Kerajaan Langit sedang berpesta. Raja Langit tengah mengadakan pesta besar-besaran. Hari ini, Pangeran Langit akan memilih calon pendampingnya. Seluruh kerajaan dipenuhi dengan hiasan-hiasan, seluruh rakyat mengenakan pakaian terbaik mereka. Di halaman kerajaan, para penari dengan lincahnya bergerak sesuai alunan musik.
Raja Langit tampak sangat menikmati penampilan pembuka dari para penari tersebut. Raja Langit tampak tertawa lebar bersama Raja Matahari, Raja Bulan, dan Raja Bintang. Sembari menikmati hidangan yang tersaji di atas meja, keempat raja tersebut bertepuk tangan setelah para penari mengakhiri penampilan mereka.
Penampilan berikutnya sudah sangat ditunggu-tunggu. Secara bergantian, Putri Matahari, Putri Bulan, dan Putri Bintang akan menunjukkan kebolehan mereka.
Saat Putri Matahari memasuki panggung, sinar mentari terpancar dari seluruh tubuhnya. Di tangannya, ada sebuah biola. Putri Matahari akan menunjukkan kebolehannya dalam bermain biola. Gesekan biolanya mengalun lembut, memenuhi seluruh pelosok Kerajaan Langit. Semua tampak terhanyut dalam alunan musik tersebut.
"Alunan suara biola yang dimainkan Putri Matahari sangat memanjakan telinga," ujar Raja Langit.
"Raja Langit terlalu berlebihan dalam memuji. Putriku masih pemula. Ia baru tiga bulan belajar," ucap Raja Matahari merendah.
"Tiga bulan saja sudah sehebat ini. Putri Matahari memang memiliki bakat," kata Raja Bulan turut memuji.
"Benar, aku pun setuju. Melodi ini sungguh menenangkan hati," timpal Raja Bintang.
"Bagaimana menurut pendapatmu, putraku?" tanya Raja Langit padaku.
Aku diam tanpa kata, tak menjawab pertanyaan ayah. Pandanganku masih terfokus pada penampil di depan sana.
Putri Matahari kemudian membungkukkan tubuhnya. Tanda bahwa penampilannya telah usai. Aku tanpa sadar langsung bertepuk tangan dengan keras. Ayah langsung melihat ke arahku. Aku mengangguk, mengisyaratkan bahwa diriku suka pada penampilan Putri Matahari. Setelahnya, ayah pun bertepuk tangan, diikuti dengan orang-orang lainnya yang menyaksikan penampilan tadi.
Selanjutnya, giliran penampilan Putri Bulan. Ketika Putri Bulan naik ke atas panggung, suasana tampak meredup. Tak lama kemudian, suara lembut pun mengalun. Akan tetapi, bukan dari alat musik. Putri Bulan rupanya pandai bernyanyi. Ia memiliki suara yang indah. Alunan lembut suaranya menyejukkan hati para pendengarnya.
Aku tak sadar bahwa diriku telah terhanyut dalam alunan suara indah itu sampai akhirnya Putri Bulan berhenti bersenandung. Ingin rasanya aku mendengarkan suaranya lagi. Karena keinginan tersebut, aku pun lantas berdiri dari dudukku, membungkukkan sedikit badan ke arahnya, menandakan bahwa diriku menyukai penampilannya.
"Putri Bulan memang hebat. Akhirnya aku bisa mendengar langsung suara merdunya itu," ucap Raja Langit. Perkataan ayah langsung diikuti dengan anggukan kepala dari Raja Matahari dan Raja Bintang.
Penampilan berikutnya adalah penampilan dari Putri Bintang. Tubuh berkelap-kelip Putri Bintang bergerak ke kanan dan ke kiri. Badannya sangat lincah, menari-nari di atas panggung. Dayang-dayang Putri Bintang membentuk lingkaran, memenuhi bagian terluar panggung. Dari tubuh para dayang tersebut juga terpancar kelap-kelip cahaya. Pemandangan tersebut terlihat sangat indah jika disaksikan dari tempatku saat ini. Putri Bintang sungguh sangat pintar memanfaatkan kelebihannya untuk menghibur para raja yang hadir. Tak cukup sampai di sana, perlahan ia mendekat ke arahku.
