"Duh ... Sudah malam begini belum dapat pelanggan lagi." Aku melihat arloji, sudah jam sembilan malam tapi satu pun aku belum dapat hidung belang.
"Sepertinya sekarang laki-laki hidungnya sudah putih semua, ngga ada yang belang!" Gerutuku.
Aku segera beranjak dari duduk. Di cafe kecil pinggir jalan, aku memang menjajakan diri disana. Biasanya kalau malam banyak anak muda atau juga bandot tua yang datang. Kadang sekedar untuk minum kopi tapi lebih banyak yang mencari wanita seperti aku. Si Kupu-kupu malam.
"Kiara!" Panggil Cinta yang baru selesai melayani pelanggan. Memang di cafe itu juga ada hotel kecil, mungkin lebih tepatnya kos-kosan khusus untuk memadu kasih secara singkat. Tentunya murah meriah, menjadi alternatif bagi yang ingin menggunakan jasa kami tanpa banyak menguras kantong untuk tempatnya.
"Iya, Cin?" Aku menengok pada Cinta yang sebenarnya bernama Rohmini, wanita berusia tiga puluh lima tahun dengan status single parents.
Nama kita memang sengaja diubah, selain untuk terlihat lebih cantik juga untuk menyembunyikan identitas.
"Kamu masih disitu? Emang belum dapat pelanggan?" tanya Cinta yang sekarang sudah berada di dekatku.
Bau wangi sabun khas hotel mengeruak Indra penciumanku, tentu pastinya dia sudah mandi setelah melayani pelanggan tadi.
"Iya nih, sepi banget. Mana perut aku lapar lagi belum ku isi sejak siang," ujarku mengeluh.
"Nih, aku kasih buat beli lontong!" Ia menyodorkan padaku uang pecahan berwarna ungu. Cinta pasti hafal benar keadaan aku. Kalau sampai aku belum makan, itu artinya memang aku tak punya pegangan.
"Makasih ya," jawabku sambil menerima uang pemberian dari Cinta. Kita memang mencari rejeki dengan cara salah, tapi untuk saling membantu disaat yang lain kesusahan, itu adalah prioritas bagi kami. Bahu membahu dan saling dukung. Itulah yang aku rasakan saat menjalani pekerjaan yang dianggap sebagian orang menjijikan.
Tapi ... Tentu, jika boleh memilih, kami pun enggan untuk melakukan pekerjaan seperti ini, jika bukan keadaan yang memaksa.
Segera aku menuju kedepan, ke warung kecil tepat di pinggir jalan. Sedangkan cafe yang aku tempati untuk mangkal, tepatnya sedikit masuk ke gang walau masih bisa untuk mobil masuk.
"Mba, beli lontong dua gorengannya dua, sama air mineral yang gelas satu!" Aku langsung menyerahkan uang sepuluh ribu itu, karena aku sudah hafal betul harga makanan disini, hingga tak perlu tanya totalannya.
Aku memilih menyebrang jalan, duduk dekat taman dan memakan lontong itu dengan enak.
"Aduh, ini nyamuk bandel banget sih, kaya doyan banget sama darahku!" Aku mencoba memukul nyamuk yang hinggap pada kaki, paha juga tanganku. Tentu karena aku memakai baju blous diatas lutut.
Sedikit kesal, aku makan dengan tergesa. Segera menghabiskan makannya dan langsung berkaca. Melihat apakah penampilan aku berantakan atau tidak?
Aku celingukan, memang sepertinya malam ini begitu sunyi, bahkan mobil pun dapat dihitung yang lalu lalang.
"Pusing aku kalau kaya gini? Mana belum bayar kontrakan lagi. Itu nenek lampir sudah nagih terus! Takut banget aku kabur!" Kembali aku mengeluh dan itu untuk sekian kalinya. Malam ini aku benar-benar lagi pailit.
Aku kembali melihat arloji, sudah setengah jam setelah aku melihat arloji tadi.
"Hufhh ... Apa sebaiknya aku mangkal di pinggir jalan saja ya! Siapa tahu dapat daging empuk. Biasanya kalau yang pakai mobil itu suka lumayan kasih tipsnya. Ah ... Aku coba!" Gegas aku berdiri didepan jalan raya, melambai pada mobil yang lewat.
Tentu para lelaki hidung belang akan tahu jika kami melambaikan tangan untuk mencari pelanggan.
Ah, masih belum dapat juga! Aku mulai putus asa. Saat ada mobil Pajero berwarna putih lewat, aku gegas kembali melambaikan tangan, tapi ternyata dia melewati aku begitu saja. Aku duduk di besi pipa air.
