“Non Cempaka, apa ada yang sakit?” tanya Mbok Tumi panik.Pertanyaan dari wanita tua itu seperti angin yang melewati telingaku. Karena saat ini aku masih menatap ke arah pintu di mana Sri tadi berada.“Non Cempaka!” panggil Mbok Tumi mengalihkan pandanganku.“Ma –maaf, Mbok. Tadi mbok bertanya apa?” jawabku sambil memasang wajah menyesal dan menahan sakit.Mbok Tumi bukannya menjawab apa yang aku tanyakam, tapi malah menggeleng dan meminta salah satu pelayan yang ada di kamar ini untuk memanggil tabib.“Maafkan saya, Mbok. Saya tadi hanya ingin menahan Sri, dan saya lupa kalau saya tidak bisa berjalan,” sesalku. Tapi wanita tua itu masih saja tidak bergeming.“Maaf mengganggu, Mbok Tumi. Tapi ada yang perlu saya sampaikan kepada mbok,” sela seorang pelayan wanita yang tiba-tiba masuk ke kamar ini dengan tergesa-gesa.Pelayan wanita muda itu lalu mendekat dan berbi
“Sri,” panggilku begitu melihat Sri berdiri di depan pintu.Mbok Tumi langsung menoleh ketika aku memanggil nama yang aku tanyakan kepadanya tadi. Tapi bukannya Sri masuk dan mendatangiku ketika aku memanggilnya, dia malah pergi tanpa mengatakan sepatah katapun. Bahkan raut wajahnya juga tidak sangat berbeda tidak seperti biasanya.“Mbok, bisakah mbok memanggilkan Sri agar datang ke sini?” pintaku pada wanita tua yang berdiri menatap pintu.Mbok Tumi tidak menjawab ataupun menolakku. Wanita tua itu hanya membeku dengan raut wajah yang tidak bisa aku artikan.“Mbok,” panggilku.“I –iya, Non. Ada apa? Apa non perlu sesuatu?” jawab Mbok Tumi terlihat terkejut.Melihat reaksi wanita tua itu membuatku curiga, tapi aku tidak mungkin bertanya langsung tentang yang terjadi. Tapi melihat sikap Sri dan Mbok Tumi saat ini bisa di pastikan pasti terjadi sesuatu yang tidak aku ketahui. Tapi apa?
“Cepat bangun, Cempaka. Jangan tidur terlalu lama hingga membuatku merindukan senyumanmu,” terdengar suara seorang pria berbicara kepadaku.Tak lama setelah mendengar hal itu, sebuah kecupan mendarat di dahiku. Aku yang terkejut dengan apa yang baru saja aku alami langsung membuka mataku.Ternyata tidak ada siapa-siapa di dalam kamarku. Tapi ketika aku menoleh ke arah pintu, terlihat bayangan seseorang yang sepertinya baru saja keluar dari kamarku.Bayangan seperti seorang pria, tapi siapa?“Apakah itu tadi Dimas?” gumamku sambil mengingat-ingat apa yang baru saja terjadi.Aku yang masih sedikit terkejut kemudian mencubit pipiku. Sakit, itu yang aku rasakan saat aku mencubit tumpukan daging di wajahku yang sudah tidak seberisi seperti sebelumnya. Tapi, apakah yang aku dengar tadi dan merasakan seperti seseorang mengecupku adalah mimpi?Mimpi seperti sebelumnya ketika aku bertemu dengan kedua orang tuaku, Ni Imah dan D
“Tuan Damar?” ucap Mbok Tumi.Pria yang selalu saja ceria itu kemudian mendekati kami berdua. Terlihat dari raut wajahnya dia sedang bahagia. Entah itu bahagia karena kembali ke rumah ini, atau bahagia karena hal yang lain. Tapi yang pasti aku ikut senang dengan kedatangan Damar.“Tuan Damar, kapan anda kembali? Bukankah seharusnya minggu depan anda baru kembali?” tanya Mbok Tumi.“Aku baru saja datang, Mbok. Aku datang ke sini karena ingin menemui calon kakak iparku,” jawab Damar sambil melirikku, “Maaf, maksudku menemui temanku,” lanjut Damar seperti sedang memperbaiki apa yang tadi dia katakan.Sebenarnya aku cukup terkejut ketika pria itu menyebut kata calon kakak ipar di depanku dan Mbok tumi. Bahkan ketika mengatakannya pria itu sambil melirikku. Apakah itu artinya dia sedang bercanda denganku atau sedang memberi tanda kepadaku bahwa Dimas akan menikah.“Hey, Cempaka. Kenapa kamu melamun?
