"Mak, aku pulang dulu ya, nanti balik lagi, mau ganti baju sekalian liat kondisi apartemen." Rere pamit pada Emak yang baru saja keluar dari kamar mandi.
"Iya, Mbak. Maaf nggak bisa masak dan bersih bersih," sesal Mak dengan pandangan mata menunduk, menatap lantai.
Rere tak menjawab, dia hanya mengangguk sambil menepuk pundak mak pelan.
"Mbak pulang dulu ya, Nur. Nanti kalau pengin sesuatu bilang aja ma kakak, ya!?"
Nur tak menjawab, dia hanya tersenyum pada Rere dan Dewa bergantian. Wajahnya sudah tidak pucat lagi.
Dengan diantar Dewa, Rere pulang ke apartemen nya.
"Masuk, Wa." ujar Rere mempersilahkan Dewa masuk ke dalam apartemennya. Setelah dirinya membuka pintu.
"Tunggu sebentar, ya."
Rere melangkah naik tangga menuju ke kamarnya. Setelah Dewa mengiyakan permintaanya. Kemudian turun lagi dengan menggunakan baju kaos lengan panjang dan celana training panjang. Tampak lebih santai.
"Kau suka kopi apa teh?" ta
Dewa menarik tangan Rere yang masih dalam genggamannya ke arah balkon."Kau tahu banget dengan seluk beluk apartemen ini, Wa?" tanya Rere yang melangkahkan kaki bersama."Begitukah menurutmu?""Ya, seingatku, aku tidak pernah bercerita kalau di apartemen ini ada balkonnya, tapi kamu kok bisa tahu?""Mungkin kamu lupa?!" Dewa menjawab sambil melirik ke arah perempuannya."Aku bukan jenius, tapi aku masih ingat betul kalau aku tak pernah bercerita tentang apartemen ini." jawab Rere, tangannya yang bebas mendorong pintu sebelah kanan, begitu pun dengan tangan Dewa yang berhasil membuka pintu di sisi yang lainnya."Re ... Kamu sering duduk di sini?" tanya Dewa, yang masih menggiring Rere ke tepi balkon, hingga tampaklah olehnya lampu kota Jakarta yang bersinar seakan sedang berkelap-kelip."Tidak begitu, memangnya kenapa?""Sini, dud
Terdengar suara Isak, lirih namun terasa dekat, memaksa Dewa dengan susah payah membuka matanya."Ma ...."Panggilan Dewa pada Bu Zeza, sangat lirih. Namun, masih bisa terdengar oleh mamanya"Dewa, kamu sudah sadar?" seru Bu Zeza dengan suara tertahan, beliau sontak berdiri dari kursinya dan menekan bel yang menempel di tembok atas kepala sang putra. Seperti yang dokter pesankan pada beliau.Wajah perempuan separuh baya itu terlihat sangat bahagia, walau guest kecemasan belum sepenuhnya hilang."Dewa ...!" Pak Bagas yang berada di sofa sebelah pintu masuk kamar, bergegas menghampiri putranya yang sedang terbaring lemah dengan balutan perban di kepala dan tangan kiri. Saat mendengar jeritan tertahan dari istrinyaWalau pun akhirnya beliau, hanya mendapatkan senyuman yang dipaksakan oleh sang putra sulung."Tunggu ya, sayang," seru
"Kamu sehat?" tanya Dewa , saat melihat siapa orang yang baru masuk ke dalam kamar rawatnya. Dewa juga sontak mengulurkan tangannya untuk perempuan itu genggam.Rere tersenyum sambil mendekat, menuruti apa yang Dewa minta tadi. Ada gelenyar indah yang ia rasa saat tangan mereka bergenggaman.Sesuai dengan rencana, pagi itu Rere di antar ke dua orangtuanya jenguk Dewa. Dan sekalinya bertemu, sikap manja dewa semakin terlihat, makan minta di suapi, apa-apa minta Rere yang membantunya, hingga membuat dua pasang orang tua yang berada di kamar yang sama hanya bisa tersenyum."Aku mau pulang ke surabaya,""Kenapa?""Aku ingin kita pisah dulu sementara, sejak kita dekat banyak kejadian luar nalar yang terjadi.""Maaf ....""Kamu selesaikan dululah urusanmu, jangan sampai di antara mereka ada yang sakit hati, karena kalau perempuan udah sakit hati, itu ba