Aku kaget saat mobil Pajero tadi ternyata mundur dan berhenti tepat didepanku. Tentu aku yakin jika dia pasti lelaki hidung belang!
Gegas aku merapikan rambutku dan bajuku, kemudian mendekat pada pintu dan mengetuk kaca dengan berlahan.
Cukup lama aku menunggu, sampai akhirnya kaca mobil itu pun diturunkan. Aku sudah memasang wajah manis dengan senyum yang kubuat seimut mungkin. Tentu agar calon mangsa terpikat.
Aku kaget saat kaca itu sudah sepenuhnya turun. Senyumku memudar dan aku jadi ingin lari saja.
Didalam mobil itu tengah duduk seorang pemuda tampan dengan sorban di lehernya, kepalanya berpeci putih khas seorang ustadz.
"Mati aku! Kupikir pelanggan ternyata? Ah, bakal dapat tauziah ini bukan dapat uang!" Aku bermonolog dalam hati.
"Assalamualaikum, Mbak," dia memberi salam. Aku yang semula sedikit membungkuk agar bisa memamerkan milikku yang memang sedikit aku expose untuk menggoda mangsa, kini langsung berdiri tegap. Bahkan aku menutupi celah pada baju agar orang itu tak melihat dadaku.
"Waalaikumsalam," jawabku cuek. Kini aku tak lagi melihat padanya. Memilih mencari mangsa lain agar segera bebas dari jerat tauziahnya.
"Boleh minta waktunya sebentar?"
Tuh kan benar apa dugaanku, pasti dia akan ceramah panjang kali lebar dan merasa dirinya manusia paling suci.
Dia membuka pintu mobilnya, berjalan turun dan berdiri tak jauh dariku. Aku melirik sekilas, kulihat sarung putih juga baju Koko putih melekat pada tubuhnya yang tinggi dan berisi.
"Mbak sedang apa disini?" tanyanya.
"Mangkal!" Aku jawab apa adanya.
Dia sejenak berfikir. "Maksudnya menjajakan diri?"
"Iya, apalagi? Baiknya pergi gieh! Malam ini aku lagi sepi pelanggan, jangan buat aku makin kesal!" Aku sewot.
"Sudah dapat berapa pelanggan malam ini?" Tanyanya lagi tanpa mengubris perintahku yang menyuruh pergi.
"Belum sama sekali!" Ketusku.
"Alhamdulilah ...." Saat dia mengucapkan itu aku langsung melototnya. Tentu kesal, belum dapat pelanggan malah alhamdulilah.
"Walau belum dapat, harus tetap bersyukur, Mbak. Setidaknya sampai detik ini Mbak masih diberi nafas untuk hidup, bahkan mungkin Allah kasih kesempatan pada Mbak untuk bertobat dan mungkin juga malam ini Allah perintahkan saya untuk bertemu dengan Mbak malam ini."
Nah! Nah kan! Dia mulai ceramah. Ujung-ujungnya pasti ia akan bercerita, mendewakan dirinya, menjunjung tinggi namanya sebagai mahluk bersih tanpa dosa.
Aku bergegas ingin pergi meninggalkan dia. Muak sekali! Lagi sepi, kepala pusing ngga punya uang, malah dapat tausiyah!
"Tunggu, Mbak!" Dia menghentikan langkahku, namun setelah itu aku memilih untuk melanjutkan jalan.
"Mbak! Biarkan malam ini aku jadi pelangganmu!"
Seketika aku berhenti berjalan. Berusaha untuk mendengar baik-baik apa yang dia katakan.
"Tadi aku tak salah dengar kan?" Aku membalikkan tubuh dan menatap padanya.
Ia mengulas senyum dan mengangguk.
Gila, aku kira dia seorang ustadz, eh ternyata laki-laki hidung belang yang bercover seperti seorang kyai. Batinku tertawa. Memang didunia ini rupa manusia tak selalu sama dengan kelakuan. Ah ... Dunia penuh tipu-tipu.