“Apa Non Cempaka tidak ingin menjawabnya?” tanya Mbok Tumi.Aku yang tidak ingin masa laluku diungkit kembali hanya diam. Bukannya aku tidak ingin memberitahu wanita tua itu tentang masa laluku. Tapi aku takut ada orang yang mendengar pembicaraan kami, dan identitas yang selama ini aku sembunyikan akhirnya terbongkar.Mbok Tumi bertanya kepadaku, mengapa aku mengubah namaku yang sebelumnya dan menggantinya dengan nama Cempaka, padahal menurut wanita tua itu nama Ajeng lebih cocok denganku dibandingkan dengan nama pemberian Ki Joko.“Apa boleh saya tidak menjawabnya, Mbok?” ucapku setelah berpikir berulang kali, apakah aku harus jujur atau berbohong kepada adik dari Ni Imah itu.“Tentu saja, Non Cempaka. Mbok tidak akan memaksa non untuk menceritakannya bila non tidak mau,” jawab Mbok Tumi.“Terima kasih, Mbok. Nanti kalau saya sudah siap menceritakannya, pasti saya akan memberitahu mbok,” ujarku berus
“Mas Budi!” teriakku spontan.Aku segera bangkit dari tempat tempat tidur ketika melihat Wirya jatuh di lantai. Hatiku seperti teriris benda tajam begitu melihatnya tidak sadarkan diri seperti saat ini, dan aku langsung memeluknya dan menangis.“Non Cempaka? Apa yang terjadi?” tanya seorang pria yang baru saja masuk, “Bagaimana anda …,” lanjutnya menjeda apa yang dia katakan setelah melihatku berada di mana Wirya berada.Aku yang baru saja melepaskan pelukanku dari tubuh Wirya segera memperhatikan kedua kakiku. Sebuah kejadian tidak terduga baru saja aku alami, dan aku tidak tahu bagaimana hal ini bisa terjadi.“Ini tidak mungkin,” ucapku tidak percaya sambil memegang kedua kakiku. Sedangkan pria yang bertanya kepadaku tadi, dia dan beberapa pria lainnya segera mengangkat dan membaringkan Wirya di tempat tidur Mbok Tumi.“Non Cempaka, apa anda baik-baik saja?” tanya seorang pelayan
“Tuan Dimas,” gumamku tidak percaya dengan apa yang aku lihat di hadapankuOrang yang berdiri sejak tadi di depan pintu ternyata benar-benar Dimas seperti dugaanku. Pria itu masuk setelah cukup lama berdiri di depan pintu, dan aku tidak tahu mengapa dia bersikap seperti itu. Apakah karena dia terlalu gugup untuk bertemu denganku, atau ada alasan lain yang membuatnya seperti itu. Tapi apapun alasannya, aku sangat bahagia dia sudah kembali dan itu membuatku gugup.“Mas Dimas,” panggil Nilam manja kemudian memeluk pria yang menjadi kakak tertuanya itu, “Kapan mas kembali?” lanjut Nilam setelah melepas pelukannya.Melihat Nilam bersikap manja seperti itu, membuatku iri dan teringat masa lalu. Ketika keluargaku masih baik-baik saja, dan malapetaka itu belum terjadi. Karena aku juga bersikap seperti apa yang Nilam lakukan saat ini bila bersama kakak-kakakkku.Andai saja Wirya mengingat masalalunya dan juga diriku, pasti
“Tenang, Nak Cempaka. Pak Nyoto hanya ingin mengobatimu saja,” ujar Mbok Tumi sambil memegang kedua bahuku.“Tapi benda itu untuk apa, Mbok?” tanyaku panik.“Benda ini untuk memeriksa kaki Non Cempaka. Jadi Non Cempaka tidak perlu takut. Karena benda ini tidak akan melukai kaki Non Cempaka,” jelas tabib.Mendengar penjelasan pria itu, aku tidak tahu harus mempercayainya atau tidak. Tapi Mbok Tumi terlihat tenang saja seperti tahu apa yang akan dilakukan pria itu.“Mbok, tolong pegangi Non Cempaka,” perintah pria tua itu.Tanpa menunggu persetujuanku, Mbok Tumi segera memegang kedua bahuku lebih erat dari sebelumnya, dan aku hanya bisa pasrah menerima apa yang mereka berdua akan lakukan.“Non Cempaka, sekarang saya akan melakukannya. Tapi sebelum itu, tolong pejamkan mata non,” ujar pria tua yang sekarang ada di depan kaki kiriku.“Apa itu harus, Pak?”Bukan