Mas Harris mengejarku ke westafel. Benarkah dia tahu kalau aku mengaduk buah-buahan itu dengan pir? Kali ini dia pasti akan membunuhku. Bulu kudukku meremang membayangkan kematianku di tangan pria tampan yang mirip suamiku itu.
-------
Rasanya nyaman sekali bisa membaringkan tubuh di atas kasur. Seharian tadi sama sekali tidak bisa istirahat karena menyiapkan acara malam ini. Mbak Tutik, karena suaminya bekerja jadi baru bisa datang setelah jam lima sore. Begitu juga Mbak Sofia, istri Mas Rasyid, dan Mbak Aulia istri Mas Ibnu. Anak Mama hampir semuanya pekerja kantoran kecuali Mas Harris.
Mas Harris memiliki banyak usaha. Menurut Mama, anak-anaknya yang paling telaten dan tekun memang cuma Mas Harris. Sehingga dia yang terlihat paling sukses. Berapa pun modal yang diberikan orang tua kepada Harris semua berwujud menjadi usaha. Berbeda dengan Arsen, yang selalu meminta modal usaha namun tidak pernah terlihat hasilnya. Sampai bosan yang memberikan modal.
“Tapi dia jadi bangkrut setelah ditipu temannya sendiri, Na,” kalimat Mama setahun lalu kembali terngiang.
“Harris tu gak tegaan, makanya suka dimanfaatin orang,” Ingatanku masih lanjut mengenang ucapan Mama.
“Apa kata Mama? Harris gak tegaan? Dia sejahat itu kepadaku!” aku mendecih kesal.
"Helena!" Belum puas aku membaringkan tubuhku, sebuah suara menggema, mengagetkanku.
"Iyaaa." Aku langsung berjingkat. Jangan sampai dia masuk ke kamarku untuk balas dendam.
"Keluar! apalah kamu nie, masih sore dah tiduran aja. Kayak ada suami saja. Beresinlah dulu itu meja." Suara Mas Harris masih menggema. Aku turun dari ranjang, membuka pintu kamar, dan keluar lagi. Kulihat Mas Harris sedang menatapku dengan penuh kepuasan mengerjaiku. Merah-merah di kulitnya sudah dibalurin dengan ramuan buatan Mama. Sedang sekarat pun masih sanggup teriak aja nih orang. Aku membatin.
"Biarin ih Harris. Capek dia. Dari pagi dah di dapur sama Mama" Mama membela. Nyes, rasanya aku bahagia memiliki ibu mertua yang menyayangiku. Sayangnya keberadaanku di sini karena tertipu oleh Arsen. Kalau tahu dia dah mirip benalu di keluarganya, mana mau aku nikah sama dia. Aku memang mencintainya, tetapi aku bukan type orang yang mudah dibutakan oleh cinta. Terus ini apa dong? Aku terjebak.
"Iya itu si Harris bawel banget." Mbak Tutik menimpali.
"Cepatlah kawin lagi kau tu Harris, biar tidak reseh." Mas Ibnu ikut menyumbang suara. Semua tertawa. Tubuhku terasa melambung, karena bahagia peroleh banyak pembelaan.
"Kawin mah gampang. Cari wanita yang betul-betul itu sulit." Sahut Harris. "Yang juga royal sama Mama." Aku mendengus. Memohon pada Tuhan dalam hati, semoga mulut lamis itu terkunci dari menyinyiriku kali ini. Aku mengambil lap, membasahinya dan berniat mengelap meja.
"Kalo beliin sesuatu buat Mama gak pilih yang murahan" Lanjut Mas Harris. Seketika tanganku berhenti bergerak. Tuh kan? Dia pasti nyinyir dan menyindir durian yang kubeli? Ingin rasanya aku menyumpal mulut nyinyirnya itu dengan serbet basah ini. Sepertinya aku harus membuat dia mengalami balasan yang lebih dari malam ini. Kambuhnya alergi saja tidak dapat membuatnya tobat. Kulanjutkan gerakan tanganku mengelap meja dengan cepat, sambil memikirkan apa yang bisa kulakukan, untuk memberi pelajaran kepada seorang Harris.
"Helena, aku minta maaf ya untuk kejadian tadi." Tiba-tiba Mbak Tutik mendekatiku.
