"Kemarin ada penurunan keuangan. Kenapa?"Aku menghela napas lega. Ternyata Papa mengerti gerakan tubuhku. Papa bisa bersandiwara di depan Mas Riko.Rencana ini tidak jadi gagal. Mama dan Papa bisa menahan emosi. Bahkan, bisa bersandiwara juga. Tidak tampak emosi, saat melihat Mas Riko. Wajah Mas Riko berubah. Dia tampak kebingungan sendiri menjawab pertanyaan Papa. "Ah, kemarin Riko gak fokus, Pa. Lagi ribut banget di rumah. Iya, kan, Sayang?" Mas Riko menoleh ke aku. Matanya mengedip-ngedip. Mengajak kerja sama, rupanya. Aku mengangguk-angguk. Baiklah, Mas Riko harus tahu kerja sama yang sebenarnya. "Iya, lagi ribut banget, Pa. Dokumen kantor ada yang hilang." Kemarin memang sempat ada dokumen yang hilang. Di rumah bahkan ribut sekali. Ini justru alasan yang menarik. "Kok gitu, sih, Di? Enggak, Pa. Beneran, deh. Riko gak hilangin dokumen apa pun." Wajah Mas Riko tampak ketakutan sekali. Dia berusaha membantah perkataanku. Mungkin, dia tidak mau jabatannya diturunkan. Aku mena
Pakaian Bayi di Mobil Suamiku [Besok beliin dot buat Ayna, ya, Yah. Soalnya udah waktunya ganti.]Aku mengernyit melihat pesan yang baru saja masuk ke ponsel suamiku—Mas Riko. Ini pertama kalinya aku memeriksa ponselnya. Terdengar pintu kamar mandi dibuka. Aku buru-buru meletakkan ponsel ke atas meja. Pura-pura tidak tahu. "Kamu ngapain disitu?" tanya Mas Riko sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk. "Gak papa. Cuma berdiri aja. Kamu kok kalau pulang kerja terlambat terus, Mas?" Mas Riko tampak tidak nyaman dengan pertanyaanku. Baiklah, lagi-lagi dia tidak mau jujur. Padahal, Mas Riko harusnya bilang, kalau dia lembur. Ini tidak mau bilang apa pun. Jadinya, aku berpikiran macam-macam begini. Aku berjalan ke dapur, masih memikirkan pesan di ponsel Mas Riko tadi. Nama kontaknya tanda titik. Siapa yang punya nama pakai tanda titik?Kali ini, ponselku yang berdering. Aku menatap layar,
"Kamu ngapain di dalam kamar tamu, Mas?"Akhirnya, aku membukakan pintu, setelah semalaman Mas Riko dan Kana tidur bersama tikus-tikus. Mata Mas Riko tambah hitam, dia sepertinya mengantuk sekali. Ya. Aku tahu, Mas Riko tadi malam tidur bersama Kana. Dia pindah kamar."Kemarin, Mas bantuin Kana, ada tikus di dalam kamar. Dia teriak-teriak. Eh, pintunya malah ke kunci. Layaknya pintunya rusak, deh. Nanti Mas panggilin tukang. Kamu dapat kunci darimana?"Alasan. Aku memalingkan wajah. "Kunci cadangan yang dipegang Bibi. Lah, si Kana udah teriak-teriak pagi-pagi."Wajah Kana tampak kesal. Dia langsung pergi, tanpa pamit. Seperti tidak tahu diri. Aku yakin, dia pasti kapok untuk tinggal disini. Memangnya enak. Mereka berdua tidak akan bisa melawan aku. Tenang saja, meskipun aku tidak mengambil bukti, tetapi ada CCTV di kamar tamu. Itu adalah bukti yang sesungguhnya."Eh? Kamu gak kerja, Mas?"
