Pov : Yudi
"Lihat aja! Gue, enggak akan tinggal diam, pokoknya berbagai cara pasti gue lakukan untuk mendapatkan Nisa kembali atau gue, buat Nisa tidak tidur nyenyak."
Yudi berucap dalam hati, langkahnya dengan penuh kebencian karena kekecewaan seusai ke luar dari kontrakan Nisa. Hatinya telah tertutup kabut hitam, bisikkan jahat telah merasukinya.
"Ayo Pak, kita pulang," pintanya pada Supir yang telah menunggu cukup lama.
"Oke, Pak," Pak Supir tidak banyak berkata, melihat raut wajah Yudi yang terlihat berubah penuh dengan amarah.Pak Supir masuk ke dalam mobil, menyalakan mobil. Yudi duduk di bangku depan. Ia mengeluarkan ponsel dari sakunya, membuka menu kontak dan menskrolnya mencari sebuah nama kontak teman lamanya. Yudi membutuhkan bantuan perihal infornasi masalah pelet dan sihir. Berapapun biayanya akan ia bayar, asalkan mampu dan berhasil, apa yang menjadi keinginannya terwujud.
Yudi telah menemukan kontak temannya lalu mengirim pesan
Aku memberanikan diri mengajak Nisa menemui kedua orang tuaku di kampung. Berhubung karyawanku sudah kembali. Jadi, kios sudah ada yang menjaganya.Rencananya besok aku dan Nisa berangkat. Sementara anak-anak di titipkan kepada saudaranya.Segera aku mempersiapkan semuanya."Semoga saja, Bapak dan Ibu menyetujuinya," gumamku sembari mengemas beberapa pakaian untuk aku bawa."Bunda, kamu udah siap-siap belum," tanyaku pada Nisa."Udah Yah, jam berapa kita berangkat Yah, menitipkan anak-anak dulu ya, Yah," cetus Nisa."Sore ini kali ya, Bun, jadi Ayah bermalam dulu di rumah kamu, besok pagi baru kita berangkat, gimana?" Pintaku."Ya udah Yah, Bunda bergegas kalau gitu," Nisa mengiakan.Aku memberi penjelasan pada karyawanku dan mempercayai semuanya untuk beberapa hari saja dan menekankan agar menjaga kesehatan, jangan paksakan jika sudah letih atau kondisi warung ramai, tidak harus tutup malam."Ayo Bun, kita berangkat," cel
Aku membayar dan memberikan kartu identitasku, lalu kami di arahkan menuju ke kamar. Aku lihat Nisa hanya diam saja, masih aneh! Gumamku dalam hati. Kenapa ia tidak seperti biasa yang ada rasa takut jika terjadi suatu hal karena berdua dalam satu kamar, seringnya Nisa yang selalu mengingatkan supaya menjauhi agar menjaga sampai menikah. Tapi, ini kok malah ia yang mengajak, senyumnya serasa menghilang.Krek ...."Silahkan masuk Pak, mau ada pesanan lain, teh panas atau kopi mungkin?" tanya staff penginapan."Boleh deh Pak, teh manis panas dan kopi panas, ya," jawabku dan memesannya."Baik Pak, sebentar, ya," staff itu meninggalkan kamar kami.Aku merapatkan pintu kamar menunggu pesanan minumanku diantar."Ya udah, kamu tiduran dulu, Bun, Yah dah pesan teh manis," ucapku pada Nisa.Perlahan Nisa merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, aku menunggu duduk di bangku, sembari mengecharge ponselku."Tok ... Tok, permisi," suara dari lu
Aku dan Nisa telah sampai pada sebuah rumah yang terlihat lumayan cukup luas, dengan warna cat kuning terkesan jelas bentuknya. Pekarangan halaman dengan berbagai macam pepohonan menambah mendamaikan hati. Ya, aku tengah berdiri di depan rumah Bapakku. Di wilayah ini Bapakku merupakan orang terpandang karena memiliki sawah yang luas serta perkebunan, memperkerjakan para petani yang berasal dari lingkungan daerah ini juga.Aku menoleh memandangi Nisa yang sedikit takjub melihat rumah Bapakku, jantung ini semakin berdegub kencang. Sempat aku hentikan langkahku untuk menghela nafas, mencoba menenangkan diri sebelum masuk ke rumah.Nisa merapikan dirinya dan mengusap serta membersihkan wajahnya."Yah, aku kok deg-degan, ya," lirih Nisa melepaskan genggaman tanganku."Sama Bun, Ayah juga nih, heee," cetusku mengelus dada."Dih Ayah, kok Ayah ikutan sih, masa sama orang tua sendiri Ayah takut, hayoo ... Karena aku seorang janda, ya," Nisa melontarkan kata-kata yang membuatku kaget."Eh, gak
