Hari berganti menjadi hari lalu berganti pula menjadi bulan. Dika kerap membagi waktunya agar bisa mengunjungi istrinya. Meski ia juga selalu diatur kapan harus berkencan dengan Sinta. Saat menatap mata Sinta yang Dika pikirkan hanyalah Amel saja.
Makan malam romantis kembali digelar oleh Sinta, di sebuah restoran mewah dengan penyanyi pop yang mengenakan baju di atas lutut, suaranya yang merdu sangat asyik menemani malam yang bertaburan bintang. Sinta menyukai Dika, tapi tidak dengan lelaki itu. Ia gelisah, seperti ada hal lain yang ia rasakan. Berkali-kali lelaki itu melihat ponselnya, berharap ada kabar dari Amel. Sebab dua minggu lalu saat ditinggalkan istrinya mengeluh sakit kepala setiap hari dari pagi sampai malam.“Kamu kenapa? Sepertinya tidak suka dengan makan malam kita, sampai berkeringat begitu?” tanya Sinta, Dika tak menghiraukannya. Matanya tertuju pada tanda pesan masuk di ponselnya.Bergetar tangan lelaki itu membukanya. Sebuah pesan dari Amel. Di sana tertulis bahwa wanita itu baru pulang periksa dan ia dinyatakan sedang hamil usia tujuh minggu. Dika bahagia, bahkan air mata mengalir dari bagian pelupuk. Sinta merasa aneh, mengapa lelaki itu menangis tanpa sebab.***Usai pulang dari makan malam, Dika langsung ke luar kota. Ia tak peduli pada izin, tak juga peduli pada apa pun lagi. Yang ia inginkan hanyalah memeluk Amel erat-erat. Tak lama lagi ia akan jadi seorang ayah, hati lelaki mana yang tak senang? Walau pernikahan mereka masih dirahasiakan. Beberapa jam kemudian lelaki manja itu sampai juga, ia lekas peluk Amel seperti tak mau lepas lagi.“Terima kasih, Mel. Kamu sudah buat hidup Abang lebih berarti lagi,” ujar lelaki itu, ia hirup wangi rambut istrinya yang kerap membuat candu.“Iih, apaan, Bang. Kamu itu bauk, tahu, belum mandi, ya?” Amel menjauh dari suaminya.Wanita itu memang sangat sensitif terhadap segala sesuatu yang menyengat. Dika hanya menurutu saja, semua demi kebahagiaan wanita yang ia sayangi, juga calon anak yang kira-kira tujuh bulan lagi akan lahir. Pada saat itu kuliah S2 nya sudah selesai. Maka ia bisa berterus terang perihal pernikahan sirinya.“Udah Abang bilang tentang pernikahan kita? Aku tidak bisa menunggu terlalu lama, Bang. Abang bisa tinggalin aku kapan saja. Apa susahnya juga ngurus berkas pernikahan?” desak wanita itu lagi tak ada bosannya.“Tunggu, ya, Abang janji selesai kuliah S2, pasti Abang terus terang, janji.” Lelaki itu bahkan bersumpah dengan kebahagiaannya sebagai taruhan.Jika ia berani mencampakkan Amel juga anaknya nanti biarlah dia dihukum tak bahagia seumur hidupnya.“Hati-hati, Bang, ucapan itu doa. Nanti hidup Abang tidak bahagia selamanya.” Amel memejamkan mata, agak berlebihan reaksi Dika atas permintaan dirinya.Yang ia pernah dengar dari cerita para wanita malam, lelaki yang berjanji dalam keadaan senang, biasanya sering ingkar. Mereka bahkan tak segan-segan menghancurkan kebahagiaan orang lain agar dirinya bisa bahagia.Tak peduli, cuek, dan tak berperasaan begitulah para laki-laki, kata si wanita malam dekat rumah Amel.“Iya, biar kamu bahagia. Sudah, ya, jangan pikir yang aneh-aneh, lagi. Abang bawakan makanan untuk ibu hamil. Jaga anak kita, jangan sampai kekurangan gizi.” Lelaki itu juga menambahkan uang belanja untuk istrinya, sebab gajinya juga mulai naik seiring dengan kemampuannya yang bertambah pintar di usaha milik papanya.Hati wanita mana yang tak akan mudah tersentuh? Termasuk Amel pula, kerisauannya tadi menguap begitu saja. Ia pun menyambut Dika dengan lebih ramah.Hari demi hari Amel melewati kehamilan itu dengan cukup berat, ditambah suaminya yang tak pernah selalu ada di sisinya. Memang, Dika selalu menyempatkan waktu sebulan dua kali untuk mengunjungi istrinya. Kandungan Amel semakin lama semakin besar, barang-barang untuk persiapan kelahiran juga sudah disiapkan.