Share

Bukan Anak Haram

Dika menatap mamanya. Bagaimana mungkin dia bisa melupakan Amel, cinta pertama bahkan masih bertakhta di hatinya sampai sekarang.

“Iya, Ma. Jaga kesehatan kalau gitu. Jangan tidur larut malam.” Dika memindahkan mamanya ke ranjang.

“Setelah ketemu, walaupun dia tinggal jauh di pelosok desa, akan Mama datangi. Mama mau minta maaf, sama Amel sekalian. Kalau perlu kita pindah semua. Itu perintah Mama jangan dibantah lagi.” Ketegasan Bu Inah masih awet walau sudah duduk di kursi roda. Dika lagi-lagi hanya berkata iya saja. Paling nanti dia akan ribut lagi dengan Sinta.

***

Satria meminta bantuan salah satu rekannya yang biasa melacak keberadaan orang hilang. Tak perlu menunggu sampai tiga hari. Dalam satu setengah hari saja semua data-datang tentang wanita bernama Camelia sudah terkumpul. Dimulai dari peristiwa wanita dengan lesung pipi itu keluar dari klinik bersalin dengan membawa bayi perempuan.

“Camila, namanya?” tanya Satria pada temannya.

“Iya, tulisanya gitu.”

“Coba terus cari di mana mereka sekarang.”

Jemari itu terus bergulir di sebuah laptop. Awal-awal tahun lahir Camila, Amel masih tinggal di rumah kontrakan yang sama. Lalu pada tahun kedua nekat wanita tersebut menyebrangi pulau Jawa dengan bekal seadanya.

Ibunya tak mau menerima dirinya beserta sang cucu. Berbekal tawaran dari teman, Amel merantau, katanya di pulau itu jika mahir memasak bisa menyambung hidup dengan mudah.

"Oke, makasih ya.” Poin-poin penting telah dicatat oleh Satria. Segera ia akan berikan jawaban itu pada Nyonya Besar—begitu ia memanggilnya.

Pria muda itu datang ke rumah Bu Inah. Sinta yang menyambutnya. Tatapan wanita angkuh yang begitu dalam, seolah-olah menelisik Satria dari ujung rambut sampai kaki.

“Mau ngapain ketemu mertua saya? Ada yang harus dihilangkan atau diculik?” tanya Sinta sambil melipat kedua tangannya.

“Rahasia, Bu,” jawab Satria tegas.

“Halah, sudah tua main rahasia-rahasiaan. Sana, itu kamar mertua saya. Jangan buat keributan, ya. Saya mau tidur siang.”

Satria masuk ke kamar Nyonya Besar. Bu Inah terlihat semringah melihat kedatangan pria muda yang sangat ia andalkan itu.

Awalnya Satria ingin segera memberi tahu tentang Amel dan Camila. Namun, terlebih dahulu ia buka pintu kamar sang nyonya. Benar saja, Sinta di depan sana tertangkap basah sedang menguping pembicaraan mereka.

“Pergi kamu. Bikin malu saya saja!” bentak Bu Inah pada Sinta. Sambil mencibir wanita angkuh itu pun naik ke lantai dua.

“Nyonya Besar, cucu Nyonya bernama Camila. Usianya sudah 21 tahun dan dia tumbuh menjadi gadis yang cantik.” Satria menyodorkan foto Camila pada Bu Inah. Gadis itu begitu mirip dengan Dika. Tak lupa pula lesung pipi di sebelah kiri saja persis seperti Camelia.

“Cantiknya cucuku.” Wanita tua itu mengusap foto Camila. Gadis yang mengenakan kerudung segi empat untuk menutupi kepalanya.

“Sayangnya mereka jauh, Nyonya.”

“Seberapa jauh. Ke Cina pun saya kejar juga.”

“Ke Riau, Nyonya. Sudah belasan tahun lamanya. Sudah jadi warga tetap dan punya tanda pengenal di sana.”

“Itu perkara gampang. Usaha sawit kami juga lagi maju-majunya di Riau. Akan saya minta Dika untuk pindah ke sana. Sinta mau ikut atau tidak terserah dia. Mau cerai juga terserah. Saya tidak peduli lagi.”