Assalammualaikum, hai ... Status kamu janda, ya."Aku bertanya pada seorang wanita cantik, melihat profilnya tertulis -menjanda/menduda- aku benar-benar mengaguminya. Menunggu balasan darinya lama sekali."Coba deh, aku komentari di berandanya."Aku klik foto profilnya dan terlihat berandanya, scrol lagi ke bawah dan melihat-lihat isi berandanya, aku membaca status yang disertai gambar fotonya, aku ikut bergabung dengan banyaknya Lelaki yang berkomentar juga di situ."Aku sudah inbox, apa boleh mengenal kamu dengan serius," tanyaku di kolom komentar.Komentarku dibalasnya."Bocil mau ngapain inbox?" Balasnya dikomentar."Aku serius mau berkenalan," jawabku."Aduh bocil ngeri juga ini, udah pulang, cuci kaki, tidur san
"Nisa, lagi apa?" Mengirim pesan chat disela-sela aku sedang santai di kios."Biasa, sama anak, kamu lagi apa? Emang kamu jualan apa sih," tanya Nisa."Kuliner, macam-macam masakan, kapan-kapan aku ajak deh, ya," balasku."Wah, enak tuh, terus kenapa sih gak dekati yang gadis saja," balasnya lagi."Sebentar ya, ada yang beli."Aku menunda chat dan menaruh handphone, melayani dulu pembeli yang datang. Hariku jadi semangat euy.Lanjut lagi mengambil ponselku dan chating dengannya. Rasanya ingin selalu mengobrol dengannya. Apakah cinta harus memandang umur, ya. Buat aku sih terutama apa yang ada di hati. Soal kedewasaan akan berjalan dengan situasi dan kondisi."Aku rasanya ingin kenal kamu Nis, lebih jauh lagi," pesan terkirim."Kamu sudah yakin? Aku gak mau main-main lagi loh, ya. Aku ingatkan lagi, kegagalanku dalam rumah tangga tidak mau sampai ter
Setelah aku dan Nisa tertawa-tawa di depan kasir, kami menuju ke tempat duduk, aku masih menggendong anaknya Nisa dengan satu tangan kiri, tangan kananku membawa makanan. Nisa juga demikian membawa makanan yang di pegang kedua tangannya."Sabar ya, Mas Farhan. Begitulah menjadi Ayah, belajar, haha," guyon Nisa."Siap bersabar, haha," jawabku sambil kerepotan menggendong dengan satu tangan.Langkah aku percepat karena takut jatuh makanan yang aku bawa ini."Nah, kita duduk di sini saja," segera aku meletakkan makanan itu mencari meja dan tempat duduk terdekat.Setelah tanganku menaruh makanannya, aku duduk dan memangku anaknya."Sini De, Omnya mau makan dulu, kamu Ibu suapin sini, Nak," Nisa mengulurkan kedua tangannya mau mengambil alih anaknya dari pangkuanku."Sama Om saja," celetuk anaknya dengan polos."Hahaaa ... Asik. Ciee, sabar ya Om,
"Mas, aku mau ngomong serius ini," ucap Nisa mendekatiku."Kenapa Nis," aku menggeser posisi anaknya menyamping."Aku takut Mas, jika umurku nanti berkurang dan aku bertambah tua, kamunya bertambah dewasa, apa yang terjadi nanti, apa bila tidak lagi bisa melayanimu," ungkap Nisa dengan perlahan.Sontak aku terdiam dengan perkataannya, berpikir sejenak membayangkan perbedaan umur aku dengannya. Saat ini Nisa berumur 36 tahun, andai menikah di tahun ini. 14 tahun kemudian umurnya jika panjang menjadi 50 tahun dan aku menjadi 38 tahun. Omongannya menggores angan-anganku."Mas, kok diam saja. Nah! Kamu membayangkannya ya, saat nanti aku tua dan kamu baru dewasa matang," Nisa mencolekku yang diam."Eh, gak Nis. Bukan gitu! Aku gak masalah kok, menjalani alur saja," aku menjawab seperti itu."Bohong Masnya, ih! Jujur saja Mas, pentingnya kamu memikirkan ke depannya, bagaimana nanti
"Eh, Nis. Kenapa lagunya sesuai dengan apa yang ada di hatiku, ya. Bisa aja nih yang memutarnya," aku bernyanyi mengikuti."Semoga Mas tidak berubah walau nanti umurku sampai 50 tahun lagi, heee," ungkap Nisa."Salat dulu yuk, Nis.""Ya sudah Mas salat dulu, aku menunggu di sini, aku sedang tidak salat.""Sebentar ya, Nis."Aku meninggalkan Nisa sebentar dan anaknya yang masih tidur di sofa. Mencari mushola di dalam Mal.Setelah selesai beribadah aku kembali lagi."Sudah ya, Mas," sembari Nisa tersenyum."Sudah Nis, terus kita mau kemana, lagi," aku membalas senyum dan duduk lagi di dekatnya.Nisa merapikan lagi rambutku, aku pasrah dan diam saja seperti anak yang mau pergi ke sekolah. Satu sisi merasakan seperti itu dan di sisi lain merasa disayang. Lalu merapikan kemejaku juga. Habis ini sepertinya aku bakal cium tangannya nih, heee. Be