"Jangan menghindar lagi Nai, aku tidak akan melepaskanmu." Albe memberi peringatan pada Naima. Terlihat tatapan wajah tampan itu terlihat sendu, jelas kerinduan di iris hijau yang melenakan itu. "Aku tidak menghindar Al, serahkan saja pada takdir. Kalau hari ini kamu tidak bisa menemuiku, berarti Tuhan belum mengizinkan. Serindu itu apa kamu sama aku?" Naima mencoba tidak terintimidasi. Ia berkelakar demi menghela gugup yang mendera, selalu seperti ini jika berhadapan dengan pria asing itu. "Aku sudah mengatakannya Nai, aku merindukanmu. Lihat pipimu memerah," goda Albe tersenyum jumawa. Naima mendesah, menatap langit-langit kamar, menutup sebagian mukanya, pasti ia merona. Hatinya tak bisa diajak kerjasama. "Tetapi tidak denganku Al, ini sudah larut aku harus beristirahat. Besok aku masih kerja pagi." Naima memberikan pengertian kepada Albe, ia harus mengakhiri panggilan itu. Berhadapan dengan Albe imannya melemah. "Bawa aku ke mimpimu, Nai," pinta Albe menatap Naima dengan pandan
Lelaki kekar itu melepaskan pelukannya dari tubuh Naima. Berbalik dan memberi instruksi Ari untuk mengikuti pria asing itu. Naima menangkupkan kedua tangan pada mukanya yang memanas, malu sekali dilihat dalam posisi seperti tadi. Naima menggigit bibir, ada desiran merambat ke hatinya. Namun, rasa marah juga bercokol di hati gadis itu, dengan tidak sopan Albe mengambil ciuman pertamanya. Gadis itu berencana juga akan menghukum lelaki yang sejatinya telat mencuri hati gadis muda itu. Di ruangan lain Albe berbicara dengan Ari, dia tau lelaki itu petugas kebersihan di Cafenya. "Apa yang sudah kamu lihat tadi?" Albe bertanya dengan suara dalam dan berat, membuat Ari gugup. "Maaf Pak saya tidak melihat apa-apa." Ari menundukkan wajahnya, dia ketakutan. "Bagus, jangan pernah mengatakan apapun kepada siapapun. Dan jangan mengatakan siapa saya kepada Naima, mengerti?" Albe memperingatkan dengan tegas. Ari memang tahu Albe adalah pemilik Cafe, tapi karena jarang berinteraksi dengan pegawai
“Nai, Kamu dipanggil sama pelanggan meja 4.” Salah satu rekan kerjanya memberi tahu Naima. Chef Adi menaikkan alisnya tanda ingin tahu, Naima hanya mengangkkat kedua tangannya tanda belum tahu kenapa. “Ok, sebentar.” Naima mengangkat Croffle dari panggangan dan menaruhnya di piring saji. “Biar aku yang plating.” Reno menawarkan bantuan, Naima tersenyum berterima kasih. Melepaskan sarung tangannya dan mencuci tangan, Naima keluar menuju meja nomor 4. Pelanggan yang memanggilnya, menatap Naima dengan pandangan mengintimidasi. Duduk dengan posisi tegap, kedua tangan dilipat di depan dada dan pandangan tajam tanpa senyum. Naima tidak takut, dengan santai Naima mendekat. “Apakah bapak memanggil saya?” Naima bertanya setelah berdiri di samping meja pria tersebut. “Kamu yang membuat Croffle ini?” Pria yang akhir-akhir mengganggu kewarasan Naima, bertanya dengan sorot mata tajam. “Benar Pak, apakah ada yang kurang dari pesanan Bapak?” Naima balas menatap mata Albe dengan tak kalah tajam,
“Setan!” Jawab Naima singkat, membuat Albe tertawa. Naima menatap ke jalan, entahlah Albe membawanya kemana. Lampu merah dengan detik yang lumayan panjang tertera di display. “Setan melawan setan menang siapa?” Albe mendekatkan wajahnya, reflek Naima mendorong wajah Albe menjauh. Buaya mesum ini membuat Naima harus waspada. “Yang mau diganggu sama setannya dong!” Albe mengernyit. “Maksud kamu?” Albe menopang rahangnya dengan tangan memperhatikan Naima. “Setannya malah berantem sendiri. Orangnya jadi menang, gak ada yang gangguin lagi ...” jawabnya enteng, tersenyum penuh kemenangan. Naima menguap, ia menutup mulutnya merasa tidak elegan menguap di depan Albe, ia tak tahu pendapat orang asing. Matanya sayu dan memberat. “Baiklah sepertinya kamu mengantuk sekali, tidurlah nanti aku bangunkan saat sampai. Setan ini tidak akan menggagumu,”kerling Albe, mengusap kepala Naima dengan tangan kirinya. Naima hendak menganggkat tangan menepis, namun ternyata kalah dengan mimpi yang mulai m