"Apa Mbak? Tanyaku.
"Lipstikmu." Sahut Mbak Tutik. Dia merasa bersalah karena lipstikku dihancurin oleh Wildan.
"Oh tidak masalah." Sahutku tulus. Sayangnya ketulusanku itu langsung ternoda oleh mulut lamis Mas Harris yang tiba-tiba kembali nyeletuk.
"Kenapa kamu Tutik, lipstik murahan gitu, kamu beli 10 juga dapet buat menggantinya."
"Tau apa kamu soal lipstik, bawel!" Mbak Tutik meraih lap di meja, dan dilemparkannya ke muka Harris. Seperti sebelumnya, pria itu berusaha menghindar.
"Sudah ayo siap-siap yang mau pulang." Mama mengingatkan. "Yang mau menginap ya menginap. Itu kamar cukup buat kalian semua." Seketika yang masih tiduran pada bangun, mencari barangnya masing-masing dan bersiap untuk pergi. Mas Rasyid beserta keluarganya, begitu juga Mas Ibnu dan Mbak Tutik. Jam menunjukkan angka 23:30 menit.
"Pulang semua?" Tanyaku. Biasanya Mbak Tutik suka menginap.
"Iya, Na. Besok masih ada acara keluar." Sahut Mbak Tutik.
"Ya udah hati-hati, Mbak." Balasku.
Kami mengantar keluar. Sampai mereka masuk ke mobil masing-masing dan meninggalkan halaman rumah. Mas Harris berinisiatif menutup gerbang. Mama masuk rumah lagi, aku berniat mengikutinya ketika tiba-tiba suara Mas Harris kembali mengusik.
"Woi, Helena!" Aku berhenti, kembali memutar tubuh menghadapnya.
"Apa?"
"Kamu tidak lihat? Aku sedang kepayahan begini, kamu tidak ada inisiatif membantu gitu?"
"Lah, ngapain pulak aku membantu? Itu tugas Mas Harris nutup gerbang!" Sahutku seraya memutar tubuh kembali.
"Bantuin, Na. Masmu lagi sakit itu." Rupanya Mama masih mendengar suara kami.
“Gak papalah, Ma. Kuat dia tu.” Aku coba menawar.
“Hush, jangan gitu. Sana bantuin dulu, gerbangnya agak rusak, berat.” Mama masih mengharap.
"Baik, Ma." Sahutku akhirnya. Terpaksa berputar lagi untuk membantu Mas Harris. Dasar manja! Cuma gitu doank minta bantuan! Gerutuku. Kaki melangkah mendekati tempat Harris berada. Namun, sebelum aku sampai di gerbang, kulihat Mas Haris bertindak mencurigakan. Kepalanya mengarah ke rumah, matanya memperhatikan kamar Mama. Dia pasti sedang memastikan apakah Mama sudah masuk kamarnya atau belum. Aku canggung, dadaku berdebar, teringat kejadian di westafel tadi. Apa yang akan dia lakukan padaku kali ini?
Maju mundur, maju mundur. Aku terus menimbang. Serba salah. Kalau aku maju, artinya aku siap dengan segala kemungkinan yang akan dilakukan Mas Harris kepadaku. Kalau aku mundur, aku tidak enak sama Mama. Karena Mama yang menyuruhku membantu Mas Harris menutup gerbang. Aku memang selalu tidak sanggup menolak permintaan Mama, karena Mama sangat baik kepadaku.Jalanan depan rumah sudah mulai senyap. Motor maupun pedagang keliling sepertinya sudah pada istirahat. Dalam hati aku menyesali diri. Tahu mau ada acara kumpul-kumpul di rumah, kenapa tidak sejak pagi atau siang menyiram minyak ke roda pintu gerbang, yang beberapa hari ini seperti macet. Sangat seret saat didorong.Sekitar jarak tiga meter dari keberadaan Mas Harris, aku berhenti. Kulihat cahaya dari kamar Mama berubah redup, itu artinya Mama sudah mapan di atas pembaringannya, memberi peluang kepada Harris untuk bebuat semaunya tanpa ada gangguan. Tubuhku merinding, Mas Harris menatapku, seraya tersenyum miring seperti mengejek.