Aku terkesima melihat dirinya dari dekat.
"Pangeran Langit, sudikah kau ikut menari denganku di panggung?" tanyanya ketika jarak kami hanya lima langkah.
Aku tak mampu menolak ajakan tersebut. Kuikuti dirinya berjalan menuju ke arah panggung. Diriku yang tak terlalu pandai menari, hanya bisa berusaha mengimbangi gerakan lincahnya itu. Napasku agak tersengal-sengal saat musik pengiring berhenti.
Tak lama kemudian, Putri Bintang membungkuk ke arahku "Terima kasih karena telah menemaniku menari, Pangeran," ucapnya.
Aku pun turut membungkuk ke arahnya, berterima kasih lantaran dirinya turut mengajakku terlibat dalam penampilannya.
Aku lantas mengajaknya menuju ke tempat para putri lainnya duduk.
"Tarianmu tidak terlalu buruk, anakku," ucap ayah saat aku sampai di tempat dudukku.
"Itu karena Putri Bintang membimbingku."
"Ha ha ha, maafkan putriku yang memintamu ikut menari, Pangeran," kata Raja Bintang.
"Aku yang seharusnya berterima kasih karena Putri Bintang mau mengajakku menari bersama."
"Aku sangat terhibur setelah melihat penampilan dari Putri Matahari, Putri Bulan, dan Putri Bintang. Mereka masing-masing telah menunjukkan kemampuan yang sangat luar biasa. Terima kasih atas penampilannya," Raja Langit sekali lagi memberikan tepukan tangan meriah untuk para putri. "Bukan hanya diriku saja, aku lihat anakku juga sangat terhibur dengan penampilan para putri. Bukankah begitu, anakku?"
Aku mengangguk, tanda setuju. Tentu aku tak bisa menutupi rasa takjub setelah melihat penampilan ketiga putri tadi. Setelah melihat penampilan mereka, bukannya terbantu, aku malah merasa kesulitan. Pasalnya, sebelum pesta hari ini berakhir, aku harus memilih salah satu di antara mereka untuk menjadi tunanganku. Ya, hanya satu. Sungguh tugas yang sangat berat bagiku. Bagaimana tidak? Bukan hanya terkesima setelah melihat penampilan mereka bertiga, namun aku juga terpesona dengan sosok ketiganya.
Putri Matahari memiliki tampilan ceria. Keberadaannya membuat orang-orang di sekitarnya terhibur oleh kehangatan sifatnya.
Putri Bulan adalah sosok yang lembut. Dirinya memiliki mata yang mampu untuk meneduhkan hati orang-orang di sekelilingnya.
Putri Bintang berpenampilan elegan. Sosoknya sangat bersahaja, mempunyai aura yang luar biasa.
"Bagaimana anakku? Bukankah sudah saatnya dirimu untuk menentukan pilihan?" ujar Ratu Langit.
Ayah dan ibu sudah memberi isyarat padaku untuk membuat keputusan.
'Oh, adakah yang bisa membantuku? Aku tidak bisa memilih satu di antara mereka bertiga! Seandainya aku diberi lebih banyak waktu.'
DAR DAR DAR!
Suara keras itu terdengar dengan sangat tiba-tiba. Memekikkan telinga setiap orang yang mendengarnya. Aku menutup telingaku yang tak kuat mendengar suara tersebut.
Suara ini, jangan-jangan...
"Pesta yang sangat meriah, Raja Langit."
Dengan mata yang setengah tertutup, aku dapat melihat ayah yang terkejut saat melihat ke arah sumber suara.
"Raja Petir, kau rupanya," ucap ayah diiringi dengan senyuman getir.
"Iya, ini aku. Aku Raja Petir, orang yang lupa kau undang di saat berbahagia seperti sekarang ini."
Seketika, aku dapat melihat kepanikan terpancar dari raut wajah ayah.