"Mana Papa, Ma?" Aku mengusap peluh di dahi. Tadi sudah terburu-buru datang kesini, setelah Mas Riko menelepon. "Masih di dalam, diperiksa sama dokter." Mama tersenyum. Sama sekali tidak menangis, tetapi guratan kekhawatirannya tampak jelas sekali. Buru-buru aku duduk di kursi sebelah Mama. Memeluk Mama dari samping. "Gimana kejadiannya, Ma?"Jujur saja, aku tidak tahu, kenapa Papa bisa masuk rumah sakit. Padahal, kemarin baik-baik saja. Sehat. Mama menggeleng, tersenyum tipis. "Pingsan di kantor. Mama juga gak tahu gimana kejadiannya. Cuma Papa, sama—"Perkataan Mama terhenti. Menghela napas pelan. "Sama suami kamu, Riko."***Sejenak, pikiranku teralih ke Papa, bukan lagi masalah foto Mas Riko dan Kana. Sepertinya, ini menyangkut hal kemarin. Dokter keluar dari ruangan. Menjelaskan beberapa hal ke Mama. Sedangkan aku menunggu di kursi. "Ayo, masuk."Aku mend
"Di—Diah?"Wajah Mas Riko tampak pucat. Dia seperti baru saja tertangkap basah. Ah, ini benar-benar menyenangkan. "Lho, kamu disini juga, Mas?"Aku berpura-pura tidak tahu, langsung duduk di samping Mas Riko. "Mbak ngapain?" Pertanyaan yang aneh. Aku melipat kedua tangan di depan dada. Menggelengkan kepala. "Tadi sebenarnya mau ngajakin bayi kamu main. Eh, lihat sandal Mas Riko ada di depan. Jadinya, sekalian aja, deh. Kamu ngapain disini, Mas?" Biar aku pertimbangkan semuanya pada Nur dulu. Nur sudah tahu semuanya. Dia sempat marah-marah kemarin. Kalau bilang pada Papa, justru kondisi kesehatan Papa akan semakin menurun. Itu bukan ide bagus. Aku harus bisa memikirkannya, tanpa Mama dan Papa. Langkah-langkah yang harus diambil. Jangan sampai gegabah. "Mas? Kok diam?" "Eh?" Mas Riko terlihat gugup sekali. Sangat ketahuan, kalau dia sedang mencari-cari alasan. "AC rumahku rusak, Mbak. Jadi, minta tolong ke suami Mbak." Ada perubahan di wajah Kana saat mengatakan dua kata ter
Ah, ketiganya sama-sama berat. Aku hampir saja mengeluh. Yang ada di pikiranku sekarang. Apakah Kana menikah lebih dulu dariku? Siapa istri pertama dan siapa istri kedua Mas Riko?"Cari buku nikahnya gak mungkin." Jangankan mencari buku nikah, aku saja tidak bisa membuka ponsel Mas Riko. "Kalau tanya langsung?" tanya Nur sambil menoleh padaku. Kembali aku menggeleng. Itu lebih tidak mungkin. Bahkan, rencanaku belum berjalan lancar. "Berarti jalan satu-satunya, lihat rincian tahun di laptop Kak Riko, Mbak." Kali ini, aku mengangguk. Ya, itu pilihan paling logis. Banyak sekali rencanaku ini. "Mbak kalau butuh apa-apa, telepon Nur aja. Pasti siap bantu, kok." Aku tersenyum, kemudian mengangguk. Mungkin, salah satu dari ide Nur bisa aku pakai. Kembali aku bercerita dengan Nur. Masalah Mas Riko dan Papa. "Kalau itu, Nur gak tahu, Mbak. Tapi kalau benar Kak Riko yang buat Papa sampai masuk ke rumah sakit, Nur gak bakalan pernah maafin Kak Riko."Aku menelan ludah. Nur seram, kala
Aku menggigit bibir, ketika Mas Riko menatap kertas cukup lama. Jangan sampai dia curiga dengan isi berkas ini. "Nanti kalau kamu batalin arisannya, konsekuensinya ke aku, gitu?" Astaga. Masih sempat juga Mas Riko menanyakan hal itu. Memangnya tidak bisa, dia langsung menandatangani berkas ini?"Enggak, Mas. Yang penting udah kumpul kayak gini. Selesai, deh. Aku juga gak mungkin ninggalin arisan."Mas Riko tetap diam. Tangannya ada di atas meja. Dia menunggu apalagi, sih?Kalau bisa, aku yang tanda tangan. Lebih cepat. Ah, tapi itu tidak mungkin. Mustahil. Ponsel Mas Riko berdering. Aku menepuk dahi, ketika dia mau berdiri. Buru-buru menariknya kembali duduk. "Tanda tangan dulu, baru boleh angkat telepon." Suamiku itu menggeser tombol berwarna hijau dengan tangan kirinya, tetapi tangan kanannya menandatangani berkas yang aku tunjukkan. Yes!Akhirnya, ada tanda tangan tanda Mas Riko disini."Jangan sampai ada masalah. Aku gak mau masuk penjara, kalau itu berhubungan sama hukum."
Wajah Kana memerah. Aku sejak tadi menatapnya. "Saya baru datang, kok langsung ngomong kayak gitu, Bu? Gak bagus, lho, kayak gitu." Terlihat sekali, kalau Kana tersinggung. Aku menahan tawa. Ibu-ibu tidak akan lagi percaya dengan wanita ini. Ah, sebenarnya ada rasa senang di hatiku. Hanya saja, rasa takut itu juga ikut mendominasi. Bagaimana kalau Ibu-ibu kembali tahu, Mas Riko adalah suami Kana? Dan Kana adalah istri simpanan suamiku?"Saya permisi dulu, Bu." Aku mengusap lengan Bu Yanti, kemudian berjalan pergi. Meninggalkan kerumunan. Banyak sekali rahasia baru terungkap. Mungkinkah, akan secepat itu rahasia ini terbongkar?***"Mbak, saya titip bayi saya dulu, ya. Mau ke warung sebentar."Aku mengernyit, sambil menggendong bayi Kana. Wanita itu langsung berlari kecil. Sepertinya, memang mau ke warung. Pandanganku beralih ke bagi yang kugendong. Bayi ini tampak tenang. Sesekali tertawa, sambil bertepuk tangan. Mungkin, kalau mau menuruti hati, aku akan membenci bayi ini. Ka