Setelah kurang lebih 2 jam dalam pesawat, aku akhirnya tiba di bandara. Kembali menaiki taksi online aku segera bertolak dari bandara untuk menuju rumah. Selama perjalanan pulang hatiku benar-benar kacau, pikiranku kalut dengan hati yang hampa dan kecewa bukan main.
Hanya lima belas menit dari Bandara, aku sampai di rumah. Aku menatap rumah di hadapanku saat ini. Rumah di balik pagar putih yang menjulang. Sebuah rumah berlantai 2 yang berdiri kokoh di atas tanah seluas 120 meter persegi. Rumah impianku bersama Mas Rafka. Rumah yang benar-benar kami bangun dari nol sekitar tujuh tahun yang lalu setelah lima tahun lamanya kami tinggal di sebuah kontrakan.Selama perjalanan pulang, ponsel di dalam tas yang kupakai tak hentinya berdering. Namun sama sekali tidak membangkitkan niatku untuk sekedar melihatnya saja.Hanya satu tujuanku, segera pulang dan bertemu dengan Mas Rafka. Namun setelah kini kakiku menginjak halaman depan rumahku sendiri, aku merasa terpaku.Kakiku seakan tertancap ke tanah. Aku sendiri bahkan tidak sanggup meneruskan langkah. Aku merasa tidak mampu berhadapan dengan Mas Rafka.Hatiku tak bisa berbohong. Aku memang mencintainya.Dia cinta pertamaku. Kami bertemu dan menjalin kasih sejak duduk di bangku SMA. Putus nyambung lalu kembali bersama. Hubungan yang harus break saat Mas Rafka pindah dan tinggal di luar pulau saat kami kuliah. Tapi pada akhirnya, kami kembali bertemu dan akhirnya bersatu dalam pernikahan.Air mataku kembali luruh. Pertahananku seakan kembali runtuh. Aku tidak sanggup rasanya. Aku masih berharap kenyataan yang ku dapat hari ini hanyalah mimpi. Aku masih berharap seseorang akan menepuk dengan keras kedua pipiku lalu membangunkanku dari tidur yang terlalu nyenyak hari ini. Atau menyiramku dengan air hingga aku terbangun dari mimpi buruk ini. Tapi sampai detik ini, semua terasa nyata karena memang inilah kenyataan yang harus kujalani.Ini terlalu menyesakkan. Terlalu menyakitkan. Aku bahkan tidak pernah hanya membayangkannya saja.Entah berapa lama aku berdiri di depan pagar rumahku yang tertutup rapat. Hingga akhirnya aku berani melangkahkan kaki melewati pagar rumahku.Tanganku menggeret koper dengan erat. Kakiku terus melangkah melewati halaman, hingga sosok Mas Rafka kudapati tengah merawat taman kecilnya di halaman rumah ini. Taman kecil berisikan bunga mawar-mawar putih kesukaannya. Bunga yang sama dengan bunga yang tumbuh di halaman kecil rumah perempuan itu dan hal ini semakin membuat hatiku terkoyak.Aku tertegun melihat Mas Rafka dengan pakaian santainya. Entah kenapa dia ada di rumah, padahal seharusnya dia berada di kantor yang bersebelahan dengan bangunan butik milikku. Pekerjaan sudah menunggunya saat kami masih berlibur di Surabaya, tapi entahlah, aku tidak peduli. Justru dengan dia ada di sini saat ini bukankah lebih mudah untuk aku mengungkap kebohongannya selama ini?Aku masih terpaku. Terdiam memandangi sosok bertubuh tinggi tegap di taman sana yang begitu telaten merawat bunga-bunganya. Dia memang menyukai berkebun dan merawat bunga, hal yang sangat berbanding terbalik denganku.Langkahku yang seharusnya lurus untuk menuju pintu rumah akhirnya berbelok. Aku akan berbicara langsung dan tak ingin menunda lagi kepada Mas Rafka. Meski hatiku telah hancur dan sekujur tubuhku terasa tak lagi menapak. Tapi aku tak ingin lebih lama bersama dengan pengkhianat seperti