"A..aku de..ngar kau sii..buk"
"Apa maksudmu Raja Langit? Sesibuk apa pun diriku, aku tidak mungkin tidak hadir di saat penting seperti sekarang ini!" terdengar jelas nada penuh amarah dari suara Raja Petir. "Bagaimana kau bisa tidak mengundangku dan putriku di hari pemilihan pasangan anakmu? Apa kau meremehkan aku dan kerajaanku?"
DAR DAR DAR!
Suara keras terdengar kembali. Kali ini, disertai dengan kilatan yang menyilaukan mata. Raja Petir tampaknya sedang sangat murka.
Raja Petir mendekat ke arah kami. Melihat hal itu, para pengawal dengan cekatan berusaha menghalanginya.
Raja Petir tampak tak senang dihalangi oleh para pengawal tersebut. "Raja Langit, lihatlah para pengawalmu berbuat tidak sopan. Mereka berusaha menghalangi langkahku!"
"Tenanglah, Raja Petir. Tampaknya kau sedang sangat marah. Bukankah lebih baik kita bicarakan dulu semuanya dengan kepala dingin?"
"Marah? Bagaimana aku tidak marah setelah melihat perlakuanmu ini?"
DDAAARRRR!!!
Langit bergetar keras dan mendadak menjadi gelap gulita.
Kemarahan Raja Petir menimbulkan suara keras yang membuat langit bergetar dan mendadak menjadi gelap gulita. Situasi hingar-bingar saat pesta kini telah berubah seratus delapan puluh derajat. Suasana mencekam menyelimuti semua orang."Kau sudah salah paham, Raja Petir. Aku sama sekali tidak punya maksud untuk meremehkan dirimu," Raja Langit tampak tengah berusaha keras untuk menenangkan amarah Raja Petir."Kau tidak mengundangku dan putriku ke acaramu, ini sudah menjadi bukti kuat bahwa kau merendahkanku dan Kerajaan Petir! Kau menganggap putriku tidak layak bersanding dengan putramu. Iya, kan?""Bukan begitu, aku ha..ha..han...nya…"Kilat kembali terlihat. Keragu-raguan ayah dalam menjawab pertanyaan Raja Petir tampaknya semakin memperkeruh suasana.
Aku dapat merasakan tubuhku meluncur turun. Jauh. Sangat jauh. Ke bawah.Bluk!Akhirnya, tubuhku berhenti melayang."Pangeran, kau tidak apa-apa?"Aku dengan perlahan mencoba untuk membuka mata. Kudapati kedua pengawalku yang melihatku dengan tatapan penuh rasa khawatir."Aku tidak apa-apa," jawabku akhirnya.Aku pun bangun, melihat ke sekeliling. Mencoba untuk menerka-nerka di mana gerangan kami berada saat ini.Tempat ini sangat asing bagiku. Hari sedang gelap namun banyak benda bergerak yang mengeluarkan cahaya.TIN TIINN TIIINNN!!!
Aku memejamkan mataku. Cukup lama. Aku mencoba untuk mencerna perkataan pelayan tersebut."Ini bukan Kerajaan Langit, ini bumi!"Kata-katanya itu terus berputar di kepalaku. Bumi. Akhirnya teka-teki ini terjawab. Rupanya, aku terjatuh ke bumi! Mengapa tidak terpikirkan sebelumnya olehku?Aku pun membuka mataku lebar-lebar. Berharap tubuhku dapat kembali ke Kerajaan Langit. Sayangnya, aku masih berada di tempat yang sama. Di hadapanku, pelayan itu menatap lekat diriku. Kulihat kilatan kemarahan di kedua bola matanya. Aku pun terkejut melihat hal tersebut. Kilatan mata itu membuat diriku teringat kembali dengan Raja Petir. Bulu kudukku pun langsung merinding dibuatnya."Ada apa ini ribut-ribut?" tanya seorang pria bertubuh jangkung.
