Share

Protect You

Sekencang apa pun kamu berlari menghindari takdir, jika Tuhan menghendaki, maka takdir itu akan mengikuti kemana pun kamu pergi.

•••

"Bapak punya dua opsi, kamu jaga siswi itu sampai sembuh atau rekaman ini sampai ke tangan Arga?"

Raqa mengernyit tidak terima, tangannya terkepal, dua opsi itu sama-sama menyudutkannya. Apalagi harus berhubungan dengan Arga. Ditambah lagi, cewek itu-Nabilla. Apa takdir belum puas mempertemukan mereka?

Raqa memejamkan mata perlahan lalu menghela napas panjang, dihembuskannya perlahan sebelum berbalik ke arah Pak Gusti. Dengan seringai, Pak Gusti menunggu jawaban Raqa.

"Bagaimana?" tanya Pak Gusti.

"Opsi pertama. PUAS?!"

Pak Gusti tersenyum lebar, sementara Raqa buru-buru keluar ruangan, dasar tidak adil. Meluapkan emosi, Raqa memilih menendang sepatu mahal milik Pak Gusti hingga masuk ke got.

"Sialan."

***

"Mendingan kita tunggu deh, gue yakin ini bakal jadi berita hot." Sagita menyilangkan kakinya, duduk di sofa kecil dekat brankar Nabilla.

Mentari mengangguk, dilihatnya lagi Nabilla yang terbaring lemas di brankar. Wajah cewek itu pucat pasi.

"Terus masalah foto, gimana? Kita tinggal nyari siapa pelakunya. Gue kasihan banget sama Nabilla. Dia polos. Mukanya juga imut gitu. Siapa sih yang tega?"

Sagita mengusap dagu, ada benarnya juga, mereka harus tau siapa peluk dibalik foto itu. Tadi saja, ia sempat memberanikan diri menanyakan hal itu pada Raqa, namun ketua OSIS itu tidak menjawab.

"Justru itu." Sagita menopang dagu dengan kedua tangannya. "Seratus persen gue berani taruhan kalau yang nyakitin Nabilla itu kak Raqa."

Mentari menaikkan alisnya. "Kalau bukan?"

"Yee, kan ada CCTV, gue mah nggak bodoh-bodoh amat." Sagita menaik-naikkan alisnya. "Misi pertama, kita cari tau siapa pelakunya."

***

"RAQ! RAQ! Lo udah liat belum grup chat OSIS? Gila Raq, lu bisa dihujani hujatan Netizen kalau kayak gini," adu Juan seraya menunjukkan foto Nabilla yang dilempari proposal olehnya.

Raqa tidak memberi respon, wajahnya datar, dengusan kecil terlihat dari hidungnya. Raqa justru melanjutkan langkahnya mantap tanpa menoleh sedikit pun.

"Raq, gila lu yak! Ini udah keterlaluan. Tadi lu bikin dia pingsan. Sekarang lu biarin cewek seimut ini banyak netizennya. Mending berhenti deh lo, jauhin dia, biar gue yang deket sama dia."

Kali ini Raqa menghentikan langkah, tangan yang tadinya tersembunyi di balik jas almamater maroon itu bergerak cepat merebut ponsel di tangan Juan lalu melemparnya ke dinding. Dan brak, ponsel itu remuk, pecahannya berserakan di lantai keramik.

"Sekarang gimana? Selesai kan masalah lo?" tanya Raqa datar, belum sempat Juan menjawab, cowok itu lebih dulu melanjutkan langkahnya.

"Ponsel gue setan, seenak jidat lo lempar!"

"Kenapa Wan?" tanya Gheral yang datang dari arah belakang, cowok yang sudah berganti seragam putih abu-abu itu sambil menyeka keringat dengan handuk putih, menepuk bahunya.

"Ponsel gue, temen bangsat lo itu lempar sembarang." Juan bergeser dan memungut pecahan ponselnya. "Dia kira ponsel gue nggak mahal apa? Belinya pake daun gitu? Dasar anjing emang."

Bukannya menyemangati, Gheral justru tertawa. "Kayak nggak kenal Raqa aja, dia benci banget sama orang yang berisik."

"Tapi bukan ponsel gue juga korbannya."

"Secuil itu mah. Raqa pasti ganti. Inget nggak komputer lo yang dia lempar saat Raqa nggak berhasil menangin pameran patungnya? Hari itu juga dia transfer uang ke rekening lo."

Juan nyengir singkat. Ingat sesuatu, ia menjetikkan jarinya ke udara. "Ah iya bener, lebihannya banyak banget anjir. Sekalian aja gue beli PS, buat gaming."