dirinya."Dek? Kamu sudah pulang?" Mas Rafka menyadari kehadiranku di belakangnya. Kedua tangannya nampak sedikit kotor oleh tanah.Aku tak menjawab. Mendadak aku seperti bisu. Karena hati yang terlalu sakit, hingga rasanya bibirku ikut menjadi kelu untuk berbicara."Dek, kamu kenapa? Kenapa diam saja di sini? Mas sudah selesai memindahkan bunga karena potnya belah. Sekarang kita masuk," ajaknya dengan tangan yang telah bersih lalu merangkulku.Buru-buru aku menepisnya. Mas Rafka terlonjak. Dapat kulihat raut wajahnya yang keheranan."Mas, ada salam buatmu," ucapku datar dengan tatapan mengarah pada rumput-rumput taman."Salam?" ulang Mas Rafka dengan nada heran."Iya Mas, salam rindu Untuk kamu dari Belfania!" ucapku tegas dan penuh penekanan saat mengucapkan nama gadis kecil berambut ikal itu."B-belfania?" Mas Rafka bahkan tergagap menyebut nama dari gadis kecil beriris coklat itu. Dia tidak dapat menyembunyikan raut keterkejutan di wajahnya saat aku menyebutkan nama anak kandung yang selama ini berhasil dia tutupi dariku. "S-siapa Belfania, Dek?" tanyanya pura-pura tak kenal.Membuatku mendecih dan satu bibirku terangkat. Namun akhirnya aku tertawa terbahak mendengar pertanyaan pura-puranya."Selain pandai berbohong kamu juga ternyata pandai bersandiwara Mas! Kamu tanya siapa? Bisa-bisanya kamu pura-pura tidak mengingatnya. Belfania anak kamu Mas! Anak kandung kamu!" tegasku pada Mas Rafka.Kedua netranya melebar sempurna menatapku dan aku yakin dia pasti akan mati andaikan memiliki riwayat penyakit jantung. Dia pasti akan terkapar dan terkena serangan jantung saat tahu jika istri yang selama ini dibohongi akhirnya tahu kebusukannya"Apa maksud kamu, Dek?" tanyanya terdengar memuakkan."Tidak usah berpura-pura lagi, Mas! Aku sudah tahu, aku bahkan telah bertemu dengan perempuan itu! Perempuan yang sudah berhasil membuat kamu mengkhianati pernikahan kita. Kalau memang selama ini kamu tidak bahagia bersamaku, kamu bisa mengembalikan aku pada Bang Elang, kakakku sebagai pengganti almarhum ayah. Kamu bisa mengakhiri pernikahanmu denganku, Mas. Lalu kamu bisa menikahi perempuan itu dan memiliki anak bersamanya, bukan dengan cara menduakan aku seperti ini. Kamu jahat! Kamu keterlaluan! 12 tahun aku bersama dengan kamu, kamu anggap pernikahan kita ini apa Mas? Kamu membohongi aku selama ini. Kamu bukan manusia kamu tidak memiliki hati!" Aku berteriak dan akhirnya tubuhku ambruk ke tanah yang ditumbuhi rumput tipis di taman ini. Aku tidak bisa lagi menahan tubuhku sendiriAku kemudian menceritakan saat anak kecil itu mengembalikan dompetku. Juga saat aku datang ke rumahnya yang mungil. Semuanya kuceritakan dan membuat wajah Mas Rafka seketika pias."Jangan sentuh aku, Mas!" teriakku kepada Mas Rafka yang tangannya sudah terulur hendak meraih pundakku. Namun aku merasa sudah tidak Sudi disentuh olehnya."Ceraikan aku, akhiri pernikahan ini! Aku yakin kamu masih ingat dengan perjanjian pernikahan kita Mas! Perjanjian yang kita tanda tangani dan kita sepakati dalam keadaan sadar dan tanpa paksaan dari siapapun. Kamu ingat, 'kan perjanjian itu, Mas? Dan sekarang kamu yang melanggarnya. Artinya apa Mas? Semua harta jatuh ke tanganku. Semua usaha menjadi milikku. Tabungan, mobil, rumah dan seluruh isinya menjadi milikku. Kamu hanya akan pergi dengan dompet pribadimu dan pakaian yang melekat di tubuh.""Sekarang jatuhkan talakmu