"Kamu hamil." Ulang Mas Harris. "Aku antar periksa ke dokter, tapi ganti pakianmu, jangan menjatuhkanku dengan pakaian murahanmu itu!" ------- Harusnya aku sakit hati dengan ucapan Mas Harris barusan. Tetapi aku masih dilenakan oleh berita kehamilanku. Apakah itu benar? Atau ini hanya jebakan agar aku masuk dalam perangkapnya, untuk dia membalas dendam padaku? Bercak merah di tubuhnya sudah hilang, mungkin dia sudah konsumsi obat pereda alergi dari dokter. Seharusnya dia sudah melupakan soal pir semalam, toh dia juga sudah sembuh. Sebelum Mas Harris keluar dari kamarnya, aku segera mengambil langkah seribu. Aku tidak mau kelemahanku saat ini dia jadikan kekuatan untuk membalasku. Ah, aku bingung sendiri, kenapa aku bisa terlibat perang lahir batin dengannya seperti ini? Aku memilih pintu belakang untuk melarikan diri, agar tidak ada suara gemerincing kunci. Pintu belakang hanya pakai slot, dan itu sangat mudah dibuka tanpa suara. Lalu melipir lewat samping kost-kostan yang khusus pe
Hatiku mempertanyakan, "Terbuat dari apa hati Mas Harris? Terkadang baik terkadang sadis.--------Kami sampai di rumah jam dua siang. Begitu mobil masuk ke halaman, aku langsung turun dan berjalan menuju teras depan. Kepalaku kembali sakit, padahal tadi sempat reda setelah meminum obat pemberian dokter. Mama sudah ada di rumah. Dia langsung menyambut kami dengan senyumnya yang lebar, memeluk dan memberiku ucapan selamat."Akhirnya kamu akan menjadi Ibu, Helena." Mama terlihat sangat bahagia. "Masuklah, Arsen sudah datang."Deg."Kapan dia datang, Ma?" Tanyaku hambar. Entah mengapa aku seperti tidak berharap dia datang. Entahlah. Rasanya aku tidak ingin melihat dia."Entah. Mama tanya juga tidak dijawab." Sahut Mama. Dasar anak durhaka, batinku mengumpat. Bisa-bisanya ditanya mamanya tidak dijawab!"Baik-baiklah kepadanya, sepertinya dia sedang marah." Bisik Mama pelan. Aku mendesah, seraya langsung melepas sepatuku, kemudian bergegas ke kamar. Kulihat Mas Arsen sedang berbaring tidak
Rasanya luruh sudah semua tulang di tubuhku. Dokter Intan sudah memastikan bahwa pendarahan yang kualami tadi siang sudah membawa serta calon bayi yang baru sehari kusadari ada dalam rahimku. Aku keguguran, setelah sempat merasakan bahagia atas kehadirannya di perutku, meskipun sangat sebentar. Bahkan ketika ayahnya juga belum menyentuhnya.. Ah, jika saja aku menyadarinya sejak awal, mungkin aku akan lebih bisa menjaganya, pikirku. "Selanjutnya apa yang akan kamu lakukan?" Tanya Amell. Kami sedang di kamar berdua di rumahnya. Aku menggeleng. "Aku belum bisa berpikir sekarang." Sahutku."Ya sudah kamu istirahat saja kalau begitu. Besok kamu pikirkan lagi apa yang akan kamu lakukan." Ucap Amell tulus. Aku mengangguk. "Kamu tidak kembali ke kamarmu?" Tanyaku heran, karena melihat Amell menarik selimut dan bergelung di bawah selimutku."Tidak." Sahutnya."Kenapa?""Kamu sedang tidak waras. Gimana aku bisa tidur di kamarku kalau aku kepikiran kamu di sini." Sahutnya."Tenang saja. Aku t
Di rumah masih ada tiga nyawa lagi, tetapi rasanya begitu lengang. Hampa dirasakan oleh ketiga manusia yang tersisa itu. Padahal yang pergi hanya satu.Abiyah hanya bisa diam terpaku, sambil sesekali menyeka air matanya dengan tisu. Wanita yang dipanggil Mama itu masih berharap Helena akan kembali sekali lagi ke rumah itu. Dulu mereka punya ART, tetapi tidak ada yang bertahan lama. Paling lama satu tahun. Terlalu banyak drama. Kemudian, Helena hadir. Atas kesepakatan berdua, mereka tidak lagi mengambil pembantu. Abiyah mengerjakan semua pekerjaan rumah bersama Helena. Abiyah lebih sering tidak melakukan apa pun karena Helena begitu cekatan menyelesaikan semua pekerjaan rumah, selain memasak. Kalau memasak Helena kurang bisa, sehingga harus dilakukan berdua. Abiyah menghela napas berat."Mama sudah tua, Sen. Mama ingin melihat anak-anak Mama bahagia. Tapi kamu masih begini saja." Ucapnya pelan. Arsen diam. "Rumah besar ini ceria dan ramai sejak ada Helena. Sekarang bakal sepi lagi.""I
