Share

5. TERLALU POSESIF

Rina lelah harus diekori Adit kemana-mana. Seakan-akan cowok itu sudah berubah profesi sebagai bayangannya.

Dia tak boleh jauh-jauh dan hilang dari awasan Adit. Pria itu mengikutinya dan mengawasinya kemanapun dia pergi atau bahkan saat hanya bergerak sejengkal saja.

Hanya toilet ceweklah satu-satunya tempat dimana Rina bisa pergi TANPA Adit!

Rina mulai merasa seperti TAHANAN saja, yang digandeng kemana saja dan harus melapor kemanapun dia mau pergi. Tak ada lagi waktu baginya untuk dihabiskan dengan sendirian. Adit selalu muncul dan memantaunya setiap saat.

Hal ini membuat Rina malu dan super risih. Apalagi kebiasaan Adit yang keranjingan menyentuhnya disana-sini tanpa bertanya dulu pada Rina. Adit bertindak seakan-akan Rina adalah miliknya dan dia berhak melakukan apapun yang dia suka pada pacar barunya itu.

Adit tidak tahu bahwa Rina tak suka terlalu banyak bersentuhan dengan orang lain. Dia terbiasa menjaga jarak dan cuek dengan lingkungan sekitarnya, terutama keluarganya. Kedua orang tua yang jarang ada dirumah dan tak begitu suka menunjukkan kasih sayang satu sama lainnya, membuatnya tertular dan mengikuti kebiasaan mereka tersebut.

Ditambah lagi semakin dewasa wajah dan penampilan Rina tidaklah seperti apa yang diharapkan papa mamanya. Mereka berkali-kali membandingkan Rina dengan anak-anak teman mereka yang tampaknya kelihatan jauh lebih cantik menurut papa mamanya.

Memang orang tuanya selalu rajin menjaga penampilan dan menuntut semua orang disekitarnya juga melakukan hal yang sama. Para karyawan yang terlihat sedikit gemuk atau tak memakai full make up akan dipecat langsung. Itulah yang membuat mereka malu saat melihat anak mereka justru terlihat gemuk dan sedikitpun tak mau berdandan.

Untung saja Rina termasuk anak yang pintar dan sedikit membuat papa mamanya bangga. Namun rasa bangga itupun dengan cepat menguap saat melihat penampilan anak mereka yang lama-kelamaan jauh dari kata 'cantik'. Kebiasaan anak mereka yang lebih suka belajar daripada bergaul dengan orang lain juga membuat mereka semakin kecewa dan menyebabkan mereka sedikit enggan menghabiskan waktu dengan Rina, putri semata wayang mereka.

Pasalnya, Adit berbeda dengan papa mamanya. Dia terlalu suka bersentuhan dan selalu saja berada didekatnya. Ini membuat Rina 'tak bisa bernafas'. Orang yang suka menghabiskan waktu sendiri, kini harus membawa cowok yang dibencinya itu kemana-mana.

Hal ini sebenarnya cukup mengagetkan Rina. Setahu Rina, Adit biasanya menghabiskan waktu untuk tidur saja waktu di kelas atau sesekali terlihat bergerombol di lapangan basket dengan beberapa gengnya untuk merokok sehabis pulang sekolah disana. Tapi tak pernah sekalipun Rina melihat anak itu akrab dengan orang lain bahkan sampai menyentuh mereka.

Karna itulah, saat Adit pertama kali menggandeng tangannya, dia berpikir itu hanya akan terjadi sekali dan setelah itu Adit akan meninggalkannnya sendirian. Toh menurut Rina mereka hanya 'jadian' untuk menghindari hukuman yang jauh lebih berat dari guru.

Namun ternyata dia salah. Begitu cowok itu menggandengnya, dia tak mau melepaskannya.

Dimulai dari dia menuntut untuk duduk sebangku dengan Rina, menemani Rina saat mengerjakan tugas-tugas sekolah dan bahkan ikut-ikutan belajar disampingnya. Adit juga ikut-ikutan membawa makanannya ke dalam kelas supaya bisa makan bersama Rina. Teman-teman sekelas banyak yang meledek dan menertawakan Adit, tapi si iblis yang terkenal dingin dan kasar itu mengabaikannya.

Beberapa kali Rina marah-marah dan menyuruh Adit pergi, terkadang bahkan mendorongnya kasar saat cowok itu mendekat, tapi percuma saja, Adit malah nempel terus dan semakin posesif.

Pernah ada salah satu teman sekelas mereka, yang tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba saja mampir ke tempat duduk Rina dan mengajaknya mengobrol. Aneh sebenarnya karna sebelum ini, anak itu selalu cuek pada Rina. Alhasil, Adit yang baru datang langsung menyeretnya menjauh.

