MAAF, YA. HARI INI DAN KEMARIN AKU GAK BISA UPLOAD BAB BARU. ADA SUATU MASALAH, AKU JUGA LAGI KURANG ENAK BADAN. INSYA ALLAH BESOK, LANGSUNG TAMAT. SEKALI LAGI MAAF, YA.AKU MAU MINTA MAAF LAGI, HEHE. GAK SESUAI JANJI HARI INI. DOAIN AKU CEPET SEMBUH, YAA.***"Makasih, Bi." Aku tersenyum, tidak sabar memberitahukan semua ini pada Nur. Dua kabar bahagia akhirnya datang juga hari ini. Aku menghela napas pelan. Lega dengan semuanya. "Sama-sama, Bu. Saya dukung Ibu untuk bercerai dari Pak Riko, Bu.""Makasih, Bi. Makasih, banyak."Bi Sari langsung pamit ke belakang. Sedangkan aku diam sejenak di kursi. Menatap surat yang aku pegang. Hampir lima menit diam. Aku akhirnya mengambil ponsel. Hendak memberitahukan pada Nur. "Halo, Mbak. Aku baru aja nyampe pasar. Mama titip sesuatu. Belum nyampe rumah.""Mbak ada kabar gembira, Nur."Suara Nur tiba-tiba berhenti. "Kabar apa, Mbak?""Surat dari pengadilan udah datang. Sekarang, tinggal menjalankan rencana kita, Nur."Nur terdengar bersorak
"Apaan? Ngehalu banget, deh. Udah sana. Jangan ngulur-ngulur waktu lagi. Mau keluar baik-baik atau diseret?"Aku melipat kedua tangan di depan dada. Menatap dua sejoli yang tampak serasi ini. Nur juga ikutan tertawa di sebelahku. "Jadi perusak hubungan orang kok bangga. Kalau saya, sih, malu."Sindiran yang menusuk. Aku mengangguk-angguk, setuju dengan perkataan Kana barusan.Wajah Kana memerah. Dia sepertinya ingin menjambak wajah Nur sekarang. Mas Riko memegang tanganku. Dia sepertinya berharap sekali agar aku memaafkannya. Sebenarnya, apa yang diharapkannya lagi?"Kamu serius? Gak mau sama Mas aja? Mas jamin, hidup kamu bakalan terjamin."Aku tertawa mendengarnya. Benar-benar berkhayal orang ini. "Nih, Mas. Gak usah kamu bujuk-bujuk aku lagi. Surat perceraian kita udah keluar."Dengan cepat, aku meletakkan surat ke atas meja. Mas Riko memandangku penasaran, kemudian mengambil kertas dari atas meja. Beberapa detik, wajah Mas Riko berubah. Dia mengusap wajah, menatapku kembali.
"Sayang, ini makanannya habisin dulu, dong. Masa kamu tinggal gitu aja."Aku mengejar Dini—anak keduaku dari Mas Adnan. Ya, sekarang aku memanggilnya Mas, karena dia adalah suamiku. Aku juga tidak menyangka kalau Mas Adnan akan menjadi suamiku, setelah sekian lama memendam trauma itu, aku akhirnya mau menikah dengan dia. "Astaga anak itu, susah banget dibilangin." Aku menggelengkan kepala, kembali mengejar Dini. Sulit sekali untuk membujuk dia. "Ma, Andre berangkat ke kampus dulu."Andre mencium tanganku, kemudian mencium Dini. Dia melambaikan tangan. Andre mengambil kunci mobil di dinding. Aku tersenyum tipis, anakku sudah tumbuh dewasa ternyata. Mas Adnan tidak bekerja hari ini. Katanya mau bermain bersama Dini. Dia memang beberapa hari terakhir sibuk, juga tidak punya waktu untuk anak-anak, tetapi hari ini katanya dia harus bersama dengan kami. Setelah palu diketuk, aku memilih untuk menutup semua kenangan tentang Mas Riko. Andre juga tidak terlalu bersedih, bahkan dia tidak pe
"Hmm, oke deh, nanti saya dan istri ke kantor. Terima kasih, Pak." Aku menoleh ke Mas Adnan. Ke kantor apa? Mau ngapain juga? Mas Adnan tadi sedang teleponan, aku memang sudah berpikir kalau itu adalah telepon yang penting, maka nya aku juga tidak bertanya dari siapa. Namun, ternyata Mas Adnan juga membawa-bawa namaku tadi. Mas Adnan duduk di sampingku. Dia tersenyum, mengusap perutku yang mulai membuncit. Aku hendak bertanya, tapi menunggu dia sajalah. Biarkan Mas Adnan sendiri yang bercerita. Memang, aku lebih suka kalau Mas Adnan yang bercerita dibandingkan aku yang bertanya. Tatapan Mas Adnan lembut sekali, dia tidak pernah kasar padaku. Aku berharap sampai kami menua juga dia akan seperti ini. "Tadi siapa yang nelepon, Mas?" tanyaku akhirnya. Ah, aku tidak tahan untuk bertanya. Mas Adnan menatapku, kemudian tersenyum. Dia tampak lelah, baru pulang bekerja. Padahal tadi kami juga sedang berdua bersama, tetapi Mas Adnan ditelepon. Penting sekali telepon itu, sampai Mas Adnan
