( PoV Andira ) Delapan belas tahun yang lalu. "Maaf Mbak, Mas Aksara nya sudah nggak pernah ke sini lagi." Sudah hampir tiga bulan aku mendengar jawaban ini dari penjaga rumah Aksara, orang satu-satunya yang kini tinggal di rumah besar itu. Aku berjalan gontai meninggalkan rumah besar yang pernah beberapa kali ku sambangi. Bertemu kakek dan neneknya. Berbicara ngalor ngidul bersama dengan lelaki yang aku cintai. Aku menarik napas panjang. Mencoba memenuhi oksigen di dalam tubuhku yang seakan juga ingin menghilang bersama dengan kepergian Aksara. Dengan deraian air mata, entah kemana aku akan pergi. Berjalan perlahan lalu berhenti di tepian jalan. Beberapa kali ku putarkan pandanganku ke arah jalan yang tampak tak bertepi. Mencoba mempertahankan harapanku akan kedatangannya yang entah muncul dari arah mana saja dan akhirnya menepati janjinya untuk menikahiku. Ku usap air mata yang beberapa bulan terakhir ini bahkan hampir tak mau berhenti. Menangisi diriku. Juga sebuah nyawa yang
( PoV Asmara ) Deg! Aku melempar buku harian itu ke atas kasur tempat tidurku. Napasku seakan berhenti membaca apa yang sudah Bu Andira tinggalkan kepadaku. Buku diary. Entah sengaja atau tidak, buku diary itu jatuh beberapa saat sebelum dia pergi dari rumahku tadi malam. Aku menangis. Menangisi kisah sedih yang di alami Bu Andira. Menangisi kisah cinta yang benar-benar menyakitkan dari Bu Andira dan Aksara. Menangisi kenyataan bahwa Bu Andira jauh lebih kuat di banding dengan aku. Entah aku harus bersedih. Ataukah aku harus ikut berbahagia untuknya karena sudah menemukan lelaki yang di cintainya. Menyatukan kembali cinta mereka, dan buah hati mereka. Seorang anak. Anak yang mungkin kini sudah besar. Sebesar aku. Seumuran denganku. Ku ambil buku harian itu kembali. Ku peluk erat. Entah mengapa aku tak jadi membencinya. Entah kenapa tiba-tiba seakan aku rela kalau Aksara bahagia bersamanya. Entah mengapa aku mau menerima ini semua karenanya. Mungkin aku merasa iba padanya. Mungkin j
( PoV Asmara )"Astaga. Aku beneran lupa Al. Maaf ya. Aku juga nggak punya apa-apa buat aku kasih ke kamu." Aku merasa sangat bersalah. Di hari ulang tahun Albert yang ke delapan belas ini, dia bahkan yang mempersiapkan sebuah kejutan untukku. Menginap di puncak. Di sekitaran kebun teh. Villa milik keluarganya. Tepat di saat matahari terbenam, kami tiba. "Kamu ada di sini aja aku udah bahagia Ra. Santai." Dia tersenyum manis. Dia memang selalu seperti itu. Aku pun heran. Jika ada alat yang bisa di gunakan untuk mendeteksi seberapa besar cinta seseorang, maka aku sudah menggunakannya untuk Albert. Aku ingin melihat, sebesar apa cinta itu di hatinya. Cintanya yang membuatku merinding saat aku merasakannya. "Udah pamit sama orang rumah kan?" Aku memang belum berbicara apapun dengan Tante Astia soal kepergianku bersama dengan Albert hari ini. Karena aku pikir Albert akan mengajakku pergi ke tempat yang dekat. Namun ternyata..."Udah kok. Tenang aja. Emmm. Kamu bersih-bersih dulu gih. Mas
( PoV Asmara )"Al. Al. Please lihat aku Al." Aku mencoba memeluk Albert yang berkeringat begitu banyak dan dingin. Aku tak tahu apa yang terjadi dengannya kali ini. Dia memukul-mukulkan tangannya ke kepalanya sambil menangis. Terus saja seperti itu."Aku butuh obat itu. Aku butuh obat itu." Dia bahkan tak berhenti mengucapkan kalimat seperti itu dari tadi. Dan aku tak tahu obat apa yang dia maksud."Al! Kamu nggak butuh obat apapun Al. Aku di sini. Al. Please jangan kayak gini. Kamu pengen kita seneng-seneng kan di hari ulang tahun kamu ini? Kenapa malah kayak gini sih?" Aku menangis. Aku sedih. Aku takut. Aku tak pernah sekalipun melihat Albert seperti ini. Dia kenapa? Apa yang terjadi?"Aku bodoh. Aku bodoh banget. Aku bodoh." Dia terus saja mengoceh. Tubuhnya semakin dingin. Keringatnya juga semakin deras mengalir. Dan aku semakin tak tahu harus bagaimana."Al!" Aku memeluknya semakin erat. Aku benar-benar ketakutan."Maaf Ra. Asmara. Maafin aku.""Buat apa sih Al? Please jangan ka