Hadiah pun satu persatu diberikan Adit pada pacar barunya itu. Tidak mahal memang harganya, mengingat Adit bukanlah anak orang kaya, tapi terlihat benar dia ingin menyenangkan Rina. Namun berhubung semua barang itu rata-rata harganya murah, Rina hanya melihatnya sekilas, memasukkannya ke tas dan langsung melemparkannya saja ke dalam laci begitu dia sampai di rumah tanpa sedikit pun membukanya.

Rina tak segan juga menghina dan memarahi Adit di depan banyak orang. Itu dilakukannya supaya Adit membencinya dan meninggalkannya sendirian. Namun usahanya itu gagal karena Adit malah tersenyum geli dan justru menghadiahinya hadiah lagi untuk meredakan amarah Rina.

Yang Adit tak tahu bahwa reaksinya itu malah membuat pacarnya itu tambah marah. Dengan sengaja Rina menjauhi Adit dan tak mau diajak bicara.

Awalnya Adit menanggapinya dengan tenang dan berusaha merayu. Tapi saat melihat usahanya tak ada hasil, Adit jadi emosi dan mulai mencak-mencak.

Setelah pulang sekolah, Adit menarik tangan Rina yang hendak menuju mobilnya dan menyuruhnya naik ke atas motor Adit. Rina tak bisa menolak karena melihat amarah Adit di wajah dan gerak-gerik tubuhnya. Hal itu membuatnya takut dan tak bisa melawan.

Motor itu melaju kencang dan yang menyetirnya tak sedikitpun memberi tahu kemana mereka akan pergi. Karena ini pertama kalinya Rina naik motor dan ditambah lagi kecepatannya yang super kencang, membuatnya tak sadar memegang dan menarik jaket Adit sangat erat.

Mereka akhirnya sampai di sebuah cafe di tengah kota yang sudah jadi langganan Adit selama ini. Dia juga pernah bekerja paruh waktu di tempat itu dulu, sehingga dia kenal betul semua karyawan dan bahkan pemiliknya juga dekat dengan dia.

Rina mulai mengomel saat masuk ke dalam. "Kalau mau ngajak ke cafe, kenapa harus ke tempat yang jauh sih?! Kan bisa yang dekat sekolahan?"

"Cafe langgananku ini. Semua karyawan sini kenalanku semua."

"Aku nggak perduli! Mau ini cafe langgananmu kek, pokoknya aku nggak suka! Antar aku pulang, aku nggak nyaman di sini!" bentak Rina hingga membuat beberapa orang yang berada di sekitar mereka menoleh.

"Duduk dulu, aku mau bicara!" Suara dalam Adit yang menyiratkan perintah aku-tak-mau-dibantah itu, membuat Rina menurut dan duduk, walaupun masih dengan wajah kesal.

"Aku nggak suka melihat tingkahmu beberapa hari ini! Tiba-tiba saja nggak mau bicara kayak orang bisu, didekati malah menjauh. Emang aku penderita kusta apa sampai harus dijauhi?" tambah Adit dengan nada suara menuntut.

"Masak masih nggak ngerti juga kenapa aku bertingkah seperti itu? Aku ini nggak suka dengan KAMU! Mau kamu berusaha kayak apapun, aku nggak akan peduli. Berandalan kayak kamu benar-benar bukan tipeku!"

Wajah Adit tampak datar dan tak terlihat tersinggung sedikitpun. "Trus tipemu memangnya yang kayak gimana?"

"Yang pintar dan tak urakan sepertimu! Kalau saja kau peringkat pertama, pasti akan kuterima dengan senang hati. Nggak usah peringkat pertama, ranking tiga pun nggak apa-apa. Sayangnya... lihat saja dirimu! Masih untung kamu bisa naik kelas!" cerocos Rina sambil membolak-balik halaman menu tanpa terlihat tertarik sedikitpun dengan isinya.

"Oke. Kalau gitu kalau aku benar juara satu semester ini, kamu nggak boleh lagi ngomel-ngomel lagi ya. Kamu harus dengan ikhlas menerima!"

"Kamu pikir semudah itu jadi juara satu? Apalagi dengan nilaimu yang parah itu!"

"Kamu nggak usah khawatirkan nilaiku! Pokoknya... jangan lupa janjimu saja."

"Oke... deal! Tapi ingat kalau kamu nggak berhasil, berarti kita putus!" jawab Rina santai. Dia tau betul Adit hanya membual dan hal itu nggak mungkin bisa terjadi.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status