk menyangga tubuhnya, tangan kanannya dengan cepat dan kuat mengayunkan cemeti saktinya ke depan, dan... Crash..! Crash...! Dua kali ujung cambuk yang ada semacam pisau pendek namun sangat tajam itu mengenai perut lawannnya, Pendekar Banci Kelana dan mengoyaknya. “Ah...!” Semua penonton spontan menutup wajahnya atau memalingkannya ke arah samping karena tak sanggup melihat pemandangan yang mengerikan di hadapan mereka. Serta-merta Pendekar banci Kelana
Yang paling bernafsu untuk menyerang adalah Pendekar Kapak Kembar. Begitu Ki Surojoyo turun dari panggung pertarungan, laki-laki yang bertubuh kekar dan berwajah garang itu langsung menyerang ke depan dengan memutar kedua kapak kembarnya dengan sasaran yang berbeda pada tubuh lawannya, Pendekar Naga Merah. Pemuda yang bergelar Pendekar Naga Merah tentunya bukanlah pendekar berkepandaian rendah. Begitu mendapat serangan itu, ia justru menyambut serangan yang sangat berbahaya itu dengan menggunakan tangan kosong sembari menyambutnya dengan tendangan memutar yang sangat keras dan mengarah langsung pada bagian bawah dada lawannya. Saat Pendekar Kapak Kembar bergerak memutar untuk menghindari tendakan keras lawannya, justru saat itu sang lawannya mengirimkan tendangan kerasnya dengan menggunakan kakinya yang lain. Bughk...!! Bughk.
Suara penonton langsung gegap gempita untuk memberikan semangat kepada kedua bertarung. Tetapi nama Laksmi atau Pendekar Cantik terus-terusan dielu-elukan. Pendekar Cambuk Iblis terus saja menyabetkan cambuk bajanya ke arah tubuh Laksmi, tetapi sejauh ini tak satu pun yang mampu menembus pelindung tak kasat mata yang menyelimuti tubuh gadis cantik itu. Bahkan pukulan dan tendangannya hanya mengenai angin kosong karena dengan mudahnya lawannya itu menghidarinya dengan hanya menggerakkan tubuhnya sedikit. Ia benar-benar seperti sedang melawan sesosok bayangan semata. “Ayo pria tua, teruskan seranganmu. Apakah keperkasaanmu yang kau bangga-banggakan itu hanya segitu saja?” ejek Laksmi sembari terus menggerakkan tubuhnya mengelakkan setiap serangan cambuk, tangan, dan kaki lawannnya. Mendengar ejekan itu
Raden Anom bertindak cepat. Dengan gerakan cepat, ia membopong tubuh laki-laki itu dan dibawahnya ke dalam rumahnya dan meletakkannya ke atas lantai permadani. Saat itu Nimas Isyana muncul bersama Laksmi dan juga...Pendekar Naga Merah. Raden Anom sesaat terheran, namun segera dibuangnya dalam pikirannya. “Tolong ambilkan air minum...!” pinta Raden Anom tanpa ditujukan kepada siapa pun dalam ruangan itu. Nimas Isyana langsung bergerak ke ruang dalam, dan sesaat kemudian telah keluar kembali sambil membawa satu mok besar air minum. Mok perak itu diambil alih oleh Raden Anom dan diletakkan di depannya. Ia segera memusatkan pikirannya. Satu tapak tangannya diletakkan di atas mulut mok. Mulutnya terlihat komat-kamit. “Tolong diminum dulu air ini, sebanyak yang Ki Lurah mampu,” ucap La