Bunyi ponsel berdering nyaring, mengagetkan Yudistira yang sedang fokus menyelesaikan pekerjaannya di depan laptap. Ia pun menghentikan aktivitasnya dan meraih ponselnya, nama Anton, teman yang bekerja di klinik laboratorium ada di layar ponsel, dengan segera Yudistira menekan tombol berwarna hijau.“Halo, Anton,”sapa Yudistira.“Yudistira, hari ini, hasil DNA sudah dapat di ambil.”“Oke, aku segera ke sana, terima kasih.”Yudistira mematikan ponselnya, diraihnya jaket kulit yang tergantung di dinding dan berjalan keluar rumah, setelah mengunci pintu depan ia pun menuju motornya dan menstaternya lalu tancap gas menuju klinik laboratorium. Di sepanjang perjalanan jantungnya berdetak kencang, rasa was-was mengelayuti hatinya, motor pun melaju dengan kecepatan tinggi, ia tak sabar mengetahui hasil DNA. Akhirnya Yudistira sampai di klinik dalam waktu 15 menit, sudah tidak sabar rasanya ingin mengetahui hasil test DNA. Kakinya dilangkahkan menuju ruangan Anton, setelah mengetuk pintu, da
Bahagia, satu kata yang kini menghiasi hati Keysha, makan siang bersama Yudistira di kafe dekat kantor, telah menggambarkan bahwa pertengkaran kecil mereka beberapa hari yang lalu telah usai, mereka melupakan perselesihan itu. Setelah makan siang bersama, berlanjut di malam hari. Yudistira memberikan Keysha kejutan sepulang dari kerja, makan malam romantis dengan lilin dan sekuntum bunga mawar merah menghiasi meja makan. Hal yang sederhana, tapi mampu membuat hati Keysha berbunga-bunga, sebuah lagu dilantunkan dengan iringan petikan gitar. Senyum mengembang di sudut bibir Yudistira, rindu yang tertahan akhirnya terluapkan sudah, dengan gairah cinta yang membuncah, kedua insan terbang ke nirwana merengkuh indahnya bercinta. Malam ini Keysha dan Yudistira ingin lebih lama dalam dekapan sang kekasih hati.***Sinar mentari menyapa, menembus jendela kaca dengan tirai yang sudah teruka, berlahan Keysha membuka mata, dan mengeliat, seperti biasaanya Yudistira bangun lebih dulu darinya,
Keysha nampak berbinar-binar, ucapan selamat masih mengalir rasa bangga dan bahagia menyelimuti dirinya, tapi ada satu yang masih Keysha abaikan yaitu ia belum memberitahukan tentang kenaikan jabatannya sebagai direktur utama kepada Yudistira. Keysha sebenarnya ingin mencari moment yang tepat, untuk memberitahukan kabar bahagia ini.Di ruang baru, kantor yang lebih besar, ada sofa di sudut ruangan membuat lebih nyaman, Keysha duduk di kursi, di hadapannya sebuah meja dan papan nama bertuliskan nama dan jabatannya, ia tersenyum ada rasa kepuasan ketika cita-cita telah tercapai. Lamunannya buyar ketika suara pintu diketuk.Tok..tok…“Masuk,” suruh Keysha pada seseorang yang mengetuk pintu, kemudian pintu pun dibuka, terlihat Rendi muncul di balik pintu dengan senyum mengembang, dan melangkah masuk duduk di sofa.“Pak Rendi,” ucap Keysha, berjalan menghampiri Rendi, serta duduk di sofa.“Keysha, jangan pangil Pak, kita ‘kan hanya berdua di sini.”“Tidak, Pak Rendi, selama itu
Satu tahun ini Ena berseteru dengan Rendi, Ena ingin setelah Rendi menyelesaikan kuliah bisnis, ia bergabung di klinik psikiater, tapi Rendi menolaknya. Sejak saat itu hubungan Ena dan Rendi memburuk. Ena menatap jauh di luar jendela kamarnya, ingatannya tiba-tiba melayang beberapa puluh tahun silam, saat dirinya menangis sesenggukan di gundukan tanah merah, dengan taburan kelopak mawar, kekasih hatinya berpulang untuk selamanya, dengan meninggalkan buah cinta yang tumbuh di rahimnya, bahkan ia belum sempat memberitahu kabar ini pada kekasihnya, maut terlebih dulu menjemput sang kekasih.“Ena, ayo pulang, tidak ada gunanya kau di tempat ini!” perintah sang ayah, Adi Wijaya, seorang pemilik Rumah Sakit Hospital Healty.“Iya, Pi.” Ena bangkit, dan berjalan mengekor Papinya. Meninggalkan pemakaman. Air mata Ena tidak berhenti menangis, ia tidak tahu bagaimana nasib anaknya kelak.Sesampainya di rumah, Dia duduk di ruang tengah di hadapannya ada Mami, Papinya juga saudara laki-la