“Baik, Nyonya.” Gaya bahasa Satria dengan Bu Inah memang formal, mengingat relasi wanita itu dulunya banyak dari kalangan militer kelas atas.

“Saya akan minta kamu dimutasi juga. Masalah fasilitas akan saya jamin. Harus ada yang bisa menjaga cucu saya. Siap-siap, Satria. Kamu orang pertama yang mengenali Camila. Bantu saya supaya dia bisa dekat dengan saya. Masalah bayaran akan saya tambah.”

“Iya, Nyonya, nanti saya sebisa mungkin akan bantu. Sekarang Nyonya istirahat dulu. Pindah ke Riau juga tidak mungkin dalam satu dua hari. Harus sehat dan kuat. Cucu yang cantik ini pasti juga rindu ingin bertemu dengan neneknya,” bujuk pria muda tersebut. Ia bahkan membantu nenek itu untuk meminum obat.

Saat Satria keluar dari kamar Nyonya Besar, ia dipanggil oleh Sinta. Satria hanya diam saja sebagai tanda hormat. Ditanya pun ia tak menjawab dengan gamblang. Ia hanya bilang menemukan berlian di antara sawit-sawit saja. Pria itu berkomitmen menjaga rahasia tuannya.

***

Camelia atau kerap disapa Amel, masih ingat dengan jelas bagaimana ia banting tulang menghidupi putrinya. Awal mula ia tinggal di Riau sangatlah sulit. Uang yang dulu diberikan Bu Inah tentu habis untuk keperluan hidup.

Dengan modal pas-pasan Amel memulai usaha kateringnya. Masakan wanita itu memang enak, tapi tidak demikian dengan jalan hidupnya.

Pertama kali hidup di luar pulau Jawa, Amel sempat kebingungan. Udara di sana panas berbeda dengan tempatnya tinggal dulu. Mantan istri Dika memulai usaha kecil-kecilan saja. Ia menawarkan pada mahasiswa yang banyak menempati kos-kosan di sekitar kontrakannya.

Tak lupa juga ia berikan harga murah. Namun, saat pembayaran ada yang mangkir ada yang tiba-tiba pindah kosan dan tak diketahui alamatnya di mana. Tentu saja Amel merugi. Sudahlah kurang tidur karena memasak dan urus bayi, masih ditambah tak ada bayaran pula.

Dengan sabar Amel melewati cobaan hidupnya dari tahun ke tahun. Berbagai usaha telah ia coba rintis. Pernah ia membuka usaha kateringan khusus ke kantor-kantor. Dan ia mendapatkan penawaran besar, terlebih dahulu Amel diminta menghadap seseorang yang cukup berpengaruh. Seorang lelaki yang dari wajahnya menatap wanita dengan lesung pipi itu dengan tatapan lapar.

Saat Amel sedang menjelaskan harga-harga makanan, tangannya dipegang dan dicium berulang kali. Jelas saja ibu Mila ketakutan. Ia langsung kabur dan tak mau berurusan dengaan pihak perusahaan itu lagi. Meski sebenarnya ia sangat butuh uang untuk membayar di muka kontrakannya selama enam bulan.

Pindah dari usaha katering, lalu wanita itu membuka jasa cuci dan setrika baju mahasiswa saja. Bisa ia santai sejenak tak perlu bangun di pagi buta untuk naik angkutan umum ke pasar atau begadang hanya untuk menyiapkan bahan masakan. Namun, hanya bisa bertahan satu tahun saja.

Pundak Amel tak cukup kuat untuk mencuci dan menyeterika terus-terusan menggunakan tangan. Harga mesin cuci masih tergolong mahal untuknya.

Wanita itu pun memutuskan untuk istirahat selama satu minggu lamanya, sambil nanti memutuskan untuk memulai usaha apa. Ia masih menyimpan nomor ponsel Dika. Ingin ia hubungi, bukan untuk mengemis cinta atau kasih sayang lagi. Namun, untuk meminta hak Camila pada ayahnya.

Bersambung ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status