dan pergi dari sini! Angkat kaki Karena aku tidak mau lagi bersama kamu. Anakmu Belfania dan Ibunya sudah menunggu kedatangan kamu. Mereka merindukan kamu. Pergi! Pergi!" hardikku dengan keras."Dek, kamu salah paham. Biarkan pas menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi," ucap Mas Rafka yang juga telah terduduk di hadapanku.Aku memberanikan diri menatap sepasang matanya. Sepasang manik mata mata yang selalu berhasil membuat dadaku berdebar. Tatapan yang selalu hangat dan penuh cinta setiap harinya dan menggetarkan hati. Aku menatapnya walau sebenarnya aku tidaklah kuat karena melihat mata itu. Aku masih merasakan getarannya, hanya saja kali ini getaran ini harus bercampur dengan rasa ngilu."Salah paham apa lagi Mas? Pergi! Pergi sana! Pergi! Temui anak dan istri kamu! Kamu tahu sendiri kan? Aku sangat membenci pengkhianatan. Aku benci!""Semua tidak seperti yang kamu pikirkan! Berikan mas waktu untuk menjelaskannya.""Pergi! Pergi dari rumahku. Pergi dari hadapanku Mas! Pergi hanya dengan pakaian yang saat ini kamu pakai!" teriakku dengan keras."Dek ....""PERGI! Aku gak mau lihat kamu lagi, Mas. Pergi!" Aku kembali berteriak."Dek tolong jangan seperti ini!""Berhenti! Jangan berani lagi menyentuhku. Pergi kamu!" Aku berteriak sudah seperti orang kesetanan. Entahlah, rasanya sangat sakit dan aku tidak kuat.Punggung tanganku sibuk menyeka kedua mataku yang berkaca. Tanggul air mataku tak boleh jebol di hadapan Mas Rafka. Maka dari itu aku ingin dia pergi dari sini secepatnya. Agar aku bisa menangis sendirian agar dia tak tahu bagaimana rapuhnya aku karena pengkhianatan ini.Mas Rafka mengeluarkan dompet dari saku celana. Dia mengeluarkan kunci mobil dan kunci rumah. Serta beberapa kartu ATM yang kami buat bersama selama menikah."Kalau kamu ingin mas pergi, baik. Mas akan pergi. Mas minta maaf jika selama ini kamu merasa dibohongi. Mas minta maaf untuk hal yang akhirnya kami ketahui tetapi bukan dari mas sendiri. Jika kamu memang sudah bertemu dengan Belfania dan juga Purnama, kamu pasti sudah melihat mereka langsung. Mas cuma ingin memastikan dan juga bertanya pada kamu, Dek. Kamu perhatikan Belfania baik-baik, kamu pastikan, apa anak kecil itu, mirip dengan Mas?".Setelah berucap demikian. Mas Rafka pun bangkit dari duduknya. Kini dia berdiri menjulang di depanku. Kepalaku mendongak mengikuti arah gerak tubuhnya.Entah apa maksudnya berucap seperti barusan. Aku rasa, dia hanya ingin menyangkal. Dia hanya sedang berusaha menutupi kebenaran tentang anak perempuan itu. Aku rasa dia hanya sedang mencari-cari alasan untuk bisa terus menyangkal. Apa dia pikir aku akan percaya lagi? Apa dia pikir aku akan peduli?Mata kami bertemu pandang. Sebelum cepat-cepat aku memutusnya. Tak mampu lagi aku melihat sepasang manik matanya itu.Tanpa sepatah kata pun yang keluar dari mulut Mas Rafka. Lelaki dengan tinggi badan 175 cm itu berjalan menjauh dari hadapanku. Melangkah hanya dengan kaus santai sehari-harinya di rumah menuju ke arah pagar sana."Jangan datangi kantor dan juga butik! Jangan injakan kaki kamu di tempat yang sudah tidak lagi menjadi milikmu!" Aku berteriak di tempatku.Mas Rafka terlihat menghentikan langkahnya sejenak. Berdiri mematung sekit
