Edmon duduk di kursi ruang tamu apartemen sederhana miliknya. Ia memangku kotak warna cokelat, perlahan membukanya. Tampak banyak benda-benda yang lama ia simpan. Termasuk foto mendingan istri dan gadis kecil bermata yang sama dengan Lily. “Apa, kau Dasha, putriku yang hilang di culik mereka. Para penjahat itu?” jemari Edmon bergetar. Pria dengan wajah dominan Rusia itu mendadak pucat. Ia mengambil foto istrinya – Orlena – yang meninggal karena tertembak tepat di dadanya.
Kepala Edmon tertunduk, ia beranjak cepat, mengambil mantel seraya memakainya dengan cepat, menyambar kunci mobil lalu bergegas meninggalkan apartemen itu menuju ke kantornya. Kantor polisi.
Tak butuh waktu lama, ia sudah memarkirkan mobilnya, turun dengan cepat lalu berlari. Beberapa rekannya menatap bingung. “Opsir, apa yang terjadi?” tanya salah satu rekan.
“Carikan aku berkas putriku yang hilang, Dasha Lena Edmona. Cepat!” perintahnya. Rekannya mengangguk. Edmon berdebar tak karuan, jika
Kedua mata Andreas juga istrinya terkejut melihat siapa yang mengetuk pintu rumah kayu sederhana itu. Tak percaya hingga keduanya lemas. 3 orang berdiri di sana menatap mereka, tepatnya menemukan mereka. Gemetar, itu yang keduanya rasakan.Pras memanggil Andreas, ia hanya bisa bergeming, justru 3 orang itu yang masuk ke dalam rumah menuju ke sumber suara. Derap langkahnya menimbulkan suara hentakan sepatu yang bertemu lantai kayu. Mereka tiba di ambang pintu, menatap Pras yang tak kalah terkejut dengan apa yang ia lihat. Ia pun ikut gemetar, hingga tak bisa bersuara.***Lily memeluk Edmon saat mengantarkan ia ke sekolah, semenjak pindah ke apartemen ayahnya, ia selalu tampak bahagia, walau masih bekerja di minimarket karena Lily ingin ada kegiatan, Edmon pun mengalah. Dre melihat dari jarak jauh, ia bingung, siapa Opsir itu? Akhirnya setelah Edmon pergi, Dre berjalan mendekati Lily.“Hei,” sapa Lily saat melihat Dre yang langsung memeluknya.
Senyum tak pergi dari wajah cantik Lily, selepas pulang sekolah dan berjalan keluar area bangunan itu, Lily sudah melihat mobil partoli plisi yang biasa digunakan Edmon terparkir di halaman sekolah. Lily berlari kecil menghampiri sang ayah. Ia seperti anak kecil, dan Edmon juga merasa bahagia menyambut putrinya yang tumbuh menjadi gadis cantik dan anggun seperti mendiang istrinya.“Bagaimana sekolah mu, Ly?” tanya Edmon sembari meletakkan tas di jok belakang sementara Lily sudah duduk di dalam mobil, melongokkan kepala ke jendela yang ia buka.“Baik, dan manis. Ayah bagaimana?” tanyanya balik. Edmon menaruh satu tangan di atas mobil kemudian mencondongkan kepala ke arah Lily.“Manis? Apa ada yang perlu Ayah tau dari putri kecil Ayah, hem?” Edmon menatap Lily curiga. Putrinya mengulum senyum lalu menutup wajahnya karena malu. Edmon berjalan memutar lalu masuk dan duduk di balik kemudi.“Ayah, aku mau menceritakan s
Pras duduk di kursi kayu di depan perapian untuk menghangatkan tubuhnya, ia baru saja menikmati waffle dan madu, juga secangkir teh hangat bikinin istri Andreas. Ia mendengkus, semenjak kehadiran ketiga orang itu, ia tak henti memikirkan langkah untuk kembali meraih semua yang ia bangun di Zurich. Namun sepertinya, beberapa pihak seolah tak mau Pras melakukan itu, karena sejatinya, percuma ia kaya raya tapi tak bahagia.“Sisakan saham untuk Alexander kembangkan saja, Pak, saran saya,” ucap Andreas yang duduk di hadapannya pada kursi kayu juga. Pras menoleh, tersenyum getir mengingat bagaimana perjuangannya selama ini.“ Apa putraku akan sanggup hidup sederhana?” tanya Pras. Andreas terkekeh.“Sederhana bagaimana jika ia masih punya banyak warisan anda yang tak akan habis bahkan, jika Alex memiliki cucu. Menurut saya, sekarang saatnya Pak Pras menikmati hidup yang sesungguhnya, biarkan Alex yang meneruskan. Perusahaan di tanah air ju
Hawa dingin menusuk tubuh Pras walau sudah ia tutupi dengan mantel bulu yang tebal, kedua tangannya bahkan ia balut sarung tangan juga. Tatapannya memandang ke hamparan luas gunung yang tertutup salju tebal, walau matahari bersinar tampak cerah, kehangat masih tak ia rasakan. Ia merenungi fase hidupnya, tak semua orang merasa bahagia dengan banyaknya harta berlimpah, tetapi kebahagian yang ia inginkan hanya bersama keluarga dan orang-orang yang ia sayangi juga menyayanginya.Ia sendirian, duduk di kursi kayu halaman kecil rumah kayu itu yang atapnya juga sudah tertutup salju tebal, Andreas sedang naik tangga untuk membersihkan supaya yang merusak atap. Ia melirik ke Pras yang kondisinya jauh berbeda semenjak hal buruk menimpa perusahaan dan bisnisnya. Keruntuhan kerajaan yang ia bangun menghampiri.“Pak, jangan melamun,” tegus Andreas sambil berdiri di hadapan Pras dengan memegang sekop bergagang kayu, napas keduanya bahkan mengeluarkan asap dingin. Pras ha
