POV DONNYSetelah dengan terpaksa meninggalkan rumah ibu NIna, aku pun melajukan roda dua menyusuri jalanan kota yang mulai sepi di jam tengah malam seperti ini.Hampir semua rumah penduduk sudah tutup. Hanya warung kopi dan warung pinggir jalan saja yang tampaknya masih buka.Aku pun membelokkan kendaraan ke sebuah warung kopi yang terlihat ramai.Kubiarkan saja tas pakaian berada di jok motor sementara aku duduk di bangku santai yang berjajar di sepanjang pinggir trotoar."Kopi, Mas. Satu," ucapku pada pelayan.Pelayan mengangguk. Aku pun menunggu, tetapi hingga beberapa saat lamanya, pesanan kopiku tak juga kunjung datang.Aku pun memanggil pelayan itu kembali dan dengan tak sabar, meminta pesananku segera dibuatkan.Pelayan tampak grogi. Namun, sesaat kemudian ia membawakan juga pesanan kopi yang kuminta. "Maaf ya, Mas. Kami kurang anggota, jadi pesanan lama nunggu," ujarnya sambil menundukkan kepala, meminta maaf."Kekurangan anggota? Maksudnya kurang pekerja?" tanyaku dengan na
POV DONNY"Saudari Nisa, Saudari yakin hendak melanjutkan gugatan perceraian pada suami Saudari, yakni Saudara Donny ini? Sudah dipertimbangkan masak-masak? Kami masih memberikan kesempatan bila mana Saudari hendak membatalkannya," ucap salah seorang hakim pada Nisa yang kemudian mengangguk yakin sebagai jawaban."Yakin, Yang Mulia. Sudah saya pertimbangkan masak-masak, saya akan tetap melanjutkan gugatan saya ini," jawab Nisa dengan nada tegas."Baik." Hakim mengangguk-anggukkan kepalanya lalu meneruskan pertanyaan kembali."Apa alasan dan dasar hingga Saudari memutuskan untuk menggugat cerai suami Saudari?" lanjut hakim pula."Karena suami saya sudah menikah lagi tanpa izin dari saya maupun izin atasan tempat ia bekerja sehingga saat ini status kepegawaian suami saya pun terancam dipecat dan berakhir. Bukan itu saja, saat ini suami saya juga sudah memiliki seorang putri dari pernikahan keduanya itu, Yang Mulia dan sebagai seorang istri, rasanya saya tidak bisa menerima dan mentoleri
POV DONNYSetelah diperintahkan hakim untuk melakukan mediasi, kami berdua pun akhirnya menghadap hakim mediasi di ruangan kerjanya.Kulihat Nisa menatap garang saat aku berjalan lebih dulu menuju ruangan tersebut. Aku memang berharap hakim mediasi dapat menyatukan kami berdua kembali. "Jadi, Pak Hakim, saya ingin rujuk lagi dengan istri saya ini. Saya memang sudah melakukan kesalahan fatal dengan mengkhianati perkawinan kami, tapi saya sangat menyesali hal itu, Pak Hakim.""Saya juga kasihan sama Nisa, istri saya ini. Kalau dia jadi janda, pasti namanya akan buruk di mata masyarakat. Dia akan jadi bahan gunjingan tetangga. Orang-orang akan takut kalau Nisa merebut suami mereka. Lagi pula, zaman begini banyak laki-laki suka seenaknya saja. Mereka berpikir janda itu perempuan yang mudah digoda dan diajak berbuat yang tidak-tidak.""Makanya saya ingin mengajak Nisa rujuk. Apalagi, Nisa ini hanya ibu rumah tangga biasa. Tidak punya banyak pilihan. Hanya laki-laki yang benar-benar baik s
Part 1"Nis, mana kaos kaki dan sepatu? Tolong siapin ya, mas buru-buru soalnya," ucap suamiku sambil merapikan seragam coklat yang dikenakan.Mendengar permintaannya, gegas kuambil kaos kaki dan sepatu hitam yang biasa ia pakai ke kantor dan barusan sudah kusemir mengkilat lalu meletakkan di hadapannya. "Ini, Mas. Mau dipakein?" tanyaku sembari berjongkok di depannya, tetapi Mas Donny menggelengkan kepalanya."Nggak usah, Sayang. Tolong ambilkan saja tas kerja mas, ya di kamar," ujar suamiku lagi."Oke, Mas. Tunggu sebentar ya." Aku mengangguk lalu berjalan kembali menuju ke kamar, mengambil tas kerja berwarna hitam yang biasa digunakan suamiku untuk menyimpan berkas-berkas kerjanya.Tas itu kuambil. Namun, karena buru-buru, sesuatu tampak terjatuh dari resleting yang terbuka dan melayang tepat di kakiku.Meskipun pelan, tapi suara yang berasal dari benda jatuh itu membuatku spontan melihat ke bawah.Kuambil benda itu dan memeriksanya. Sebuah kotak perhiasan ternyata. Karena penasar