“Bang, kata orang-orang yang paham, anak kita ini perempuan. Dilihat dari bentuk perut aku katanya,” ujar wanita itu.Dika baru pulang ke rumahnya, ia tadi mengalami sedikit pertengkaran dengan Sinta. Gadis itu tak suka diabaikan, mengingat mereka nanti akan jadi suami istri. Bagi Sinta, Dika harus memahami semua hal tentang dirinya.“Kenapa diam saja, Bang. Nggak suka kalau anak kita nanti perempuan. Karena dianggap bukan kebanggaan keluarga?” tebak Amel. Dika hanya menggeleng saja, ia tak masalah anak lelaki atau perempuan, selama itu berasal dari benihnya.“Berapa bulan lagi lahir anak kita, Sayang?” tanya lelaki itu.“Dua bulan lagi. Abang temani aku lahiran, ya. Aku nggak mau melahirkan sendiri. Cukup ibu aku aja yang seperti itu. Kalau Abang nekat, aku bawa pergi anak kita. Seumur hidup pun Abang tidak akan pernah berjumpa dengan dia lagi!” ancam wanita itu untuk pertama kalinya. Ia mulai bosan menunggu janji-janji manis Dika padanya. Bahkan sekalipun Amel belum pernah dibawa berkunjung ke rumah mertuanya.“Kamu kenapa jadi pemarah begini? Capek, ya? Ya, udah istirahat, ya. Iya, Abang janji akan temani kamu lahiran.” Tiba-tiba saja ponsel nokia Dika berdering, nama Sinta tertera di layar.“Siapa Sinta?” tanya Amel.Dika tak menjawab hanya meminta istrinya diam saja. Kemudian lelaki itu mengangkat panggilan tersebut, dan hanya berkata iya iya saja. Bahkan belum menjadi istri saja Sinta sudah berani mengatur hidupnya. Itulah yang tak disukai Dika.“Sinta sekretaris Abang. Dia memberi tahu jadwal rapat. Dua hari lagi, jadi besok Abang langsung pulang ya.” Lelaki manja itu mengusap bahu istrinya, memberikan keyakinan kalau ia tak berbohong.“Terserah kamu saja, Bang. Ancaman aku tidak pernah main-main. Demi anak aku bisa berbuat apa saja.” Amel masuk ke kamar dan mengunci pintu.Mau tak mau malam itu Dika tidur di luar bertemankan sepi, padahal kepalanya sedang pusing menghadapi banyak tuntutan.“Sedikit lagi, Amel. Pernikahan kita pasti akan Abang umumkan pada kedua orang tua Abang.” Lelaki itu tertidur di kursi tamu.Saat bangun tidak ada sambutan apa pun seperti biasanya. Amel masih mengurung diri di dalam kamar. Dika pun mengetuk pintu kamar itu, ia pamit harus kembali ke rumah. Ia berharap Amel keluar melepas kepergiannya seperti biasa, tapi tidak ada yang terjadi.“Jaga diri baik-baik, ya, Amel. Abang pulang duluan, nanti Abang kembali lagi.” Dika pamit dan ia keuar rumah. Kini ia tak mengenakan motor besar lagi, melainkan mobil yang dipinjamkan papa untuknya. Seharusnya hari ini ia berencana mengajak Amel periksa ke dokter kandungan, tapi Sinta membuyarkan semuanya. Gadis itu selalu punya cara untuk membuat Dika kembali dalam cengkeramannya.BersambungLelaki itu sedang mengerjakan tugas kuliahnya, ia harus fokus sebab tak lama lagi akan ada ujian akhir. Semua harus selesai tepat waktu, agar pernikahannya bersama Amel bisa segera ia umumkan. Namun, pintu kamarnya diketuk, tanpa izin darinya Bu Inah masuk dan melemparan foto-foto mesra di ranjang Dika begitu saja. Foto putranya bersama seorang gadis dalam balutan jas hitam dan yang wanita menggunakan kebaya. “Mama sudah tahu?” tanya lelaki itu. Ia tak berani memandang mata wanita yang melahirkannya. “Dia siapa? Iya, baru Mama saja yang tahu, Papa belum. Bisa kamu bayangkan kalau Papa tahu dan menarik semua fasilitas yang sudah diberikan. Kamu akan hidup miskin tanpa mobil, motor, ponsel dan uang. Didepak dari kantor, dicoret dari daftar penerima harta warisan. Dan kamu bukan anak kami lagi.” Tegas Bu Inah. Ia tak pernah main-main dengan perkataannya. Apalagi jika sudah suaminya yang berkata-kata langsung. “Ma, apa salahnya Dika menikah?” “Tidak salah asal calonnya atas persetujua