"Bagaimana, Mbak?" tanyanya lagi. Pembawaannya tenang tapi matanya memang terlihat tajam, namun cukup menawan."I-ini bukan prank kan? Mas ngga sedang bercanda mau booking aku?" Aku seperti orang bodoh, masih saja menanyakan tentang kebenaran. Pasalnya penampilan dia benar-benar seorang layaknya ahli ibadah, bahkan jidatnya saja tercetak jelas bekas seringnya sujud. Ngapal.Dia kembali tersenyum, aku justru makin dibuat heran. Jika pelanggan lain akan tergesa-gesa untuk main sikat, dia malah terlihat main-main. Itulah yang membuat aku yakin dia ngga serius. Dia itu sedang bikin konten atau apa? Aku celingukan takut dia memegang kamera dan aku kecolongan. Bisa berabe kalau pada tahu aku di kota jual diri.Pasalnya teman dan tetangga aku tahunya jika di kota aku bekerja di kantor dengan gaji besar. Namun, semua tak seperti yang mereka bayangkan. Kota itu keras gais!"Berapa yang harus aku bayar untuk booking kamu sampai malam nanti?" tanyanya jelas.Aku berfikir sejenak, untuk menentuka
"Sebentar kenapa? Ini masih belum beres!" Aku yang tengah berbenah jilbab menurun kaca mobil. Dia tersenyum kembali, tapi kali ini senyumnya seperti tulus. Apa dia tengah terpesona dengan aku yang pakai hijab?"Sudah!" Aku membuka pintu dan turun. Ia langsung menengok dan melihat aku dari atas sampai bawah. Gamis putih tulang yang aku pakai menjuntai sampai kebawah bahkan sampai menyentuh tanah."Nah kan lebih cantik!" Pujinya. Aku hanya tersenyum. Sekarang juga ditutup, nanti dikamar pasti suruh dibuka bahkan tak boleh ada sehelai benangpun yang menghalangi. Munafik!"Kamu harus yakin ya, aku boking kamu malam ini dan kamu harus menurut dan melayani aku sepenuh hati tanpa bosan ataupun mengeluh." Dia berceramah seolah aku akan mengecewakannya.Aku Kiara, sudah biasa membuat laki-laki hidung belang tak berdaya. Kenapa dia masih meragukan?"Baik, Ayuk!" Ajakku, tanganku akan melingkar di lengannya tapi seketika ia menjauh. Menghindar entah sengaja atau tidak, karena sikap dia halus
"Permisi, Ustadz! Semua telah siap dan ustadz sudah ditunggu." Dari luar terdengar suara seseorang memanggilnya."Ayo, Mbak, ikut aku!" Ajaknya. "Sebentar, Mas, aku mau benerin lipstik dulu sama bedakan, kayanya udah ilang ini kena keringat!" Aku merogoh tas yang tergeletak tak jauh dari aku duduk.Dapat kudengar dia menghela nafas berlahan. Kemudian keluar dan berbicara pada orang yang tadi mengundang, namun tak lama ia kembali."Sudah?" tanyanya lagi. "Belum, Mas, bentar ini! Masih belum selesai." Aku masih sibuk berkutat pada cermin. "Duluan saja ngga papa, nanti aku nyusul!" Aku yang gemas melihat ia tak sabar memilih jalan alternatif."Bukan aku tak mau pergi dulu, tapi disana nanti itu ramai sekali, aku ngga mungkin biarkan kamu sendiri. Mana ngga ada yang kenal lagi, bagaimana aku mencari kamu di ribuan manusia!" Cicitnya.Aku yang tengah memakai lipstik sampai mencoret kebawah karenan kaget jika katanya ada ribuan orang."Duh kan!" Aku ngedumel. Ia masih saja kelakuannya cum
Aku hampir dibuat terlena oleh suaranya. Seperti menghipnotis, adem, tenang dan juga nyaman. Bahkan yang mendengar seolah ikut larut dalam kekhusuannya.Aku tertunduk lesu, bagaimana pun aku merasa tak pantas disini, menjadi bagian dari orang-orang yang mengagungkan nama Allah, sedangkan diri ini?Ah, aku memang manusia hina, tapi bukan berarti aku tak punya do'a yang selalu aku panjatkan. Menjadi manusia lebih baik tentunya itu do'a utama tapi entah kapan itu terjadi. Jalan itu belum terlihat.Andai Ayah berhenti berjudi, bekerja layaknya suami yang tangung jawab pada istri dan anak-anaknya. Mungkin, aku lebih memilih untuk mencari pekerjaan yang halal.Sayangnya, ayahku yang sudah berumur lebih dari setengah abad itu, tak jua insaf. Justru makin menjadi-jadi. Ibu harus banting tulang untuk sehari-hari dan akulah yang harus memberikannya uang untuk judinya. Jika tidak begitu, uang Ibu akan diminta dan aku kasihan pada adik-adikku yang masih harus sekolah.Aku anak pertama dari tiga b
Aku memilih diam, setelah merasa malu karena minimnya ilmu. Tentu aku yang bukan siapa-siapa dan bukan dari kalangan ahli agama, tentu tak tahu menahu tentang panggilan khusus itu."Duh, malunya jika nanti aku ketemu Ning Sukma lagi," aku membatin, tapi kemudian sadar kalau Ning Sukma tak mengenali wajahku. Jadi buat apa aku malu?Aku memilih diam, bermain ponsel adalah jalan ninjaku agar tak terasa boring. "Mbak mau turun dimana?" tanyanya membuyarkan konsentrasiku."Ditempat tadi juga ngga papa, Mas Abu gosok!" ujarku."Ini ngga ke hotel dulu, Tadz. Mubasir loh udah di booking ngga dipakai. Aku juga mau," celoteh si supir."Hust, ngga boleh, Pak! Aku tak akan mengizinkan itu. Kalau bisa do'akan dia agar segera berhenti dari pekerjaannya. Mencari pekerjaan yang lebih halal." Kali ini Abu gosok menimpali.Aku cuek dan pura-pura tak mendengar. Takut lama-lama dia malah tauziah, kan males jadinya."Mbak, kapan mau taubat dan berhenti menjadi Kupu-Kupu malam?" tanyanya kemudian padaku.