Part 2"Nisa, hape mas ketinggalan. Lihat nggak?" tanya Mas Donny saat aku tengah melamun menatap layar ponsel yang kini sudah menjadi gelap kembali. Notifikasi pesan whatsapp dari kontak bernama Ela itu tak terlihat lagi. Hmm, belum lima menit lelaki itu meninggalkan ponselnya dan kini ia sudah kembali lagi untuk mengambilnya. Apa Mas Donny begitu merasa khawatir aku akan membuka-buka ponselnya dan mengetahui semua rahasianya sehingga ia tak memberiku waktu dan kesempatan sedikit pun untuk memegang ponselnya dan melihat-lihat siapa saja friends list-nya dan siapa sebenarnya si pemilik nomor kontak yang mengiriminya pesan pribadi tadi?Tapi aku tak putus asa, setelah ini tentu saja aku akan berusaha mengorek dan mencari tahu semua ini secara diam-diam tanpa disadari dan diketahui oleh Mas Donny. Aku tak mau pengkhianatannya itu terbongkar terlalu cepat sehingga ia punya kesempatan untuk menghilangkan barang bukti dan menyembunyikan perselingkuhannya itu."Eh, Mas? Iya ini hapenya ket
Part 3Aku melangkahkan kaki menyusuri deretan toko perhiasan yang terhampar di sepanjang jalan di depan sebuah mall besar di kota Jambi ini.Kumasuki salah satu toko yang merupakan langgananku. Di sana aku biasa membeli perhiasan campuran. Bukan emas murni. Ya, aku memang tidak sekaya itu. Gaji Mas Donny yang hanya mentok di angka empat juta sekian itu memang membuatku tak bisa leluasa membeli barang-barang kebutuhan perempuan yang kuinginkan.Aku hanya bisa gonta-ganti perhiasan yang bahannya terbuat dari emas campuran, bahkan tak jarang barang imitasilah yang kubeli. Sekadar supaya penampilan di depan suami menjadi cantik dengan perhiasan, tak peduli itu hanya barang tiruan.Ya, demi cinta dan pengabdian pada suami, aku rela menggunakan barang-barang palsu, sayang sikap nerimo itu bukannya berbuah manis, tapi nampaknya justru berbuah pahit seperti ini.Saat kudapatkan Mas Donny membeli perhiasan emas murni dengan harga jutaan rupiah, perhiasan itu justru bukan hendak diberikan pad
Part 4"Ris, kamu di mana? Malam ini kamu off kan? Bisa bantu mbak nggak?" tanyaku pada Aris, adik bungsuku yang berprofesi sebagai seorang petugas keamanan sebuah instansi pemerintah."Minta bantu apa ya, Mbak? Kalau Aris bisa bantu, insyaallah Aris bantu?" tanya Aris di seberang telepon."Kamu bisa ke kantornya Mas Donny nggak sekarang? Coba lihat, beneran nggak Mas Donny lagi kerja lembur bareng temennya?" jawabku."Mas Donny kerja lembur? Malam-malam gini, Mbak? Yang bener aja. Oke, Aris otewe kalau gitu. Tapi tumben-tumbenan mbak nguatirin Mas Donny, ada apa memangnya, Mbak?" tanya Aris ingin tahu."Nggak ada apa-apa sih, Ris. Mbak cuma pengen tahu aja. Maklum zaman sekarang 'kan banyak kuntilanak yang suka ganggu rumah tangga orang. Jadi Mbak mau prepare aja sebelum kejadian beneran, Ris," sahutku memberi alasan. Sebenarnya jujur saja aku merasa malu harus melibatkan adik lelakiku dalam urusan rumah tangga seperti ini, tapi kalau bukan ke Aris aku minta tolong, mau ke siapa lag
Part 5"Hai, Bu Donny. Tumben hari ini bisa ikut arisan? Ke mana aja selama ini? Kok nggak pernah kelihatan?" tanya seorang ibu menyapaku saat aku baru saja masuk ruangan pertemuan dinas di mana acara arisan para istri pegawai kantor di mana suamiku bekerja ini dilaksanakan. Kalau tidak salah namanya Bu Lina, istri Pak Anton, teman satu ruangan Mas Donny."Iya, Bu. Alhamdulillah hari ini bisa hadir," jawabku basa basi. Enggan rasanya jujur mengatakan kalau selama ini aku tak bisa hadir karena tak pernah diberitahu suamiku kalau acara arisan ibu-ibu istri pegawai ini ternyata masih rutin dilakukan setiap bulannya. Apa kata mereka kalau tahu Mas Donny sengaja tak memberitahuku supaya aku tak bisa ikut hadir di acara pertemuan bulanan para istri pegawai ini?"Eh ada Mbak Nisa. Syukurlah Mbak bisa hadir. Nanti jangan lupa isi daftar hadir ya, Mbak soalnya Bu Kadis udah nanyain terus lho dari bulan kemarin," celetuk Mbak Irma yang tiba-tiba datang dari arah pintu ruang aula tempat di mana