"Kamu gak buka pintu mobil belakang, 'kan?" Aku yang baru saja masuk ke dalam rumah, langsung menoleh. Menatap Mas Riko yang berjalan mendekatiku. "Enggak." "Oke, bagus. Eh, Mas pergi sebentar, ya. Mau kasih seblak pesanan teman. Sebentar aja." Pandanganku tak lepas menatap Mas Riko yang mengambil seblak dengan santai. Dia langsung keluar rumah. Ingin sekali aku mengikutinya sekarang, tetapi anakku—Andre, tidak bisa ditinggal sekarang. Apalagi ini sudah lumayan malam. "Andre! Makan, Sayang!" Terdengar langkah kaki mendekat. Aku tersenyum, menyuruh Andre mendekat. "Wih, seblak, ya, Ma?" Aku tersenyum, sambil mengangguk. "Kamu udah selesai belajar?" "Udah." Saat kami makan berdua, Andre tidak berhenti melirik ke arahku. Ada apa dengannya? "Kenapa? Kok dari tadi lihat ke Mama terus?" Andre terlihat salah tingkah. Aku tertawa pelan, menuangkan air minum ke dalam gelas. "Ma." Anakku akhirnya memanggil. Sepertinya, sejak tadi dia ingin berbicara padaku, tapi momennya belum te
"Mas, kita ke supermarket, yuk." Aku menyodorkan gelas minuman ke Mas Riko. Dia menerimanya, sambil tersenyum. Ini sudah sore hari, Mas Riko sedang duduk-duduk sore. Sedangkan Andre sedang ada di kamar. Dia sibuk dengan buku bacaan. Sejak kejadian tadi pagi, aku memutuskan untuk pura-pura tidak tahu di depan Mas Riko. Sudah ada strategi yang akan aku lakukan. "Mau ngapain? Kalau gak jelas, gak usah, deh. Keuangan Mas udah nipis, nih."Keningku mengernyit mendengarnya. "Baru juga beberapa hari yang lalu gajian. Masa udah mau habis aja."Mas Riko hanya melirikku, kemudian membuang pandangan. Dia kembali fokus ke ponsel. Sambil sesekali minum. Jujur saja, antara aku dan Mas Riko. Kami kurang terbuka. Padahal, dalam rumah tangga, harusnya saling terbuka. Setiap masalah dibicarakan baik-baik. Ah, ini yang harus aku lakukan. Membicarakan semuanya dengan Mas Riko. "Kamu gak ada yang mau dibicarakan ke aku gitu, Mas?"Suamiku mengangkat pandangannya. "Bicarain apa? Gak ada, lah." "Ma,
"Kok tadi malam Mas ngetuk pintu gak ada yang bukain?" Mas Riko bersungut-sungut masuk ke dalam rumah. Wajahnya tampak kusut, mungkin karena masih kesal. Siapa suruh tadi malam dia bertemu dengan wanita lain. Sepertinya, Mas Riko pulang larut malam. Aku memasak sarapan sambil mendumal dalam hati. "Tuh, digigitin nyamuk semua. Kamu gimana, sih?" Mas Riko masih mendumal. Aku menatapnya yang sedang menggaruk-garuk tangan dan kaki. "Mana ban mobil kempes." Masih saja dia menggerutu. "Maka nya, jangan ketemuan sama teman malam-malam. Aku udah tidur, Bibi udah tidur. Masa kuncinya bisa jalan sendiri."Padahal, tadi malam aku sempat terbangun. Mendengar Mas Riko menggedor-gedor pintu.Suamiku itu masih bersungut-sungut, dia akhirnya berjalan ke kamar. Itu baru permulaan, Mas.Saat Mas Riko mandi, aku buru-buru masuk ke dalam kamar. Ah, rupanya benar. Mas Riko lupa membawa ponselnya. Dengan cepat, aku menyalakan ponsel Mas Riko, kemudian mencari nama kontak wanita itu. Setelah menyali
"Ayo. Silakan masuk. Jangan malu-malu, Bu." Aku menatap wajah wanita polos di hadapanku ini. Beberapa detik, pandanganku berpindah ke bayi yang ada di gendongannya. "Bu? Ayo, masuk." Sebenarnya, wanita ini mengenalku atau tidak? Apakah Mas Riko sudah membuka jati dirinya? Bilang yang sejujurnya, kalau dia sudah punya istri? Ah, atau Mas Riko belum bilang? Ini benar-benar menarik. Ada kemungkinan juga, wanita di hadapanku ini pura-pura tidak tahu saja. Baiklah. Aku berusaha menyesuaikan diri. Jangan sampai terlihat terkejut di hadapannya. "Saya Diah, Bu. Rumah saya tepat di depan rumah Ibu. Kalau Ibu mau berkunjung kapan-kapan boleh banget. Apalagi ajak suaminya Ibu." Aku mengukir senyum, sembari masuk ke dalam rumah wanita itu. Bu Yanti juga membuntutiku dari belakang. "Ngomong-ngomong, Ibu belum kenalan." Aku menyindirnya. "Ah, iya. Saya Kana, Bu."Bayi yang ada di gendongan Kana menangis. Wanita itu permisi pada kami berdua. Selama Kana pergi, aku memperhatikan seluruh rua