Puluhan tahun kemudian sekitar tahun 2016 Bu Inah duduk di kursi rodanya. Suaminya telah lama tiada, dua anak perempuannya tentu ikut ke mana suami mereka pergi. Tinggallah orang tua itu di rumah anak lelakinya—Dika, dan sudah bisa dipastikan Sinta juga turut serta. Usai peristiwa perceraian dengan Amel, tak perlu menunggu waktu lama pernikahan dua orang kaya itu digelar juga. Peristiwa yang benar-benar hanya Dika dan mamanya saja yang tahu, mendiang papa tidak, begitu juga dengan dua adiknya. Namun, tidak menutup kemungkinan jika Sinta mencari tahu diluar sepengetahuan mertuanya. Masa tua yang sangat sepi. Dika dan Sinta dikaruniai dua anak laki-laki. Yang satu berusia 19 tahun yang satu lagi jaraknya sangat jauh, kira-kira tujuh tahun. Sebab Sinta yang mengatur jarak kehamilan itu. Bagi wanita keras kepala tersebut, tubuhnya adalah haknya. Ia yang menentukan kapan harus hamil bukan siapa pun. Sinta dan Bu Inah keduanya memiliki watak yang sama dan cenderung sering meributkan ha
Dika menatap mamanya. Bagaimana mungkin dia bisa melupakan Amel, cinta pertama bahkan masih bertakhta di hatinya sampai sekarang. “Iya, Ma. Jaga kesehatan kalau gitu. Jangan tidur larut malam.” Dika memindahkan mamanya ke ranjang. “Setelah ketemu, walaupun dia tinggal jauh di pelosok desa, akan Mama datangi. Mama mau minta maaf, sama Amel sekalian. Kalau perlu kita pindah semua. Itu perintah Mama jangan dibantah lagi.” Ketegasan Bu Inah masih awet walau sudah duduk di kursi roda. Dika lagi-lagi hanya berkata iya saja. Paling nanti dia akan ribut lagi dengan Sinta. *** Satria meminta bantuan salah satu rekannya yang biasa melacak keberadaan orang hilang. Tak perlu menunggu sampai tiga hari. Dalam satu setengah hari saja semua data-datang tentang wanita bernama Camelia sudah terkumpul. Dimulai dari peristiwa wanita dengan lesung pipi itu keluar dari klinik bersalin dengan membawa bayi perempuan. “Camila, namanya?” tanya Satria pada temannya. “Iya, tulisanya gitu.” “Coba terus car
Putri pertama Amel terlahir dengan jalan yang baik dan benar, dia bukanlah anak yang kehilangan hak nafkah dari ayahnya, juga bukan anak haram yang digosipkan warga sekitar. Sebab Amel tak memilik suami. Amel akhirnya mencoba menghubungi Dika, nomor itu ternyata masih sama, dan yang mengangkat seorang perempuan. Terdiam Amel di tempatnya. Sudah ia duga cepat atau lambat mantan suaminya akan menikah lagi seperti yang dikatakan ibunya. Bahkan suara di seberang sana mengatakan bahwa yang menerima panggilan ialah Sinta, istri Dika yang sah secara agama juga negara. Lekas saja Amel tutup panggilan itu dan berjanji seumur hidupnya tak akan meminta hak nafkah Camila pada Dika. Biarlah lelaki itu berdosa dan menanggung semuanya di hari akhir besok. “Jangan pernah mimpi, Bang, untuk melihat wajah putri kita. Kamu sendiri yang memutuskan hubungan. Padahal dia darah daging dan nasabnya ada padamu. Ya sudahlah, anggap saja dulu aku wanita bodoh yang terlalu mudah dimabuk cinta,” ujar Amel pad