"ini rumah makan baru, Bun?" tanya Rere saat mobil yang ayahnya kendarai berhenti di depan sebuah rumah makan yang bila dilihat dari luar cukup nyaman dan agak ramai."Ya ... tapi sudah sangat terkenal banget ini, Re. Aslinya bukan dari daerah sini. Tapi saking terkenalnya jadi buka cabang di sini." Bunda mencoba menjelaskan. tangannya meraih pundak putrinya, mengajak melangkah masuk bersama.Dengan menganggukan kepala. Rere dan bunda masuk ke dalam rumah makan itu, sedangkan ayah yang baru selesai memarkirkan mobil, tidak langsung bergabung. Beliau malah berdiri di belakang orang, seperti sedang mengantri."Ayah ngapain, Bun?" tanya Rere, setelah menemukan bayangan sang ayah, setelah tadi sibuk mengedarkan pandangan mencarinya."Mesenlah, jadi kalau di sini model mesennya seperti itu.""Sebentar." Rere sontak berdiri dan langsung mendekati ayahnya."Rere aja yang mesen, ayah dud
Tanpa menunggu jawaban, Rere kembali melangkah menuju ke kursi tempatnya tadi duduk."Senangnya yang ketemu dengan sahabat lama." sambut bunda dengan mata menatap wajah putrinya, di bibir beliau ada senyum menggoda."Iya ... ah bunda pasti sengaja mengajak aku ke sini, kan? Biar bisa ketemu dengan Ema?""Iya sih, tapi sebenarnya memang karena masakan bebek sini enak kok, Re?" jawab Bunda."Permisi ...."Seorang perempuan datang mendekati meja mereka dengan kedua tangan menenteng alat seperti rantang namun hanya besinya saja, sebagai tempat membawa piring yang berisi nasi putih, piring berisi lauk, sambal dan mangkok mencuci tangan."Mbak, ini kok beda? Biasanya buat cuci tangan langsung ke wastafel?" tanya Bunda, sesaat setelah semuanya siap di atas meja."Saya tidak tahu, Bu. Ini hanya mengikuti perintah saja." jawab karyawan tadi, yang kemudian pamit u
Rere hanya bisa tersenyum saat bunda mengingatkannya pada julukan yang Ema dan Yuni berikan untuknya waktu sekolah dulu. Si putri tidur."Yuni, gimana, Ma?""Besok aku jemput kamu ke rumah, ya. Kita ke rumah Yuni bersama.""Jam berapa?""Acaranya kan jam sepuluh, Re?""Acara, acara apa?""Kamu nggak Yuni kabarin? Yuni mau tunangan besok.""Aku nggak tahu." jawab Rere dengan wajah tak berdosanya."Ya udah besok datang aja sama Ema. Tapi Ema datang sendirian nggak? Kalau sama pacarnya jangan, Rere biar nggak jadi orang ke tiga.""Besok kami bertiga kok, Bun. Saya ikut." Elang menimpali ucapan Bunda.Bunda tak menjawab, hanya saja bibirnya mengerucut ke depan dan langsung membentuk huruf 'o'."Tapi, aku tak punya gaun, Ma. Aku sengaja nggak membawa baju lebih." Rere kembali memasang wajah sedih.
Mobil yang dikendarai Elang berhenti di sebuah butik dengan halaman yang tampak luas sekali, hanya saja walau pun luas. Namun, sangat rindang, terdapat dua pohon mangga besar di tengah lapangan hingga terasa nyaman sekali."Nanti ada ketentuan warna nya nggak, Ma?" tanya Rere yang berjalan bersisian dengan Ema, meninggalkan elang yang masih memarkirkan mobilnya."Dalam undangan nggak ada sih, Dew. Cuman Yuni minta nanti kita pakai gaun warna biru navy.""Aduh, ada nggak, ya?" seru Rere, khawatir."Semalam aku udah minta Elang buat nelpon kakaknya, katanya sih masih ada, dan kebetulan busana hijab juga." Ema menjawab keresahan Rere, sambil menghentikan langkahnya karena sudah berada di depan pintu masuk."Selamat pagi." Seorang perempuan berjilbab membukakan mereka pintu, dan dengan menggunakan isyarat tangan mempersilahkan mereka masuk."Pagi ...." Jawab Ema
Ema memanggilnya dengan melambaikan tangan meminta supaya melangkah mendekat.Rere melangkah mendekat dengan tangan sembari memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas."Ada apa?""Kamu cobalah dulu, mumpung masih banyak waktu, setelah cocok. Kita langsung berangkat." Ema berkata sambil menaik tangannya masuk ke dalam ruangan."Pagi, Mbak." sapa seorang berhijab lebar ke arah Rere, tangannya terulur, membuat Rere kembali melangkah lebih dekat untuk menyambutnya."Sinta.""Rere!""Hei, sejak kapan kau mengganti nama panggilanmu, bukankah kau dulu lebih suka di panggil Dewi?" tanya Ema yang kaget saat Rere memperkenalkan nama."Sejak ada Dewa!?" jawab Elang dengan alis yang terangkat ke atas berulang kali, menggoda Rere.Semua tertawa mendengar jawaban Elang, yang memang benar adanya."Pada sirik!" Ketus Rere yang melangkah menjauh menuju kamar ganti yang tadi Sinta tunjukkan.Bukannya mereda, semua malah