Suara sirine dari atas mercusuar, meraung-raung keras memecahkan keheningan pagi di pulau Koch. Lebih dari 30 kapal dengan berbagai ukuran, terlihat berlayar cepat memecah samudra, mengepung pulau kecil itu dari berbagai penjuru. Panik .... Para penjaga yang bertugas berjaga di tepi pantai dan dermaga pulau Koch, terlihat kaget dan kelimpungan kedatangan tamu yang tak diundang dalam jumlah yang begitu besar. Mereka segera menyalakan alarm tanda bahaya untuk memperingatkan seluruh penghuni pulau akan adanya serangan. "Serangan!!! ... Serangan!!! ... " teriak sejumlah pria berbadan kekar. Mereka berlarian ke arah dermaga dengan menyandang senjata laras panjang di pundaknya. Pria-pria lainnya dengan penampilan yang sama, juga terlihat siap siaga membawa senjata, keluar dari barak-barak mereka dan bersiap melakukan perlawanan. Seketika, suasana damai di pulau kecil itu berubah menjadi neraka. "Bbommm .... " Salah satu kapal penyerang, menembakkan rudal jarak dekat dan mengha
Avani terdiam. Matanya nanar. Ia termangu menyaksikan semua kekacauan itu. Hati kecil terasa sakit dan pilu. Tak ada kata yang bisa ia ucapkan, saat melihat mayat bergelimpangan kaku di tanah berdarah-darah. Wajah mayat-mayat itu pucat, mata mereka membelalak menatap kosong udara di depannya. Seperti sekumpulan ikan hering yang terdampar mati di tepian pantai. Dari kejauhan, terlihat kepulan asap hitam membubung tinggi ke angkasa, di sertai bunyi sirine dan desing peluru yang bersahut-sahutan tanpa henti. Ledakan dan dentuman, terdengar silih berganti. Mobil-mobil terbakar, menyisakan rangka hitam yang mengeluarkan asap putih mengepul dan bau hangus yang menyengat. Berdiri mematung. Tubuh Avani gemetar, hawa dingin merayapi tubuhnya. Dress putih panjang ia yang kenakan melambai pelan di tiup angin musim penghujan yang berhembus kencang dari Samudra Hindia. Begitu juga rambutnya yang hitam panjang tergerai, melambai pelan tertiup angin. Avani terhuyung ke belakang, tubuh kecil
Sadar Alex Tja tengah terkapar tak berdaya, Avani bergegas menendang pistol Alex Tja yang jatuh ke tanah menggunakan kaki kanannya. Pistol itu meluncur cepat menjauhi Alex, masuk ke dalam kolong mobil. "Bedebah!" umpat mafia muda itu saat melihat Avani menendang pistolnya hingga ke bawah kolong mobil.Segera, Alex meraih kaki kiri Avani yang ada di dekatnya, lalu menarik kali gadis itu menggunakan kedua tangannya hingga Avani tersungkur menghantam tanah."Brukkk .... " tubuh kecil Avani jatuh tengkurap. Terdengar erangan kesakitan dari bibir kecilnya.Melihat Avani jatuh tersungkur tak berdaya, Alex segera bangun, dan bangkit dari tempatnya. Dengan wajah bersungut-sungut penuh kemarahan, ia menghampiri Avani yang masih tersungkur di tanah, lalu menjambaknya. "Jalang!! Berani-beraninya kau melawanku," maki Alex. Tangannya yang besar dan kuat, mejambak erat rambut Avani dan menariknya kebelakang dengan kasar. Avani mendongakkan kepalanya, mengikuti tarikan tangan Alex Tja di rambut
Di pinggir pelabuhan, angin bertiup pelan menggoyangkan daun-daun pohon palem yang tumbuh berderet di sepanjang bibir pantai. Deretan pohon-pohon itu, nampak padu dengan hamparan pasir putih yang membentang luas di sekitarnya. Di kejauhan, dermaga nampak tenang sepi. Tak ada tanda-tanda kehidupan. Yang terlihat hanya segerombolan burung camar yang terbang rendah di antara deretan kapal yang tak bertuan. Avani berjalan mengekor di belakang Gulbi, menyusuri hamparan pasir putih yang landai di sepanjang tepian pantai menuju ke pelabuhan. Di depannya, Gulbi berjalan pelan sembari memegang pistol dengan kedua tangannya. Ia nampak waspada dan siap siaga, mengantisipasi segala kemungkinan yang ada. "Nyonya, mohon lebih berhati-hati," pinta Gulbi saat melihat puluhan mayat bergelimpangan di jalan menuju dermaga. Avani mengangguk, sembari berjalan jinjit menghindari beberapa bercak darah yang tercecer di pasir. Terlihat jelas, sisa-sisa pertempuran. Kobaran api yang masih belum padam. M
