“Apa yang kamu lakukan di meja ketua tim kami, Ibad?”
Yudi bertanya setelah memergoki Ibad berdiri di balik meja ketua timnya dengan tampang mencurigakan seperti telah ketahuan berbuat dosa besar. Bersama Wira dan Sakil, ia baru saja mengawal Fatih dan ibunya ke ruang tahanan. Sakil harus menjilat dan menampakkan diri sebagai bawahan yang pantas mendapat kenaikan pangkat sehingga mesti menemani AKBP Neco yang tengah dirawat di klinik Kantor Polisi Ryha. Sedangkan Yudi dan Wira akan lanjut menyidiki kasus Fatih di ruangan mereka. Betapa terkejutnya mereka saat melihat ada pendatang yang tidak lazim dari kaca yang terpasang vertikal di pintu ketika berjalan mendekati ruangan melalui koridor di samping ruangan Tim I. Yudi dan Wira pun sepakat memelankan langkah untuk mengagetkan tamu tidak umum itu. Ibad sendiri terlalu terkesiap untuk menjawab pertanyaan Yudi. Otaknya tiba-tiba mampet, tidak bisa memikirkan jawaban yang tidak semakin menebalkan kecurigaan. Memasuki ruangan TKala memandang bangunan rumah makan di depannya. Belum cukup seminggu yang lalu ia ke sini bersama Fatih dalam rangka menguntit Profesor Gani. Hari ini ia kembali, tapi bukan untuk menjalankan misi mata-mata. Kala datang untuk bertemu dengan seseorang yang meneleponnya tiga puluh menit sebelumnya, ketika ia dan Kila baru tiba di rumah setelah membuntuti rumah sekaligus Neta dan ibunya.Ia seakan merasa telinganya mengkhianatinya saat mendengar si penelepon mengaku sebagai Neta, terlebih saat si penelepon mengatakan bahwa ia telah mengetahui kalau Kala dan polisi wanita yang datang ke kampus tempo hari untuk menjemput Fatih telah mengawasi rumah dan dirinya.Kala hanya bisa diam mendengar penuturan si penelepon. Kemampuan anehnya tak mengizinkannya mengarang alasan yang tidak jujur untuk menjelaskan perilakunya. Lagipula, si penelepon kedengarannya tidak terlalu marah diawasi olehnya dan Kila, bahkan kedengaran seperti lega? Entahlah, Kala tidak sempat memikirkannya karen
“Apa Neta ada di rumah, Mang Karta?”Profesor Gani bertanya begitu turun dari mobilnya yang telah terparkir damai di halaman rumahnya yang agak luas kepada Mang Karta yang baru selesai menutup pintu pagar kayu yang tadi dibukakakannya untuk Profesor Gani. Mendengar pertanyaan tuan rumah, Mang Karta berjalan tergopoh-gopoh dan tiba di depan Profesor Gani sambil membungkuk-bungkuk.“Tidak, Tuan. Non Neta tadi keluar rumah.”Profesor Gani sudah menduga hal itu. Tak melihat mobil navy yang sering digunakan Neta di halaman rumahnya membuatnya penasaran. Jika tidak di rumah, ia harus tahu ke mana Neta pergi agar bisa mengawasi Neta kalau-kalau ia memproduksi masalah lagi. Tiga bulan lagi pemilihan rektor dan ia termasuk bakal calon yang terpilih. Profesor Gani hanya harus menjaga Neta agar tetap tenang selama tiga bulan agar kursi rektor menjadi miliknya. Setelah itu, ia akan memikirkan apa yang bakal dilakukannya pada putrinya yang gemar membuat pusing orang tua itu.
Fatih dan ibunya terkejut dan hanya bisa saling berpandangan ketika dua orang yang tiba-tiba memasuki ruang tahanan tempat mereka bersemayam berceceran untuk mencari tempat persembunyian. Si wanita yang berpakaian seperti dokter itu lebih mudah menemukan tempat persembunyian berupa pojokan yang dibentuk oleh lemari dan dinding setelah sebelumnya menyingkirkan kursi yang tadinya tergeletak di situ. Ia kemudian berjongkok dan menutupi tubuhnya yang ramping dari pandangan dengan kursi yang barusan dipindahkannya. Sekarang wanita itu takkan terlihat kecuali dicari dengan sepenuh hati.Sedangkan si pria, yang dikenali Fatih sebagai Ibad, agak kesulitan mendapat tempat yang ideal untuk bersembunyi karena postur badannya yang hampir menyamai Fatih, tinggi dan kekar. Begitu memasuki ruang tahanan, Ibad langsung merebut tempat di salah satu kolong meja berongga, berusaha menyamankan dirinya. Tak berhasil, ia lalu keluar dari kolong meja dan menatap berkeliling, mencari tempat sembunyi