( PoV Asmara )"Ra." Albert bangun dari tidurnya. Setelah marah-marah malam itu, dia pingsan. Dengan bantuan bapak penjaga villa, akhirnya aku bisa membawa Albert ke rumah sakit yang dekat dengan villa. Untung ini hari Sabtu, sekolah libur. Jadi aku bisa menemani Albert."Al." Ku genggam tangan itu. Tangan yang kini sudah kembali hangat. Tak sedingin kemaren. Aku tersenyum kepadanya."Maafin aku Ra." Albert menangis. Dia menggenggam tanganku erat. Dia memang sudah menyakitiku malam itu. Namun aku mengerti. Dia tak pernah bermaksud seperti itu."It's oke Al. Aku nggak apa-apa kok." Aku masih tersenyum. Aku benar-benar mengerti. Aku benar-benar tak marah. Dan aku rasa, aku memang berhak menerimanya."Aku sakit Ra." Dengan terbata, Albert mengatakannya. Aku melihat raut wajahnya yang seakan begitu berat. Entah apa yang membuatnya berat. Mungkin dia berat untuk mengakuinya kepadaku. Mungkin dia tak ingin aku pergi darinya."It's oke Al. It's oke. Aku nggak masalah. Aku akan selalu ada buat
( PoV Asmara )"Maafin aku ya Al." Aku menatap wajah Albert yang terlihat semakin tampan ketika dia tertidur. Kami masih di villa. Albert masih sakit sehingga akhirnya kita meminta cuti dari sekolah. Entah sampai kapan Albert akan sembuh. Dia semakin tak stabil. Kondisinya semakin tak baik. Bahkan setelah pulang dari rumah sakit, dia sama sekali tak berbicara kepadaku."Aku tak seharusnya terus bersama kamu." Ku usap air mata yang dengan deras membasahi pipi. Aku harus pergi. Aku harus menghilang dari kehidupan Albert. Dia sudah terlalu banyak menahan derita bersamaku. Aku sudah sangat banyak membebaninya. Selayaknya layang-layang, dia tak mampu terbang tinggi jika aku terus menarik ulurnya. Meskipun aku tak berniat seperti itu.Ku usap perlahan pipinya. Aku tak ingin membangunkannya. Lama ku pandang seseorang yang sangat aku sayangi itu. Berat rasanya meninggalkannya. Namun, aku harus melakukannya. Aku tak boleh jadi bunga liar berduri yang tumbuh di halamannya. Mengganggu pandangan m
( PoV Albert )"Ra! Mara!" Aku mengelilingi villa tempat aku menginap bersama dengan Asmara. Mencari gadis itu. Namun sudah hampir tiga jam aku mencari, Asmara tetap tak aku temukan."Kamu ngambek ya Ra, gara-gara aku mendiamkanmu. Aku minta maaf Ra. Aku nggak akan kayak gini lagi. Tapi, please balik Ra. Aku nggak bisa kehilangan kamu." Aku ketakutan. Asmara bukan wanita kuat. Apapun bisa terjadi padanya. Aku khawatir. Kemana dia?Aku terus berjalan. Berjalan menyusuri jalanan puncak yang banyak sekali terdapat jurang di kiri kanannya. Asmara tak mungkin berjalan jauh. Dia pasti masih di sekitar sini. Lagi pula, penglihatannya tak berfungsi dengan baik di malam hari. Dia tak akan pergi malam hari. Aku yakin, dia hanya berjalan-jalan di sekitar sini. Tapi dimana? Di mana dia sekarang? Di mana kamu berjalan-jalan Ra?"Tolong!" Deg! Aku bisa dengan jelas mendengar suara Asmara meminta tolong. Dia terdengar begitu kesakitan."Ra! Kamu di mana Ra? Mara!" Aku panik. Ku lihat kanan kiri. Namu
( PoV Albert )"Sarapan dulu." Asmara duduk di atas tempat tidurku setelah berhasil membuatku membuka mata. Aku tersenyum menatapnya. Entahlah. Semenjak dia hilang ingatan, dia menjadi begitu manis kepadaku. Mungkin aku harus bahagia dengan semua yang Asmara lakukan. Namun aku juga tak boleh terlalu senang karena Asmara sampai saat ini belum tahu kalau hubungan kita berdua tak lebih dari seorang saudara angkat.Ya! Ketika dia bertanya siapa aku waktu pertama kali aku selamatkan dia dari jurang, aku mengatakan kepadanya kalau aku adalah orang yang sangat mencintainya. Aku tak bermaksud berbohong, karena kenyataannya aku memang sangat mencintainya. Dan saat itu juga dia langsung memelukku. Dia beranggapan kalau kita adalah sepasang kekasih. Dia bilang dia akan menjadi seorang pacar yang baik meskipun dia belum seratus persen mengingatku.Aku sempat bingung dan ingin menjelaskannya. Namun entah kenapa aku tak bisa. Mungkin aku jahat. Dan bisa jadi aku memang egois. Tapi bukankah ini yang