“Ga usah pegang-pegang, Al, bukan mahrom.” Naima memperingatkan Albe. Mata gadis itu mendelik lucu, Albe hanya terkekeh. Semakin menatap gadis pujaannya dengan lekat. “Makasih Al, mienya enak.”Ucap Naima, lalu membawa piring yang sudah bersih ke wastafel dan mencuci. Albe menyandarkan pinggulnya di counter samping Naima. Memperhatikan gadis itu mencuci peralatan yang ia pakai tadi. “Itu bukan mie, Nai,”ralat Albe. Heran dengan pemilihan kata Naima, pandangannya tak bisa lepas dari gadis yang sejak pertemuan mereka sudah menelusup di palung terdalamnya tanpa permisi. “Sama aja lah, kalau di sini ya mie." Naima tidak mau kalah. Ia sengaja berkata asal, ia butuh tetap sadar, karena kegugupannya membuatnya merasa lemah di setiap sendi. “Itu spagheti, kamu bekerja di bidang kuliner harusnya tahu.”Albe membenarkan. “Aku sukanya bilang mie, gimana dong?”Sanggah Naima sengaja membuat Albe kesal. Mungkin dengan menunjukkan sisi menyebalkan, Albe akan berhenti modus kepadanya. Lelaki itu me
"Aku antar boleh? Apa kabarmu?” tawar Albe, iris hijau itu memancarkan kilat kerinduan, Naima mengusap lehernya gugup, setelah beberapa hari tidak bertemu pria tampan itu rasa rindunya kembali menyeruak dengan tak tau malu. “Baik Al, kamu apa kabar? Aku sudah memesan taksi.” Naima mencoba tetap ramah, ia melempar senyum gugup. Albe menyadari itu, gadis dengan blouse warna pastel itu terlihat manis, cocok dengan kulit Naima yang kuning langsat dan terlihat lembut. Sesuatu di bawah sana menegang, Albe menggeram dan memejamkan mata sejenak, menarik napas dalam dan menghembuskan secara pelan. “Baiklah, aku ingin menanyakan sesuatu. Hadiah yang aku titip kepada Jaka apakah kamu sudah menerima?”Albe sengaja mengatakan itu, reaksi Naima yang kembali terkejut membuat Albe terkekeh. Permaianan apa ini? “Hadiah dari Jaka atau dari kamu, Al?”tanya Naima kebingungan. Ia mencoba menghilangkan kegugupannya, tiba-tiba bulunya meremang. Ada apa ini? “Infinity, kamu tahu symbol itu?” ucap Albe menc
Albe terkekeh, tidak menyangka sahabatnya mencintai gadis yang juga dia cintai. Jika orang lain mungkin Albe akan menghajar orang itu saat ini. Namun dengan sahabatnya? “Aku yang pertama kali bertemu Naima Al, di Café ini. Namun setelah aku melihatmu di kost Naima, aku sadar pesaingku sahabatku sendiri. Dan semakin aku sadar, bagaimana Naima menatapmu, cara dia bicara padamu dan padaku berbeda. Kalau boleh jujur, aku ga rela ngelepas Naima buat kamu. Aku takut dia sakit hati dan menderita.” Lanjut Jaka. Albe mengepalkan tangannya, apa Jaka ada di balik sikap Naima kepadanya? “Apa kamu tahu yang aku berikan untuk Naima apa?” Tanya Albe, Jaka menggeleng. “Aku tidak mau tahu Al, Naima menerima itu sudah menunjukkan dia menyukai hadiahmu. Walaupun memang salah karena aku mengakui itu dari aku.” Jaka memijit pelipisnya yang terasa pening, di hari ulang tahunnya malah mendapat kado seperti ini. “Mari kita bersaing secara adil. Jika Naima memilihmu aku akan ikhlas, Namun jika Naima mencin
Bug .. bug … bug ... bugbugbug …bug ..bug Albe meninju samsak dengan penuh emosi, ingin meluapkan semua kekesalan dan keresahan di hati. Egonya tertampar, benar kata Jaka Naima pasti takut dia akan menyakitinya. Gadis itu pasti memikirkan berbagai cara untuk menjauh darinya. Namun bodohnya dia percaya begitu saja, jika Naima memang menyukai kekayaan pasti dia akan mendekat bukan semakin menjauh. Albe kembali memukul samsak dengan lebih brutal, besok dia akan menemui Naima apapun caranya. Keesokan harinya Naima yang sedang off memutuskan untuk berolahraga di stadion yang tak jauh dari tempatnya menurut map yang dia baca, dia tidak ingin seharian di kamar dan hanya mengingat Albe. Naima merasa bersalah mendapatkan hadiah dari Albe, tapi berterima kasih kepada Jaka, perasaan pria asing itu mungkin terluka dan itu membuatnya juga merasakan hal yang sama. Ia mengambil kotak pemberian Albe, mengambil kalung dengan bandul infinity itu dan memakainya, sangat cantik dan pas di leher jenjang