“Kau tau, aku hampir gila menunggumu Laurent, kau tega,” bisik Pras saat keduanya sudah bergelung di satu selimut yang sama. Saling memberikan kehangatan yang sungguh Pras rindukan. Ia mengecup lama kening Laurent yang berada di dalam pelukan hangat suami tercintanya. Memainkan jemari lentiknya dengan cat kuku warna krem di atas dada Pras yang tertutup kaos tipis. “Masih belum yakin dengan kondisiku, Rent?” lirik Pras saat kedua matanya bertemu tatap dengan mata Laurent yang sayu. “Kau masih belum pulih, Sayang. Aku ingin kita begini, tanpa melakukan hal lain dulu.” Pelukan Laurent erat, tangannya melingkar di pinggang Pras. Tangan Pras mengusap bahu Laurent yang terbalut baju lengan panjang. Mereka menatap pemandangan gunung bersalju dari balik jendela. “Mereka tak tampak terkejut saat tau kau tiba di sini lagi?” tanya Pras pelan. “Aku sudah bilang pada Andreas, dan Fausto, jika aku akan kembali mulai hari ini. Semua yang kupersiapkan sudah selesai.
Suasana bandara di kota Roma, Italy itu begitu ramai. Hiruk pikuk orang-orang yang berlalu lalang membuat Alexander harus sedikit berjinjit mencari sosok yang ia tunggu sejak satu jam lalu. Sejak semalam ia tak bisa tidur, memikirkan bagaimana ia akan bertemu Lily setelah dua minggu tak bersua. Alex tak sendiri, Uncle el ikut beserta para pengawal yang menjaga tersebar di sekitar ruang penjemputan itu.Pemuda itu membawa satu buket bunga mawar sebagai hadiah selamat datang untuk Lily. Ingatlah, pria Italy terkenal romantis dan bisa membuat luluh para kaum hawa dengan sejuta pesonanya, bukan? Alexander pun sama. Fausto tak ikut menjemput, ia di rumah, mempersiapkan kamar untuk Lily, makanan rumahan ala keluarga Italy dan juga tentang Belinda. Iya, wanita itu juga menjadi sosok yang dirindukan Fausto.Pintu kaca otomatis itu terbuka bergeser, satu persatu penumpang pesawat dari Zurich berjalan keluar dengan mendorong tas koper bahkan ada yang menggunakan troli untuk meng
Alex tak lepas menggandeng jemari tangan Lily setibanya mereka di lokasi kedai yang banyak menjual Gelato, makanan ringan hingga restoran mahal di kawasan elit kota Roma. Lily tak lepas tertawa saat Alex melempar candaan atau sekedar mengomentari apa yang ada disekitar mereka. “Gelato saja, Lex, sore ini cerah, tak hujan seperti sebelumnya,” ucap Lily. “Tapi cuaca dingin, Ly, sekarang bulan November,” sanggah Alex. “Aku mau Gelato, Sayangku. Temani aku jika kau tidak mau.” Lily melirik Alex lalu mendorong pintu masuk kedai. Alex hanya mendengkus, ia mengikuti kekasihnya masuk ke kedai itu. Lily memesan Gelato rasa cheese cake dan pistachio. Alex mengeluarkan uang tunai, untuk membayar sedangkan Lily menerima cup besar berisi dua gelato pesanannya dengan sendok di atasnya. “Kita duduk di luar,” ajak Lily. Alex menuruti. Lily duduk, ia tersenyum melihat gelato di hadapannya. Alex beranjak, ia ingin memakan Tramezzino, roti berbentuk segitiga, salah satu
Edmon bersandar pada body mobil patroli polisi yang ia kendarai, kini ia memarkirkannya di depan gedung apartemen mewah. Ia menunggu seseorang yang pada jam tersebut, biasa pergi meninggalkan gedung apartemen itu. Dre. Edmon menunggu pemuda itu yang semenjak libur sekolah, kegiatan mendadak mencurigakan untuk Edmon. Sudah tiga hari ia mengikuti dan mengintak secara diam-diam.lima belas meit berlalu, Edmon berjalan menghampiri Dre yang tak sadar akan kehadirannya. Pemuda itu berpakaian serba hitam juga menutup kepalanya dengan topi. Tak peduli jika Dre berontak, Edmon menodongkan pistol ke pinggang Dre yang terkejut.“Jalan, wajahmu jangan menunjukan hal mencurigakan atau kulepaskan peluru supaya bersarang ditubuhmu.” Bisik Edmon tegas.“Tapi anda polisi. Apa anda tidak takut, huh? Seorang opsir polisi melukai warga sipil.” Tantang Dre.“Untuk apa aku takut. Ayahmu yang seharusnya takut karena pembunuhan yang ia lakukan di de