Share

POLIGAMI AKU, MAS!
POLIGAMI AKU, MAS!
Penulis: Sabil775

AKU LETIH, MAS!

"Ayok, sekali lagi saja," ujar Mas Andre  memaksaku untuk melanjutkan permainannya. 

"Tapi aku sudah lelah, Mas. Tolong! pahamin aku. Lagi pula ... sudah enam kali kita melakukannya, apa itu juga tidak cukup dengan membuatmu puas?" jawabku meminta Mas Andre untuk mengerti. 

"Tapi aku masih ingin melakukannya sekali lagi." 

"Maaf, Mas. Bukan aku ingin menjadi istri yang durhaka kepada suami dengan tidak menuruti kemauannya. Tapi aku benar-benar letih. Terlebih sekarang sudah jam empat subuh. Biarkan aku istirahat sejenak, karena besok pagi banyak tugas yang harus aku kerjakan. 

Maafkan aku, Mas," lirihku sembari berjalan ke kamar mandi membersihkan diri. 

Selesainya dari kamar mandi, aku kembali untuk istirahat. Namun Mas Andre masih duduk di atas kasur dan sama sekali tidak berpindah. Ia terus menerus memperhatikanku. Ada rasa tidak enak di dalam hati karena tidak menuruti keinginannya. 

Saat mata hendak terpejam karena lelah yang amat dalam, tiba-tiba Mas Andre berkata dengan perkataan yang cukup menghardik. "Dasar! Istri gak bisa memuaskan nafsu suami, kalau dulu aku tahu kamu begini tak akan aku menikahimu." 

Perkataan itu begitu menyakitkan, namun sudah terbiasa didengar oleh telinga. 

Terkadang ... aku lelah dengan sikapnya, seperti anak kecil yang tak bisa dipahami. Terlalu labil, semaunya dia berbuat apa. Jika tak dituruti, maka celaan demi celaan yang akan terlontarkan. 

Sudah lelah, terlalu lelah bahkan menghadapi hari-hari seperti ini. Entah mau bagaimana lagi rumah tangga ini harus dipertahankan. Hanya demi Zain, lagi-lagi Zain menjadi alasan untuk aku bertahan pada suami seperti dia. 

***

"Zain sarapan dulu ... biar gak lemas saat upacara nanti," seru ku ketika melihat Zain yang sudah sibuk bergegas pergi ke sekolah. 

"Ia, Mi. Zain pakai kaus kaki aja kok, belum juga mau pergi," ujarnya seraya menarik salah satu kursi setelah selesai dari memakai kaus kaki. 

"Kamu mau susu atau teh saja, Mas," tanyaku pada Mas Andre. 

"Aku makan di kantor saja, lagi gak selera makan di rumah," jawabnya ketus. 

Aku hanya bisa menghela nafas, menelan ludah sembari menggigir ujung bibir, mencoba menahan dari amarah yang bergejolak. 

Mas Andre pergi tanpa berpamitan, bahkan pada anakku sekali ia   melakukannya. 

"Mami berantem lagi sama Papi," tanya Zain seolah sudah tahu apa yang telah terjadi. 

"Tidak kok, Zain. Papi mungkin lagi terburu-buru. Jadi tidak sempat untuk sarapan di rumah, biasanya juga Papi kan sarapan bareng kita." 

"Mami selalu gitu, suka nutupi kesalahan Papi dari Zain. Seolah semuanya baik-baik saja. Padahal lebih buruk dari semuanya." 

Aku tak tahu harus menjawab apa. Karena bagiku ... menutupi kesalahan suami, adalah kewajiban istri. Terlebih pada anak-anak. Aku hanya tak ingin, Zain membenci Papinya karena masalah sepele yang sebenarnya bisa di atasi. 

Di umur Zain yang sudah 15 tahun, membuatnya mungkin memahami apa yang Maminya rasakan. Tapi ... apa salah jika aku tak memberitahu semua masalah itu. 

"Mami bukannya nutupi kesalahan Papi, tapi Zain sendiri kan tahu Papi bagaimana," ujarku membantah perkataannya tadi. 

"Ia lah, Mi. Zain paham ... mami hanya tak ingin kalau Zain membenci Papi. Makanya setiap Zain tanya, Mami selalu mencari alasan. Inilah, itulah. Huf ..." 

"Sudah-sudah ... cepat dimakan nasinya, entar kamu terlambat upacara pula. Kasihan juga tuh Pak Arbi nungguin kamu." 

