"Hei ... lepaskan aku!" Dinda menjerit saat tangannya ditarik Dewa keluar dari ruangan. Sesaat mereka menjadikan diri sendiri sebagai tontonan pengunjung.
"Apakah kamu tahu hubungan mereka, Dew?" Selidik bu Zeza, pada Rere yang hanya bisa mengangguk dengan wajah datar, walau masih tampak kalau dirinya sedang menyembunyikan satu rasa.
"Apakah ini yang membuatmu ragu pada Dewa, sehingga meminta untuk tidak melanjutkan pertunangan kalian?""Iya, Ma."
"Mmm ...." Helaan nafas dalam dari hidung bu Zeza tampak seperti membuang sesak beban di dada beliau.
"Silahkan ...."
Seorang perempuan berseragam datang membawa list makanan dan minuman yang kemudian diletakkan di depan aku dan Bu Zeza. Kemudian berdiri menunggu.
"Apa yang ingin kau makan, siang ini, Dew?" tanya Bu Zeza, bertanya tanpa menoleh ke arah Rere. Terkesan sedang mengalihkan pembicaraan.
Ada yang berubah dari nada suara Bu Zeza, sepertinya tak ada l
"Kau mau sambalku?" tanya Dewa, yang menyodorkan sambal di sendoknya ke arah Rere."Mau!" Sontak wajah Rere sumringah, tangannya langsung mengambil alih sendok berisi sambal itu dari tangan Dewa."Makasih ya," ujarnya lagi, kali ini tanpa melihat ke arah Dewa. Membuat Bu Zeza dan Dewa saling pandang dan saling tersenyum."Ya ampun, Dew. Itu sudah banyak banget lo, awas sakit perut!?" seru Bu Zeza melihat Rere dengan lahapnya menikmati bebek bumbu dengan sambal dan nasi."Insya Allah, nggak Ma. Huuk huuk!"Rere langsung meneguk gelas berisi air mineral yang berada di depannya. Dibantu Dewa yang sudah berdiri dan menepuk pelan punggung Rere, dari belakang."Dew, pelan pelan, aduh sampai segitunya ...." ujar mama yang tersenyum bahagia melihat kerukunan keduanya."Hahaha ... lama nggak pernah ngerasain yang kayak gini, juga baru tahu kalau resto semewah ini bisa mesen masakan lokal seperti yang sekarang di atas meja." jawab Re
"Bu, tadi ada orang ngirim paketan, sengaja langsung saya letakkan di atas meja." lapor Ina, langsung berdiri dari duduknya, saat melihat Rere, yang baru saja datang dari rapat di luar kantor bersama Dewa."Makasih ya, Na." jawab Rere, meneruskan langkah yang sempat terhenti, untuk segera masuk ke dalam ruangannya.Dari pintu, Rere sudah melihat di atas mejanya, ada bungkusan kotak berpita, berukuran sedang dengan warna yang sangat tidak ia sukai, merah!Sambil berjalan mendekat, matanya terus melihat aneh pada bungkusan yang ada di atas meja. Tangannya terulur mencari siapa nama pengirimnya. Namun, Ia tak menemukannya.Mungkin, Rere merasa ada sesuatu dengan bungkusan itu, badannya tiba tiba bergidik, apalagi dia merasa tidak memesan barang, dan tidak sedang merayakan hal yang special hari ini."Na ....!" Rere memanggil sekretarisnya."Ya, Bu." Ina bergegas masuk ke dalam ruangan Rere, yang pintunya
"Karena kamu adalah cinta pertamaku."Rere melengos, jengah. Rasa tak percaya tampak sekali di wajah itu."Dengarkan! Waktu itu di kantin. Sebenarnya tak sengaja mendengarmu berjanji, aku memang sengaja datang ke kantin atau ke perpus tempatmu biasanya duduk sendiri atau berdua bersama temanmu, Yuni. Benar?""Kau tahu?" Rere kaget, tak menyangka Dewa bisa tahu kesehariannya dulu waktu masih di SMA."Tentu saja, karena aku adalah orang yang menyelamatkanmu saat hampir ditabrak mobil saat pulang sekolah waktu SMP dulu," jelasnya lagi, tangannya mengelus lembut jemari Rere dan diangkat mendekati wajah kemudian menciuminya lama.Rere memandang Dewa tak percaya, bayangan kejadian masa lalu, seperti berputar ulang di benaknya sekarang."Jadi kau ....!""Ya, itu aku! Orang yang kau teriakin 'makasih, i love you'!"Rere langsung berdiri dan memeluk pria yang masih menggenggam tangannya itu, andai saat itu De