Gheral menjitak kepala Juan. "Bodoh! Kenapa lo nggak bagi-bagi ke gue?"

***

"Nab, rebahan dulu deh, keknya lo lemes banget," ujar Sagita seraya mendorong dada Nabilla agar cewek itu kembali berbaring.

Nabilla mengangguk, jujur kepalanya masih pusing. Mungkin akibat benturan keras saat ia pingsan di kantin tadi. Sungguh sial, ia bahkan tidak mengira jika akan pingsan di sembarang tempat. Hanya bentakan seorang Raqa pula.

"Kepala gue ... sakit Ta, ada minyak kayu putih nggak?" tanya Nabilla.

"Ada kok, bentar ye gue ambilin." Sagita beranjak dari duduknya kemudian mengambil minyak kayu putih di lemari obat. Lalu memberikannya pada Nabilla. "Nih."

Nabilla menerima, lalu dia mengoleskan sedikit ke pelipisnya.

"Btw, lo kenapa bisa pingsan Nab? Masih pagi lho ini. Terus Raqa yang bopong lagi. OMG! Lo tau nggak reaksi siswi lain kek gimana?"

"Kek gimana coba?" Kali ini mentari bertanya.

"Klepek-klepek, kek kucing kurang belaian. Tinggal pilih mana yang cocok dijorokin. Eneg gue liatnya," sungut Sagita.

Ya, memang saat Raqa membopong Nabilla mendadak koridor sekolah menjadi penuh. Peserta MOS di aula bahkan rela berhamburan agar tidak ketinggalan moment. Wajah Raqa yang datar-datar saja tampak tidak peduli dan wajah Nabilla yang pucat pasi membuat mereka prihatin.

"Setelah lo di bawa ke UKS, semua normal lagi sih, disuruh ngumpul lagi di aula," lanjutnya lagi.

"Kak Raqa juga nyuruh kita ngumpulin tanda tangan, siapa yang bisa dapet tanda tangan kak Raqa, bakal dapat hadiah. Lo ikutan nggak?" tanya Mentari.

Nabilla menggeleng, kepalanya berdenyut, sepertinya dia tidak akan sanggup berdiri meski semenit saja. Apalagi harus mondar-mondir demi mendapatkan tanda tangan Raqa.

"Kayaknya nggak. Kepala gue masih sakit."

"Gitu? Nggak papa deh, lo bisa-"

"NABILLA! KAMU NGGAK PAPA? KAMU NGGAK ADA LUKA YANG BERAT KAN? ADUH, GIMANA BISA JADI PINGSAN SIH?"

Damar yang datang dengan muka sok prihatin dibuat-buat menghampiri Nabilla. Satu tangannya membawa gulungan proposal. Dan ternyata Damar tidak sendiri, dia bersama dua orang cowok di belakangnya.

"Aduh, berisik tau. Ini UKS bukan tempat karoke," sungut Mentari.

Damar tidak peduli, dia langsung memeriksa tangan Nabilla. "Ini kenapa jadi diperban?"

"Cuman lecet sedikit, Dam."

"Dibilangin jangan ceroboh, malah makin ceroboh. Untung tangan, kalau anggota-" Nabilla membekap mulut Damar dengan tangan.

"Damar berisik deh, aku nggak papa. Oh ya, itu proposalnya kak Raqa? Udah selesai? Wah, sini-sini. Biar aku liat Dam." Nabilla merebut proposal dari tangan Damar, sementara Damar cemberut, hidungnya mengerucut sambil mendorong kacamatanya naik. Sekali liat proposal, langsung seger itu muka.

"Wah iya udah selesai, ih Damar makasih. Makin sayang deh."

Damar memutar mata malas lalu mendengus. "Terima kasih sama mereka Nab." Damar menunjuk dua cowok kembar di belakangnya. "Dia yang ada tahi lalat di dagu, Azka namanya, dia yang bantu aku ngetik. Terus yang pake gelang biru, Azmi, dia yang bantu ngedit."

Azmi dan Azka tersenyum menanggapi. Nabilla ber-oh ria sesaat lalu berterima kasih.

"Aku juga punya temen Dam, aku nggak sendiri lagi." Nabilla melirik Sagita dan mentari. Mengerti, Damar tersenyum sebagai sapaan hangat untuk kedua cewek itu. "Dia yang pake bandana biru namanya Mentari, terus yang berkuncir kuda namanya Sagita. Mereka baik banget Dam sama aku."