Sementara itu di tempat lain Keysha dan Yudistira telah menentukan pilihan, rumah minimalis di perumahan Griya Safir Cluster, terletak hanya 1 km dari kantor Keysha.“Mas, bagaimana menurutmu?”“Aku suka rumah ini, Sha.”“Iya, aku juga suka rumah ini.”“Baiklah kita ambil yang ini.”Semua proses administrasi dilakukan, hingga rumah impian Keysha terwujud.“Mas, nanti waktu pindahan rumah, aku ingin mengundang semuanya, termasuk Ibu Rani, mudah–mudahan Ibu Rani mau datang.”“Ibu mau datang jika bersama Dania.”“Emm... ya gak apa-apa lah, sama Dania, aku tidak cemburu kok.”“Oke, kalau begitu nanti Ibu aku kabari,” balas Yudistira sambil menatap dan tersenyum pada Keysha.“Eh mas, Dania ‘kan anak Budhe Warni, tapi kok tidak ada mirip sama sekali dengan Budhe Warni, apa Dania mirip ayahnya.”“Iya, aku juga baru menyadari, setahuku, ayah Dania berkulit hitam legam seperti Budhe, tapi Dania berkulit kuning langsat dan berwajah ayu, nanik matanya juga berwarna coklat.”Cubitan mendarat
Mobil sedan hitam melambat, ketika memasuki perumahan, Yudistira melirik Keysha yang masih kesal, mobilpun berhenti, Keysha turun dari mobil tanpa berkata apapun, kali ini ia kesal pada Yudistira karena tidak mendukungnya untuk membongkar perselingkuhan Haris dengan Nova.“Kamu, masih marah denganku, karena melarangmu untuk tidak mencampuri urusan Haris,” ucap Yudistira begitu sampai di kamarnya dan melihat Keysha tidur membelakanginya.“Sha, jawab aku,” Yudistira mengulang ucapanya.“Mas, aku akan tetap memberitahu Rendi, tentang Pak Haris,” balas Keysha, sambil membalikkan badan, menghadap Yudistira. Netra keduanya saling menatap tajam.“Terserah, kamu Sha, selama ini aku selalu mendukungmu, tapi kali ini aku tidak mendukungmu, karena kamu mencampuri urusan orang lain.”“Tapi kelakuan Haris sangat buruk, setidaknya keluarganya harus tahu. Lagi pula, Rendi selain atasanku dia juga temanku,” sahut Keysha dengan nada tinggi.Yudistira, bangkit dari tidurnya, dan beranjak keluar kama
Yudistira, mencoba menghubungi Ibunya, satu bulan yang lalu Rani, ibu Yudistira meminta kiriman uang. Uang itu akan digunakan untuk membeli sebuah ponsel, dengan bantuan Dania, akhirnya Rani bisa membeli ponsel dan bisa menghubungi Yudistira kapanpun yang dia inginkan. Seperti sore ini tiba-tiba Rani menelpon Yudistira.“Assalamu’alaikum, Yudis.”“Waalaikumsalam, Bu. Kebetulan ibu telpon, aku dan Keysha akan pindah rumah, ibu datang ya, dalam acara syukuran.”“Jadi kamu beli rumah lagi.”“Ini rumah Keysha, dia yang membelinya, lokasi rumah dekat dengan kantor, tempat Keysha bekerja,” jelas Yudistira.“Baiklah ibu akan datang, tapi ibu ditemani Dania.”“Iya, ibu datang dengan Dania,” jawab Yudistira.Pembicaraan pun ditutup. Yudistira mengulas senyum bahagia, kondisi ibunya membaik, bahkan beberapa waktu yang lalu Dania, mengabarkan, jika kondisi mental Rani 90 persen sudah normal, makanya Rani meminta untuk dibelikan ponsel.Yudistita kembali menata furniture, dengan bantuan 2 orang
Malam beranjak datang, rumah baru Keysha nampak meriah dengan dekorasi penuh bunga dan kerlap-kerlip lampu. Keysha pun udah berdandan cantik dengan mengenakan dres warna putih, dan rambut yang di gerai rapi sedangkan yudistira memakai kemeja putih, berkerah sanghai di padukan dengan celana kain warna hitam. Mereka pun sudah bersiap–siap untuk menyambut para tamu.Sementara itu di dalam kamar, Rani nampak gelisah, berkali-kali dia duduk dan berdiri, membuat Dania sedikit khawatir dengan keadaan Rani.“Ibu, baik-baik saja ‘kan?” tanya Dania sambil memegang tangan Rani.“Dania, Ibu tidak nyaman kalau pakai baju ini.” Rani melihat penampilannya di cermin, dres motif batik membuatnya tidak nyaman.“Lalu ibu, mau pakai yang mana? dres ini telah di siapkan Keysha untuk Ibu.” Dania berusaha menyakinkan Rani supaya mau memakainya.“Nggak Nia, ibu tidak mau memakainya, lebih baik ganti saja dengan gamis yang kamu belikan kemarin,” pinta Rani pada Dania.Akhirnya Dania menuruti kemauan Rani, di