ELANG POV.Bugh!"Kurang ajar, Rafka! Beraninya dia menyakiti Fanisa. Awas saja kamu!" "Punya nyali berapa bedebah itu sampai berani menyakiti adikku dan membuatnya menangis seperti tadi. Dasar pengecut! Brengsek!""Agh!"Bugh Bugh Bugh!Tak hentinya aku mengumpat sambil memukuli stir kemudi. Aku sendiri bahkan menjadi saksi, saat Fanisa dan Rafka menandatangani surat perjanjian dalam pernikahan mereka. Di mana orang yang berani selingkuh dan mengkhianati pernikahan mereka, maka orang itu tidak berhak sedikit pun atas harta yang terkumpul selama pernikahan. Aku tahu dan menyaksikan mereka menyepakati surat perjanjian itu satu tahun setelah pernikahan mereka berlangsung.Aku kira, Rafka akan benar-benar menjaga adik perempuanku satu-satunya. Aku kira dengan surat perjanjian itu, Rafka tidak akan berani menyakiti Fanisa walau hanya seujung kuku. Aku kira, Fanisa adikku satu-satunya bersama dengan lelaki yang tepat. Karena selama ini kulihat Rafka merupakan lelaki yang tidak banyak nek
FANISA POV~Kutatap ponsel meski layarnya hanya gelap. Memantulkan wajahku yang kumal dan lusuh. Hingga tidak ada tanda-tanda ponselku ini menyala. Akhirnya kugenggam dengan menurunkan tangan yang mendekap erat lututku.Kuhembus napas kasar. Sudah lima hari berlalu, tapi Bang Elang justru tidak ada memberi kabar sama sekali. Hanya kabar terakhir darinya, yang memberitahuku bahwa ia akan langsung bertolak ke Surabaya setelah kukirimkan alamat perempuan itu.Perempuan yang Mas Rafka panggil dengan nama Purnama. Entah siapa perempuan itu. Namun, tak bisa kupungkiri. Jika namanya memang secantik paras pemiliknya.Hatiku kembali berdenyut.Kugelengkan kepala dengan cepat. Mengenyahkan kilasan kejadian saat aku bertemu perempuan itu pertama kalinya. Perempuan yang membuat kepercayaanku terhadap Mas Rafka pecah terbelah dan tak berbentuk lagi.Drrrt Drrrt Drrt.Ponsel di genggaman tangan bergetar. Aku pun mengangkatnya berada di hadapanku. Panggilan masuk dari Tia—karyawan butik."Halo?" j
POV ELANGAku menatap pantulan wajahku di depan cermin oval. Kusentuh pipi sebelah kananku yang tak mulus. Terdapat bekas luka melintang di bawah kelopak mataku hingga mendekati telinga. Luka yang timbul karena tusukan pecahan beling yang begitu dalam menembus lapisan kulit pipiku. Begitu dalamnya tusukan itu, hingga mengubah rupa wajahku.Dari tahun ke tahun, bekas lukanya tidak kunjung hilang. Seperti yang dikatakan dokter bertahun-tahun yang lalu. Hingga aku harus menerima bekas luka ini tetap ada di pipiku.Kujauhkan telapak tangan dari pipi. Seiring mata yang memejam. Teringat saat perempuan yang ada di rumah yang sama dengan Rafka mengamuk. Histeris dan mengusirku pergi dari sana.Melihat perempuan itu begitu kacau saat memintaku pergi membuatku tak berdaya. Membuatku yang seharusnya menyeret Rafka, justru melupakan tujuan utama datang ke kota ini. Lalu menjauh dari rumah mungil itu.Bahkan kulihat dari jauh, perempuan itu tak sadarkan diri dalam dekapan Rafka yang bercucuran da
POV ELANGAku masih betah memandangi sepasang manik hazel di hadapanku saat ini. Tanganku bahkan telah menangkup kedua pipinya.Garis wajahnya, hidung mancung serta rambutnya yang ikal sebahu. Seperti aku sedang memandangi foto masa kecilku.Kulitnya yang hitam kecoklatan dan bibirnya yang tipis. Nyaris tidak diturunkan dari perempuan berwajah bak bulan purnama itu. Melainkan lebih condong sepertiku.Tanpa dikomando, tanganku tiba-tiba saja terulur membelai puncak kepalanya. Mengusapnya lembut hingga ujung rambutnya.Ada perasaan yang sulit dijelaskan. Terasa menggetarkan dan menyeruak memenuhi hati ini. Rasa yang aku sendiri tidak mengerti."Hey!"Suara teriakan membuatku menoleh ke arah lobi rumah sakit.Anak kecil di pangkuanku itu, cepat-cepat menarik dirinya hingga akhirnya berdiri. "Om, sekali lagi aku minta maaf. Aku buru-buru karena ingin menemui Ibu," tukasnya seolah panik.Aku meraih tangannya dengan cepat. "Jangan takut. Om akan bicara dengan petugasnya," ucapku mencegah ke