Sudah dua bulan sejak kejadian itu. Selama itu pula aku tinggal di rumah Amell. Aku sudah mengganti nomor kontakku. Atas saran Amell aku juga mengaktifkan kembali akun sosial mediaku. Selama ini Arsen sangat membatasi ruang gerakku. Dia tidak mengijinkanku mengenal dunia luar dengan bersosial media. Aku hanya diperbolehkan membuka situs berita online atau youtube asal tidak boros. Selain kedua itu tidak boleh. Terutama i*******m, twitter dan f******k. Takut tergoda pria lain, katanya. "Bersosial media rawan perselingkuhan." Begitu alasan Arsen. Dasar busuk! Toh nyatanya justru dia yang selingkuh! Menurutnya, sosial media juga yang menyebabkan hancurnya rumah tangganya dengan Sekar. Dari sanalah awal mula Sekar berkenalan dengan teman-temannya yang suka hura-hura dan tidak bisa diatur. Sekar ketularan. Namun hal itu dibantah oleh Mama. Sekar memang sudah ada bakat bebas sejak belum menikah dengan Arsen. Saat itu, meskipun keberatan, aku mengalah. Dengan syarat, dia juga menutup semua
PART 11. Helena, Di Mana Kamu?(POV Harris) PencarianHelena di mana kamu?Sudah dua bulan lebih dia menghilang tanpa jejak. Aku khawatir dia kenapa-napa. Nomor kontaknya sudah tidak aktif sehingga sulit sekali untuk melacak keberadaannya. Sekali aku pergi ke rumah orang tuanya di Bekasi, berpura-pura ada urusan di Bekasi sekalian mampir, hanya untuk mengetahui kabar Helena. Namun mereka justru menanyakan mengapa saya tidak ajak serta Helena dan Arsen.Aku merasa hidupku begitu hampa setelah dia hengkang dari rumah Mama dalam kondisi marah. Apalagi aku turut andil membuatnya terluka. Hatiku ikut sakit menyaksikannya terluka ketika itu. Wajah yang selalu tersenyum ceria kemudian berubah menjadi sendu dan berurai air mata itu, selalu menghantui hari dan malamku. Aku ingin bergerak dan merengkuhnya. Namun aku tidak memiliki daya untuk melakukan itu semua.Helena di mana kamu?Seminggu yang lalu, Mama memanggil semua anak-anaknya, untuk menyaksikan penandatanganan serah terima pembayaran
Dimas merasa bingung, kenapa tiba-tiba Harris ingin pergi ke Jakarta Pusat. Padahal agenda dia hari ini adalah pergi ke Bogor untuk urusan bisnis. Biasanya Harris tidak pernah meleset dari jadwal yang sudah dibuat. Dia type orang yang selalu tepat waktu. Dia bisa datang lebih awal ketika ada janji, tetapi, juga akan segera meninggalkan lokasi jika lawannya terlambat beberapa menit saja. Namun hari ini? Ada apa dengan Harris? Dia melakukan sesuatu yang berlawanan dengan prinsipnya.Dimas hanya bisa mengikuti saja apa yang diinginkan boss sekaligus temannya itu. Dimas yang pendiam dan penurut selalu mematuhi apapun yang diperintahkan Harris kepadanya tanpa banyak tanya, meskipun dia penasaran. Mungkin sebab itulah dulunya dia menjadi sasaran empuk anak-anak badung di sekolahan mereka. Untung ada Harris yang sejak kecil sudah diberi pelatihan bela diri oleh ayahnya, sehingga dia bisa langsung bertindak ketika melihat teman sekelasnya dianiaya oleh teman lainnya.Harris menyandarkan kepal