“Sidik jari lo ada di gantungan kunci gue? Kok bisa?” Neta bertanya dengan jidat mengernyit. Ia pertama kali melihat Kala ketika polisi wanita di depannya bersama rekannya mendatangi kampus untuk menjemput Fatih dan saat itu gantungan kunci itu sudah lenyap. Lagipula, tidak ada orang lain yang pernah menyentuh benda miliknya itu. Sebenarnya ada satu orang sih, yaitu manusia aneh yang joging tengah malam dan menemukan gantungan kuncinya di jalan. Mata Neta tiba-tiba membesar ketika menyadari satu hal. Jika sidik jari Kala juga ada di gantungan kunci bersama miliknya, berarti yang berpapasan dengannya dan menemukan Lavi yang tengah sekarat itu juga Kala? “Simpel aja. Gue pungut gantungan kunci lo yang jatuh di jalan dan gue kembaliin ke lo. Sidik jari gue jadi ada juga, kan?” Neta tidak berhasil menyembunyikan raut terkejutnya. Kila yang sejak tadi mengamatinya pun tahu jika Neta shock mengetahui bahwa Kala-lah yang ia temui begitu minggat dari TKP setelah me
Begitu langkah kaki Wira dan Yudi yang berlari sudah tidak kedengaran dan ibu Fatih sudah puas, atau sadar bahwa teriakannya tidak akan didengar oleh orang yang ditujunya, atau capek, berteriak memaki-maki kedua polisi yang menyebalkan itu, Ibad pun memunculkan dirinya dari balik pintu dan Pita berdiri dari tempat persembunyiannya yang aman. Masih sambil sekali-sekali menoleh ke pintu, mereka mendekati sel tahanan tempat Fatih bersemayam. “Thanks, Fatih, udah nolong gue dan temen gue.” Ibad menyalami Fatih yang menyambutnya dengan senyum di balik jeruji. Ibu Fatih sendiri menyaksikan dengan saksama, siap mengeluarkan teriakan membahana lagi jika ternyata dua polisi di depannya ini menghina putranya juga. “Jadi, lo yang namanya Fatih? Manis juga. Nggak rugi gue nerima permintaan Kila untuk jadi mata-mata karena ternyata yang mau diselamatkan adalah manusia semanis ini.” Pita tersenyum-senyum tidak jelas sambil berusaha menjawil lengan Fatih yang cepat-cepat
Neta bergeming. Ia memikirkan perkataan Kila. Sebenarnya, sejak melihat ibunya menangisi anak orang lain yang dibunuhnya, mengunjungi makam Lavi dan bertemu orang tua Lavi di sana, hingga berkesempatan melihat-lihat kamar Lavi, dorongan untuk mengaku tidak berhenti menggedor-gedor kepalanya. Yang menahan Neta untuk pergi ke kantor polisi dan membuat pengakuan hanyalah rasa tidak tega untuk meninggalkan ibunya sendirian di rumah. Ia tidak tega membayangkan bagaimana perasaan ibunya jika mengetahui putri satu-satunya adalah pembunuh. Neta merasa tidak akan sanggup menerima tatapan kecewa dari ibunya. Sedangkan soal ayahnya, bisa dibilang Neta justru semakin berkobar untuk mengaku kalau mengingat ayahnya yang ambisius itu. Ia telah teramat sakit hati dengan perlakuan ayahnya sampai merasa tidak masalah jika reputasi yang sudah setengah hidup dirajut ayahnya bakal berceceran karena ulahnya. Neta dengan senang hati akan menganggapnya sebagai pembalasan dendam.“Gue pengen ke toile
“Barusan nelpon sama siapa?”Profesor Gani bertanya dengan suara mengerikan yang belum pernah didengar oleh istrinya, wanita memukau itu. Begitu selesai menelpon preman-preman yang bekerja untuknya dan keluar dari kamar dengan maksud untuk menyusul mereka di rumah makan, Profesor Gani berhenti melangkah ketika melewati ruang keluarga dan tidak sengaja mendengar istrinya menyebut-nyebut nama Neta dan sesuatu seperti melarangnya melakukan apapun.Kemurkaan kemudian mulai membungkus kulitnya ketika Profesor Gani berpikir bahwa istrinya telah menguping pembicaraannya di telepon barusan dan memperingatkan Neta tentang preman-preman yang mengikutinya. Jika Neta belum ngomong apapun, hal itu tidak masalah, justru akan menjadi pertimbangan bagi Neta agar tidak berani berbuat macam-macam. Namun, kalau Neta sudah membeberkan yang sebenarnya tentang kasus Lavi, terutama pada Kala, situasi mulai akan sulit dikendalikan. Profesor Gani masih ingat bagaimana Kala berupaya keras a
Tita memelototi papan nama rumah bercat coklat yang terpasang di samping pagar kayu di depannya kemudian melihat lagi kertas di tangannya. Ia tengah mencocokkan alamat yang diberikan Kala. Setelah memerhatikan dengan saksama, Tita pun yakin rumah inilah yang dimaksud Kala. Deskripsinya pun cocok: rumah berlantai dua bercat putih dengan rooftop di salah satu sisinya dan berpagar kayu dengan halaman samping yang luas dan dipenuhi tanaman.Setelah mengelilingi rumah dari luar pagar demi memastikan bahwa itu adalah rumah yang tepat, Tita pun memberanikan diri memencet bel pintu yang tergeletak di atas papan nama rumah dan menunggu sambil mengintip-ngintip melalui celah pagar kayu.Tita memutuskan untuk mendatangi Neta di rumahnya usai bertemu dengan Ana tadi. Selain karena ingin melihat langsung orang yang dicurigai oleh teman-teman barunya sebagai pembunuh Lavi, Tita juga penasaran dengan Neta yang kabarnya depresi. Ia pun meminta alamat rumah Neta dari Kala dan mengunjungi