"Rumah sakit jiwa?" gumamku dengan tangan terulur melayang tanpa sambutan. Rafka telah hilang dari pandangan mata. Dibawa lajunya mobil ambulance yang mulai menjauh dari gedung rumah sakit.Tanpa membuang waktu. Aku membawa kaki ini untuk berlari. Begitu lebar hingga akhirnya pun keluar melewati pagar rumah sakit.Kebetulan sekali, sebuah taksi melintas di depanku. Buru-buru aku menghentikannya dan duduk di kursi belakang."Ikuti ambulans di depan sana, Pak!" titahku segera.Sopir taksi tak banyak bertanya. Mobil seketika kembali melaju membelah jalanan lengang pagi hari. Di dalam mobil, hati ini resah. Segala kemungkinan terlintas dalam benakku.Mungkinkah perempuan bernama Purnama itu sengaja merusak ketenangan rumah tangga Fanisa dan Rafka? Karena Purnama tahu, jika Fanisa adalah adikku. Mungkinkah Purnama sengaja melakukannya, sehingga dalam satu tembakan peluru, dia berhasil menghancurkan dua target sekaligus?Aku meremas rambutku kasar seraya mendengkus. Aku pusing dengan apa ya
Malam menyapa. Bulan bersinar penuh di singgasananya.Aku sudah kembali berada di dalam rumah sakit jiwa. Mengenakan sweater dan juga masker penutup wajah. Aku berjalan seperti biasa agar tidak menimbulkan kecurigaan para pekerja di sini.Langkahku berhenti tepat di depan kamar yang diisi Purnama. Terlebih aku mendengar suara Rafka dari dalam sana.Aku mendekatkan tubuhku pada tembok. Mengintip dari celah tralis besi ke arah dalam. Ranjang itu masih ditempati Purnama. Perempuan itu nampak memejamkan matanya. Di sisi ranjang, terdapat Rafka duduk di dekat kepala Purnama. Sementara di hadapan Rafka, duduk seorang perempuan yang lebih tua darinya. Kutaksir usianya sudah sampai kepala lima. Namun masih terlihat sehat."Pak Rafka, saya Bu Rianti. Saya melakukan pendekatan pada pasien-pasien di sini dengan cara mendengarkan mereka. Berdasarkan laporan, Bu Purnama ini baru masuk hari ini dan keadaannya benar-benar kacau. Bahkan tadi pagi, ia sempat melakukan percobaan bunuh diri. Satu jam ya
POV FANISA—Bip Bip Bip!Ponselku berbunyi. Deretan pesan masuk, tertuju ke dalamnya. Aku menghentikan sejenak aktivitas di depan layar laptop. Meraih benda pipih di atas meja yang sama dengan laptop di hadapanku.Aku melihatnya malas. Namun, seketika pun terkesiap. Saat tahu yang mengirimkan pesan adalah Abangku.Kedua tangan memegangi ponsel. Lalu membuka satu demi satu pesan yang masuk dari Bang Elang dan membacanya dengan seksama.Keningku mengernyit. Kala pesan di urutan pertama memunculkan satu buah foto. Seseorang nampak tersungkur dengan seluruh badan tengkurap.Wajahnya nampak dari samping. Namun terlihat begitu jelas babak belur. Lebam dan bersimbah darah. Begitu juga kedua lengan yang dipenuhi luka. Kedua kakinya berada dalam keadaan terikat.Aku menatapnya lekat. Meski wajahnya dipenuhi luka, lebam, serta darah. Tapi aku bisa mengenalinya. Dari postur tubuh dan potongan rambutnya yang juga berlumur darah