"Wah, berarti kita berenam boleh temenan dong?" tanya Azka.

"Boleh banget," jawab Nabilla antusias.

"Kalau gitu, yuk! Balik ke aula. Bentar lagi kita disuruh ngumpul. Istirahat cuman sepuluh menit," saran Azmi. Cowok bergelang biru itu berbalik, namun terkesiap karena Raqa tiba-tiba muncul di ambang pintu.

Suasana seketika hening, Azmi dan Azka saling berpandangan sementara Nabila menelan saliva kasar, Damar mendorong kacamatanya naik. Sagita dan Mentari hanya diam.

"Ngapain kalian ngumpul di sini? Cepat baris di aula. Saya tidak mau ada yang terlambat."

Mereka berenam mengangguk, sementara Nabilla hanya bergeming. Menyandarkan kepala di brankar, berusaha meredam sakit kepalanya ketika semua teman-temannya sudah pergi. Dilihatnya Raqa, cowok itu menatapnya datar dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celana. Mengerti tatapan itu, Nabilla mencoba bangun namun suara Raqa menahan geraknya.

"Siapa yang suruh lu bangun? Baring."

Nabilla berkedip, dia memastikan jika suara itu benar-benar milik Raqa. Apa tadi? Baring?

"Lu nggak denger apa kata gue? Cepetan baring!" ulang Raqa, dia mendekat, menarik sofa single coklat mendekat kemudian duduk.

Nabilla tidak berani menjawab, bukan berbaring, melainkan bersandar saja. Berusaha memposisikan bantal di belakang kepala. Raqa yang melihat Nabilla kesusahan melakukan itu mengulurkan tangan, membantu.

Nabilla tertegun.

"Mana yang sakit?" tanya Raqa. Nabilla berkedip, tak percaya.

"Mana yang sakit Nabilla? Apa perlu gue selalu ngulang kalau ngomong sama lu?"

Nabilla terkesiap, sejenak menatap Raqa, lalu mengulurkan tangan kirinya yang diperban.

"I-ini." Raqa melihat lebam biru di pergelangan Nabilla. "I-itu sakit kak. Kakak jangan cekal tangan aku kayak gitu lagi ya. Sakit."

Raqa hanya memutar bola mata, tangannya terulur mengambil minyak kayu putih tanpa melepaskan pegangan satunya pada tangan Nabilla. Lalu mengoleskannya secara perlahan.

Sekian kali Nabilla tertegun.

"Masih sakit?" tanya Raqa. Nabilla mengangguk.

"Masih. Kakak tadi cekal tangan aku kuat banget. Makanya biru. Untung nggak luka."

"Terus tangan lu yang diperban ini kenapa?"

"Oh ini. Tadi kakak hukum aku nyabutin rumput pake tangan, kan. Tangan aku nggak kuat. Makanya lecet, banyak goresan gitu."

"Sakit?"

"Iyalah. Kalau nggak sakit ngapain di perban? Tinggal bersihin pake air udah deh selesai."

"Lu bodoh," sungut Raqa. "Kenapa lu maunya-maunya gue suruh nyabut pake tangan?"

Nabilla mengernyit. "Maksud kakak? Kan kakak yang nyuruh. Gimana sih?! Serba salah mulu."

Raqa mengusap wajahnya gusar. "Bukan itu maksud gue. Ck, kenapa lo nggak pake mesin rumput, kan bisa aja tuh lu nyuri-nyuri kesempatan saat gue nggak ada."

Nabill manggut-manggut paham. "Nggak kepikiran, sama nggak tau juga cara make mesin rumputnya gimana."

Raqa mengkategorikan ucapan Nabilla, antara tolol atau polos, keduanya beda sangat tipis.

"Proposal gue?" tanya Raqa.

"Proposal? Oh bentar-bentar, dimana ya tadi... em. Ah itu, di nakas depan. Kakak ambilin dong."

"Males. Lu ambil sendiri sana."

"Kan aku masih sakit kak."

"Yang bikin proposalnya rusak siapa?"

"Tapi tetap nggak bisa ini ... tangan aku masih sakit."

"Lu jalan pakai tangan?"

"Ish. Tetep nggak bisa tau, biarin aja dah di sana sampai ada orang baik hati mau ngambilin."

Raqa mendengus, dia beranjak mengambil proposalnya di nakas, mengeceknya sebentar. Jika Nabilla berpikir Raqa mendekat untuk mengucapkan terima kasih Nabilla salah besar. Raqa justru menggeplak kepala cewek itu dengan proposal.

Pluk.

"Aduh. Sakit tau kak!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status