"Ia, Mi." 

Zain melahap makanannya, setelah selesai makan, ia menggandeng ranselnya. Lalu berjalan ke arah kursiku, mengucup kedua pipi seraya berkata. "Mi, doakan Zain ya. Agar Zain bisa jadi anak yang sukses. Kelak ... Zain nantinya akan membawa Mami pergi dari rumah ini. Agar kita bisa hidup bahagia tanpa adanya Papi." 

"Makasih ya, Sayang." 

Aku kembali mengecup pipi putraku itu. Menahan tangis dari ucapannya yang selalu ia katakan setiap pagi. 

"Hati-hati di jalan. Jangan lupa bekalnya di habiskan," seruku saat mobil Pak Arbi melaju ke sekolahnya Zain. 

Zain melambaikan tangannya, kemudian mobil membawanya pergi dari hadapanku. 

Seperti biasa ... selepas Zain berangkat sekolah, aku kini mulai sibuk dengan pekerjaan rumah. Terlebih ... di rumah ini tidak ada asisten rumah tangga. Jadi semuanya harus di lakukan dengan sendiri. Sebenarnya aku ingin, mencari asisten untuk bisa membantuku membersihkan rumah yang cukup luas ini. Tapi Mas Andre selalu melarangnya dengan alasan tak bisa menggaji. 

Jika di pikir-pikir sebenarnya bisa saja menggaji satu asisten di rumah ini. Uang gajinya Mas Andre juga berlebih kok. 

Tapi mau bagaimana lagi, aku hanya seorang istri yang harus patuh pada perintah suami. Jika membangkang, nantinya akan di katakan sebagai istri durhaka lagi. 

Tiba-tiba ponselku berdering, panggilan masuk dari Khadijah, seorang sahabat yang senantiasa bersama di kala suka maupun duka. 

"Gimana kabar kamu sekarang," tanya Khadijah dari seberang sana. 

"Alhamdulillah aku baik, kamu sendiri gimana," ucapku kembali bertanya. 

"Ya, gitulah ... lagi kurang sehat." 

"Kamu sakit?" tanyaku sedikit khawatir. 

"Ya, aku sedang sakit. Sakit kantong tapi," jawabnya sembari tertawa terbahak-bahak. 

"Hahaha, ada-ada saja kamu. Masih tanggal berapa ini beb, masih juga pertengahan bulan. Sudah sakit kantong saja. Lagi pula biaya kebutuhan kamu bukannya sedikit? anak gak ada, suami gak ada. Lalu apa uang itu kamu gunakan untuk apa? Pasti belanja terus, heum ... gak guna heranlah sama khad. Dari dulu kan emang kamu begitu " 

"Ya, mau bagaimana lagi Ran, namanya juga jomblo." 

"Makanya ... nikah dong." 

"Ah, malas. Aku tak ingin menikah, laki-laki zaman sekarang tahunya hanya menyiksa. Jika tak selingkuh pastinya akan berpoligami." 

"Hahaha, tak semuanya begitu, Khad. Kamu saja yang belum menemukan laki-laki yang tepat." 

"Sudah lah, jan di bahas. Semuanya sama, oh ya, aku mau ajak kamu ketemuan nih. Di tempat biasa, soalnya ada hal yang perlu aku katakan. Kalau ngomong dari telpon rasanya gak enak. Jadi ketemuan aja, ya." 

"Eum ... boleh aja sih. Kapan?" 

"Gimana kalau sekarang, aku lagi di coffe tempat biasa nih." 

"Oh, ya udah tunggu aku ya. Biar aku siap-siap dulu." 

"don't take long."

Panggilan diakhiri, aku bergegas mengganti pakaian, lalu mengambil tas dan kemudian pergi menuju lokasi.

"Pak, nanti jangan lupa jemput, Zain, ya. Kalau nanti dia pulang … terus nanyain saya dimana. Bilang, kalau saya pergi sebentar mau ketemu sama teman," ujarku sebelum pergi.

"Oh, Baik Bu. Nanti Saya sampaikan."

"Eum, satu lagi, Pak. Ini ada uang … tolong nanti di jalan beli makan siang buat Zain ya Pak. Sekalian Bapak juga." Aku menyodorkan uang lima puluh ribu. Untuk jaga-jaga jika nanti aku terlalu lama pulang.

"Baik, Bu." Pak Arbi mengambil uang.

Aku menghidupkan mesin motor dan terus berjalan menyusuri jalanan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status