Aku berlari dan terus berlari. Seorang diri. Dua pengawalku berada entah di mana. Sekelilingku gelap. Aku tak mampu melihat dengan jelas jalan di depanku. Meski begitu, aku tetap terus berlari.Rasanya seperti berada di dalam api. Aku merasa sekujur tubuhku sangat panas."Pangeran… Pangeran…"Aku mendengar suara pengawal yang berulang kali memanggil namaku. Terus kulangkahkan kaki, berlari mencari sumber suara."Pangeran, kau mendengarku?"Berulang kali aku tolehkan kepala ke kanan dan ke kiri. Aneh, aku tak dapat menemukan sumber suara itu. Di mana sebenarnya mereka?"Hei, cepat bangun!"Suara melengking itu
Keesokan harinya, aku terbangun dengan keadaan yang jauh lebih baik. Badanku tidak terasa panas lagi. Aku tidur dengan sangat nyenyak kemarin. Aku bersyukur karena meskipun ranjang yang kutiduri saat ini tidak seempuk ranjangku di Kerajaan Langit, setidaknya aku tidak bermimpi buruk. Aku malah tidak terbangun sampai akhirnya suara berisik Nari menyadarkanku dari tidur.“Suhu tubuhmu sudah normal. Bangunlah dan makan sarapanmu,” ujar Nari.Aku langsung beranjak dari ranjang. Perutku sudah sangat keroncongan. Kami berempat duduk melingkar mengelilingi meja bundar di ruangan tersebut. Langsung kusantap dengan lahap makanan yang disodorkan oleh Nari. Makanan di mangkukku sedikit demi sedikit langsung berpindah ke dalam perutku.“Bagaimana, makanan buatanku enak, kan?” tanya Nari.
Setelah berpisah dengan Nari, aku melanjutkan perjalanan menuju Kerajaan Langit bersama dengan Kenji dan Masaki. Kami bertiga terus melangkah meski tak tahu betul arah mana yang harus dituju agar bisa kembali ke Kerajaan Langit.Sepanjang perjalanan, aku memperhatikan tingkah laku manusia di sekeliling. Mereka semua tampak aneh di mataku. Bagaimana tidak? Kebanyakan dari mereka menggenggam benda kecil berbentuk persegi panjang. Pria dewasa berpakaian rapi mendekatkan benda tersebut di telinganya kemudian terus berbicara seorang diri, padahal tidak ada orang di hadapannya. Dua orang gadis duduk di taman sambil memegang benda serupa. Mereka tiba-tiba tertawa keras sambil menunjuk-nunjuk ke arah benda tersebut. Tak hanya sampai di situ, di bangku taman lainnya ada seorang anak kecil. Awalnya, sang anak menangis kencang, namun tiba-tiba tangisan tersebut berubah menjadi senyum begitu sang ayah menyodorkan bend
Benda yang kami naiki melaju menyusuri jalan. Terkadang, benda itu berhenti sebentar namun kembali melaju saat lampu di pinggir jalan berubah warna menjadi hijau. Benda yang kami tumpangi ini sangat menarik perhatianku. Menaiki benda ini lebih praktis daripada menaiki kuda kerajaan.Tak lama kemudian, benda itu berhenti lagi. Pria di depan mengatakan bahwa kami sudah sampai di tujuan. Aku melihat keluar dari jendela. Terlihat bangunan menjulang tinggi. Kami pun tak sabar untuk keluar dari benda ini dan memanjat bangunan tinggi tersebut.“Biayanya 2.435 yen,” ujar pria di kursi depan.Aku memandang Kenji dan Masaki secara bergantian. Kami tidak paham dengan maksud pria tersebut.Pria dewasa yang awalnya berbicara dengan lembut itu mendadak berubah sikap. Raut
Nari berdiri di hadapan kami bertiga dengan kedua tangan terlipat di dada. Ia berulang kali menarik napas lalu mengembuskannya kembali.“Kalian sadar apa yang telah kalian lakukan tadi itu salah?” ujar Nari.Aku sadar kalau pertanyaannya tadi adalah kalimat pembuka dari omelannya.“Apanya yang salah? Kami cuma makan onigiri,” jawabku dengan nada tidak bersalah.“Aku kan sudah membekali kalian dengan onigiri!”“Iya, tapi kau hanya memberikan kami 3 onigiri sehingga masing-masing dari kami hanya bisa makan satu saja sedangkan kami tadi sudah berlari jauh, menghindar dari kejaran pria sangar,” kataku membela diri.“Hah? Aku tidak