Mataku membulat sempurna kala melihat uang merah yang jumlahnya tak sedikit."Astaga, ini?" Aku mulai menghitungnya yang ternyata berjumlah empat puluh lima, artinya keseluruhan uang yang dia berikan adalah lima juta."Andai tiap malam nemu pelanggan yang beginian terus, cepat tobat aku." Aku bergumam sendiri. Memandangi uang pecahan seratus ribu itu.Aku tersenyum mengingat wajah Abu gosok. Pemuda berwajah bersih dengan jambang tipis didagu sampai ke pipi. Ah! Kini imajinasi aku melayang jauh. Merasakan bagaimana jika Jampang itu menyentuh pipiku.Hufh, Kiara kamu jangan ngimpi terlalu tinggi. Benar kata sopir usil itu, jika tak mungkin seorang ustadz tampan nan terkenal menikah dengan seorang pe la cur seperti dirinya. Sadar diri sepertinya lebih baik, tapi jujur hati ini begitu tertarik akan dirinya.Apa aku akan menjadi punguk yang merindukan bulan?Aku menjatuhkan bobot pada tempat tidur. Bahkan uang pun masih tergeletak di kasur. Membayangkan wajah sang ustadz tampan itu seolah
Mungkin ini adalah akhir dari hidupku. Ya Allah ... Ampunilah dosa-dosaku! Setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi.Aku membuka mata, merasakan sakit yang teramat dibagian kepala. Aku memeganginya dan mendapati sudah diperban.Kutatap sekeliling dan baju yang aku gunakan. Aku sudah berada di rumah sakit."Dok, dia sudah sadar!" Seorang suster berkata pada laki-laki yang berjas putih dengan stetoskop di lehernya."Sudah sadar, Mbak? Apa yang anda rasakan?" Dia mulai menempelkan stetoskop pada dada bagian atas ku."Ini sakit banget, Dok." Aku menjawab dengan jujur."Iya, Mbak. Itu luka cukup lebar, bahkan sampai sepuluh jahitan. Apa pusing atau mual?" tanya dokter lagi."Sedikit, Dok.""Ya sudah, kita lihat perkembangannya lagi. Istirahat ya!" Setelah dokter selesai memeriksa, ia pun keluar. Tak lama muncul seorang gadis masuk."Mbak sudah sadar? Siapa yang bisa saya hubungi, Mbak. Takutnya keluarga khawatir." gadis itu terlihat panik. Aku menyempitkan mata."Ngga papa, Dek. Aku sendiri
"Astaghfirullah!" Abu gosok meletakan aku pada brankar dengan kasar. Bahkan aku sampai sakit pinggang."Pelan kenapa? Sakit tahu!" Gerutuku. "Ngga usah ketakutan begitu, Allah pasti mengampuni dosa-dosa hambanya yang tak sengaja." Sengaja aku menyindir, seperti kata dia tadi."Kalau apa-apa panggil saja aku! Jangan lakukan apapun sendiri. Aku ngga mau kamu makin parah karena nanti adikku yang akan disalahkan!" ujarnya dengan nada sedikit ketus. Aku memilih memalingkan wajah.Dia mengaduh dan mengangkat kakinya yang berdarah."Astaga! Itu kena beling, Bu!" ujarku melihat dia tapi tak dapat berbuat apapun.Dia berjalan dengan pincang menuju sofa. Mencoba mencabut pecahan gelas yang menancap pada kakinya.Aku memanggil suster saat melihat ada suster lewat."Sus, bisa bantu obati lukanya dan sapu pecahan kacanya!" "Baik, Mbak. sebentar saya ambil alatnya."Tak lama datang dua suster, satu memegang sapu satunya membawa kotak P3K."Saya obati ya, Mas!" ujar suster yang bertugas mengobati