Rin Leung berdiri tegap, di bawah pohon palem besar di pinggir pantai. Di belakangnya, berdiri selusin mafia yang sedang berbaris menunggu perintah darinya. Dengan nafas terengah-engah dan tubuh berlumuran darah, wajah Rin yang tegas dan tampan, terlihat semakin garang dan menakutkan. Cipratan darah, yang ada di wajah dan pakaiannya, menambah kesan angker yang dimilikinya. Di samping Rin, tergeletak, seorang pria berbadan kekar, yang mati terkapar, dengan luka tusuk di dadanya. "Weilu!!" teriak Rin memanggil salah satu anak buahnya. Seorang pria muda memakai kemeja warna cream, maju kedepan lalu berjalan mendekati sang mafia. "Ya, bos!" sahut pria muda itu. "Apakah semua sudah terkendali?" tanya Rin. Dengan bibir gemetar ketakutan, Weilu menjawab, "Sudah bos! Begitu tuan besar mengirimkan bala bantuan ke sini, kondisi langsung terkendali." Rin mengangguk-anggukkan kepala sembari menyeka, darah di sudut bibirnya menggunakan telapak tangannya. "Lalu, bagaimana kondisi di
Sore hari di tengah Samudra Hindia yang damai. Laut terlihat tenang, tanpa gelombang. Mirip sebuah cermin raksasa besar yang memantulkan cahaya kuning keemasan, dari hasil pembiasan cahaya matahari yang hampir tenggelam. Di ufuk barat, matahari terlihat seperti bola api raksasa berwarna merah kekuningan yang sedang terbakar dan tenggelam di telan lautan.Bola api raksasa itu, kini sudah separuh perjalanan dan sebentar lagi akan benar-benar tenggelam, menyisakan semburat warna jingga ke emasan di kaki-kaki langit jelang akhir hidupnya. Berdiam seorang diri di atas perahu kecilnya, Avani membiarkan angin laut yang berhembus pelan memainkan rambut panjangnya.Ia hanya duduk meringkuk diam termenung. Kakinya yang panjang, ia tekuk ke belakang, kemudian ia peluk erat dengan kedua tangannya. Perlahan, ia rebahkan kepalanya ke atas lutut, sembari menatap kosong heningnya lautan yang sunyi dan sepi. Ia biarkan perahu kecil itu terombang-ambing dan mengapung tanpa arah dan tujuan, karena s
"Plak .... " Sebuah sabetan rotan, membekas merah di punggung Rin Leung. Ia meringis menahan sakit. "Plak ... Plak ... Plak ... " Tiga buah sabetan rotan kembali mendarat di punggungnya. Terlihat jelas sudah ada lebih dari sepuluh sabetan rotan membekas di punggung mafia muda itu. "Plak .... " sebuah sabetan rotan kembali menyentak punggungnya. Ia menggertakkan giginya dengan keras dan mengepalkan tangannya erat untuk menahan sakit. Para mafia yang ada di alun-alun itu, ikut meringis menahan sakit setiap kali rotan itu menyentuh kulit punggung Rin. Mereka seakan ikut merasakan sakit yang dirasakan oleh sang ketua. "Plak, plak ... " Dua buah sabetan rotan datang bertubi-tubi membuat darah segar, merembes keluar dari dada kanannya yang terluka. Rin membungkuk kesakitan setiap kali rotan itu mengenai punggung kanannya yang segaris dengan luka dadanya. Tak ada yang berani menolongnya. Ini adalah sebuah hukuman, yang harus ia terima. Dan sang ayah sendiri, tuan Koch Leung, yang m
Di ruang kerja Rin. Bau alkohol bercampur dengan obat-obatan, berbaur menjadi satu dengan aroma buku-buku lama dan kayu-kayu tua, menciptakan aroma khas yang sulit dijelaskan oleh kata-kata. Bertelanjang dada, Rin duduk di sofa di dekat jendela, menghadap ke arah luar. Mata tajamnya, mengamati sekumpulan burung gereja yang sedang terbang rendah di antara pohon-pohon palem yang di tanam di luar manor. Mereka tampak gembira dan tanpa beban. Matahari, terlihat mulai condong ke arah barat, menyisakan siluet panjang di kaca jendela yang menghadap ke arah luar, menyinari tato naga yang ada bagian atas punggung kanan Rin Leung yang menjalar hingga ke lengan dan dada bagian depan. Weilu, duduk di belakang Rin. Pria muda itulah terlihat sibuk menuangkan cairan infus ke dalam baskom kecil yang di dalamnya terdapat sebuah handuk yang biasa digunakan untuk menyeka tubuh. Dengan penuh ke hati-hatian, pria muda itu mengambil handuk kecil itu, memerasnya, kemudian dengan perlahan dan hati