51Rere tak menjawab, ia merasa percuma berdebat dengan Dewa, dirinya lebih memilih berdiri, dan meletakkan bungkusan yang Dewa beri tadi, ke atas meja."Mau kemana?"dengan sigap Dewa menangkap tangan Rere yang hendak melangkah pergi."Cuci tangan. Nggak mungkin kan aku makan bebek pakai sendok?"Dewa tersenyum, tangannya melepaskan genggaman dan membiarkan Rere menjauh menuju ke kamar mandi yang berada di sebelah ruangannya.Dyah dan Ina pun ikut berdiri, saat mendengar alasan Rere. Mereka pun ingin cuci tangan.Sesaat kemudian Rere dan kedua sekretaris nya datang dengan kedua tangan basah.Dewa terus menerus menatap Rere yang juga tengah menatapnya."Ada apa?" tanya Rere dengan memajukan dagunya sejenak ke arah Dewa. Sebelum duduk di tempat yang sama.Dewa tak menjawab, dia hanya tersenyum saat melihat Rere kembali duduk di sampingnya.Kembali tangan Rere mengambil kotak yang tadi, kemudian mencampurkan nasi d
Hampir saja Rere melepas ponselnya saat tiba tiba ada suara sambung terdengar dan layar berubah, ada sebuah nama di sana.[Ada apa, Din] tanya Rere, saat tahu Udin adalah orang yang sedang menghubungi dirinya[Mau mengabarkan, Mbak. Nur udah di bawa ke ruang rawat. Juga mau izin pulang ke apartemen sebentar, ngambil keperluan Mak dan Nur.][Ooo ... Ok!][Apakah, mbak mau saya ambilkan sesuatu di apartemen?][Tidak, tidak ada][Baik mbak, makasih atas izinnya. Saya langsung berangkat. Wassalamualaikum]Rere memutuskan komunikasinya, setelah sebelumnya membalas salam Udin. Kini tangannya beralih menelpon nomor tujuan yang sebelumnya tak pernah di angankan untuk ia hubungi.Sudah sepuluh kali Rere men-dial nomor yang sama. Tapi sepertinya orang yang ia tuju mungkin sudah terlelap, mengingat ini sudah menunjukkan lewat tengah malam.Bergegas Rere menyelesaikan administrasi untuk Nur, juga sekalian menebus obat
"Mak, aku pulang dulu ya, nanti balik lagi, mau ganti baju sekalian liat kondisi apartemen." Rere pamit pada Emak yang baru saja keluar dari kamar mandi."Iya, Mbak. Maaf nggak bisa masak dan bersih bersih," sesal Mak dengan pandangan mata menunduk, menatap lantai.Rere tak menjawab, dia hanya mengangguk sambil menepuk pundak mak pelan."Mbak pulang dulu ya, Nur. Nanti kalau pengin sesuatu bilang aja ma kakak, ya!?"Nur tak menjawab, dia hanya tersenyum pada Rere dan Dewa bergantian. Wajahnya sudah tidak pucat lagi.Dengan diantar Dewa, Rere pulang ke apartemen nya."Masuk, Wa." ujar Rere mempersilahkan Dewa masuk ke dalam apartemennya. Setelah dirinya membuka pintu."Tunggu sebentar, ya."Rere melangkah naik tangga menuju ke kamarnya. Setelah Dewa mengiyakan permintaanya. Kemudian turun lagi dengan menggunakan baju kaos lengan panjang dan celana training panjang. Tampak lebih santai."Kau suka kopi apa teh?" ta
Dewa menarik tangan Rere yang masih dalam genggamannya ke arah balkon."Kau tahu banget dengan seluk beluk apartemen ini, Wa?" tanya Rere yang melangkahkan kaki bersama."Begitukah menurutmu?""Ya, seingatku, aku tidak pernah bercerita kalau di apartemen ini ada balkonnya, tapi kamu kok bisa tahu?""Mungkin kamu lupa?!" Dewa menjawab sambil melirik ke arah perempuannya."Aku bukan jenius, tapi aku masih ingat betul kalau aku tak pernah bercerita tentang apartemen ini." jawab Rere, tangannya yang bebas mendorong pintu sebelah kanan, begitu pun dengan tangan Dewa yang berhasil membuka pintu di sisi yang lainnya."Re ... Kamu sering duduk di sini?" tanya Dewa, yang masih menggiring Rere ke tepi balkon, hingga tampaklah olehnya lampu kota Jakarta yang bersinar seakan sedang berkelap-kelip."Tidak begitu, memangnya kenapa?""Sini, dud
Terdengar suara Isak, lirih namun terasa dekat, memaksa Dewa dengan susah payah membuka matanya."Ma ...."Panggilan Dewa pada Bu Zeza, sangat lirih. Namun, masih bisa terdengar oleh mamanya"Dewa, kamu sudah sadar?" seru Bu Zeza dengan suara tertahan, beliau sontak berdiri dari kursinya dan menekan bel yang menempel di tembok atas kepala sang putra. Seperti yang dokter pesankan pada beliau.Wajah perempuan separuh baya itu terlihat sangat bahagia, walau guest kecemasan belum sepenuhnya hilang."Dewa ...!" Pak Bagas yang berada di sofa sebelah pintu masuk kamar, bergegas menghampiri putranya yang sedang terbaring lemah dengan balutan perban di kepala dan tangan kiri. Saat mendengar jeritan tertahan dari istrinyaWalau pun akhirnya beliau, hanya mendapatkan senyuman yang dipaksakan oleh sang putra sulung."Tunggu ya, sayang," seru