“Mah, Mila pergi dulu, ya. Pulang sore mungkin, kalau capek tutup aja kedai lebih cepet. Kumpulin duit dari dulu nggak kaya-kaya juga,” ujar gadis manis dengan lesung pipi itu. “Hati-hati, ya, Nak. Jangan panas-panasan. Kalau nggak di rumah aja bantu Mama jualan.” “Nggak berkembang. Mau cari usaha lain aja." Mila pergi usai mencium tangan kedua orang tuanya. Terlebih dahulu ia antar adik laki-lakinya yang kini hampir tamat SD. Menggunakan honda fit X keluaran tahun 2008 yang masih cukup tangguh digunakan. Satu-satunya kendaraan yang digunakan untuk ke sana kemari di rumah itu. Amel yang membeli setelah menabung sekian lama. Camila begitu akrab dengan adik laki-lakinya, anak yang diberi nama Fathan. Amel benar-benar menutupi semua jejak tentang Dika pada diri putrinya. Amel mengatakan bahwa Mila dan Fathan kakak adik sedarah dan senasab. Padahal tidak, hanya seibu saja. Demi Fathanlah Amel bekerja apa saja yang menghasilkan uang. Ia tak mau adiknya seperti dirinya waktu kecil. Tak
Mila pulang dengan menggunakan motor usai menyelesaikan pertemuan yang berlangsung sampai waktu zuhur masuk. Oma—begitu Bu Inah minta dipanggil olehnya, benar-benar mengajak gadis itu mengobrolkan segala hal, termasuk rasa sepi yang mulai melanda sejak ditinggal suaminya lima tahun yang lalu, dan satu demi satu anaknya mulai fokus mengurus kehidupan masing-masing. Sejatinya hidup memang seperti itu, jika ada yang datang tentu akan ada yang pergi. Jika dulu berbuat jahat tentu balasan akan didapat walau tak sesegera mungkin turunnya. Namun, dari semua hal yang membuat Mila agak susah berpaling hari ini yaitu, kehadiran Satria. Pria muda yang katanya orang kepercayaan Oma juga Bapak Dika.“Tipis harapan, pasti gadis incarannya anak orang kaya juga. Mimpi kali dia mau sama aku yang kucel dan dekil gini.” Mila kembali ke kantor perumahan menyerahkan hasil laporannya kali ini. Gadis itu tak datang dengan tangan kosong saja. Uang muka senilai sepuluh juta rupiah diberikan oleh Dika sebaga
“Tunggu, Mel.” Dika memegang pergelangan tangan mantan istrinya, ketika Amel tak sudi lagi melihat wajahnya. Jelas saja wanita itu melepaskan dengan paksa. “Abang cuma ingin memberikan ini sedikit, nanti pasti Abang berikan setiap bulan. Kalau kurang kamu bisa bilang jangan sungkan, sedikit biaya bulanan untuk anak kita.” Dika mengeluarkan sebuah amplop cokelat yang isinya cukup tebal. Namun, terlebih dahulu Amel menepisnya. “Terlambat kamu. Mila sudah bisa cari uang sendiri, sudah saya bilang dia anak yang mandiri. Jangankan uang, kehadiran kamu aja nggak diperlukan dalam hidupnya. Sekarang kalian berdua pergi dari sini. Atau saya panggil warga untuk mengusir kalian, jangan pernah menginjakkan kaki lagi ke sini, haram rumah saya kalian datangi, selamanya, walau saya mati sekali pun.” Amel serius dengan perkataannya. Dika menarik napas panjang, ia mengajak Satria untuk pulang, bahkan bayaran untuk sepiring nasi yang tak habis ia makan ditolak oleh mantan istrinya. Lelaki itu tak ak
Pulang dari kerja dan memberikan obat untuk ayahnya, Mila hanya sempat beristirahat untuk makan dan ganti baju saja. Ia masih harus kuliah lagi yang kelasnya akan berlangsung setengah jam lagi. Tak jarang, Mila—yang sering dibully anak mama itu disuapi oleh Amel ketika detik jam terus berjalan ke depan tanpa tahu kalau orang tak sempat melakukan hal-hal lain lagi. Itu lebih baik daripada melihat anaknya kelaparan. Sebelum pergi, Amel sempat ingin mengganti uang yang digunakan untuk membeli obat suaminya. Namun, mendapat penolakan dari gadis manis dengan lesung pipi itu. “Murah rezeki Mila hari ini, Ma. Ada Oma baik hati yang ngasih tips habis beli rumah, terus dapat uang tambahan. Simpan aja untuk tambahan modal harian,” ujar Mila, lalu ia mencium tangan Amel dan pergi kuliah menggunakan kendaraan satu-satunya di rumah itu. Amel menatap putrinya dengan haru, rasanya sudah ia kerahkan semua kemampuan untuk membesarkan putri satu-satunya, dan tak akan ia biarkan Dika datang mengambi