Share

12. Selamat Tinggal Bapak

-kepergian bapak-

         Waktu telah menunjukkan di angka sepuluh malam, dan di malam inilah kumulai bersandar pada sebuah dipan dan mulai terbaring di atas ranjang. Kumulai terdiam serta merenungi segala apa yang telah terjadi, baik di saat dulu hingga sampai saat ini. Kucoba untuk bertanya pada hati yang terdalam atas sebuah perjalanan cerita kehidupanku, ternyata dari semua yang pernah kualami, tak sebanding dengan apa yang telah Aisy rasakan. Dan sampai saat ini, aku akan tetap mencari tahu mengenai kesalahan apa yang pernah kulakukan padanya, hingga pada akhirnya dirinya sudah tidak sudi lagi untuk berteman denganku.

          Aku bisa saja pergi, dan mulai menghilang dari kehidupannya, namun mengapa diriku tak sanggup walau harus melangkah setapak. Mungkin semua itu karena diriku belum bisa melupakan segala kenangan yang dulu pernah kita lakukan bersama. Rasa sedih sudah pasti kurasakan, namun aku akan tetap berusaha membangun senyuman ini walau harus terpaksa. Semua itu karena diriku yang masih memiliki rasa penuh harap pada dirinya.

          Mataku mulai terpejam dengan perlahan, sebagai tanda bahwa rasa kantuk itu telah datang. Namun kumulai terbangun saat merasakan sebuah getaran pada kepalaku. Kumulai membuka mata ini sedikit lalu mengambil handphone yang kutaruh di dekat bantal. Sebanyak tujuh kali missed call telah kudapati, dan itu berasal dari nomer ibunya Aisy.

           “Mengapa beliau menelponku malam-malam, pasti ada yang tidak beres nih.” Batinku yang membuatku merasa gugup dan penasaran.

           “Halo Assalamualaikum. Ada apa ya buk?” ucapku saat menelepon balik ke nomer beliau.

           “Aldi, cepat kamu ke sini nak, kondisi bapak sangat kritis malam ini.” pinta beliau yang membuat detak jantungku berdetak begitu cepat.

          “Baik buk, Aldi akan segera ke sana sekarang.” Jawabku.

          Dengan sigap, kumulai berganti baju lalu menancap gas motor dengan sangat kencang. Rasa cemas, gelisah serta khawatir sudah pasti kurasakan. Aku sama sekali tak habis pikir, mengapa hal ini bisa terjadi. Entahlah, semoga tidak sampai terjadi apa-apa pada beliau.

          “Ibuk.” Ucapku saat tiba di rumah sakit ini.

          “Bapak kenapa buk." tanyaku dengan ekspresi yang sangat gugup serta cemas.

          “Kondisi kesehatan bapak semakin memburuk Aldi, dan sepertinya bapak mulai kritis." jawab ibu dengan penuh tangis.

          "Ya sudah ibuk yang sabar yaa, sekarang bapak di mana?" tanyaku.

          "Bapak dibawa ke ruang ICU Di, karena kondisinya juga sangat memprihatinkan." jawab kembali ibu.

          "Astaghfirullah hal Adzim. Semoga bapak tidak sampai kenapa-kenapa." imbuhku.

          Sudah hampir tiga jam aku dan beliau telah menunggu kabar tentang kondisi bapak. Dan mungkin, ini sudah menjadi takdir yang tak bisa ditolak. Jam dua pagi, sebuah pernyataan mulai terlontarkan dari mulut seorang dokter saat diriku menenangkan ibu. Dokter telah menyatakan, bahwa di waktu ini juga, bapak baru saja menghembuskan nafas terakhirnya. Hal itulah yang secara spontan membuat ibu menangis dengan histeris. Begitu juga denganku, aku tak mampu lagi membendung air mata ini, hingga seluruh pipi mulai terbasahi oleh hangatnya air mata.

          “Yaa Allah, begitu cepat Engkau memanggil bapak, sedangkan saat ini Aisy masih membutuhkan kasih sayangnya. Semoga Engkau tempatkan di tempat yang baik disisi-Mu.” Batinku.

-Aisy kembali-

          Dan waktu pagi pun telah tiba. Jenazah bapak mulai ditaruh di tengah ruang tamu. Orang-orang pun mulai berdatangan, dan memadati tempat ini. Di sekeliling rumah, orang-orang mulai duduk dan membacakan surat Yaasiin. Aku masih saja menangis, dan tanpa disadari, Aisy pun mulai tiba di tempat ini. Aisy mulai kaget dan betapa terkejutnya dia menyikapi keadaan yang penuh akan banyak orang. Tanpa banyak bergerak, Aisy langsung berlari menuju jenazah bapaknya. Tangisnya mulai terpecah, dan dengan histerisnya dia menangis di atas pusar bapaknya. Dan kumulai prihatin saat orang-orang di sekelilingnya menggelengkan kepala, seolah diriku merasa bahwa Aisy sudah dicap oleh para tetangga sebagai anak yang durhaka.

           “Bapak bangun pak, maafkan semua kesalahan Aisy selama ini pak, Jangan tinggalin Aisy pak.” Rintih dan tangisnya di hadapan jenazah bapak.

          Dua jam pun telah berlalu, dan kita semua beserta seluruh warga mulai berangkat menuju pemakaman umum yang jaraknya juga tak begitu dekat. Saat jenazah sudah sampai di pekuburan, dengan perlahan jenazah bapak mulai diturunkan. Aku pun sudah bersiap di liang lahat untuk meletakkan jenazah bapak lalu segera aku kumandangkan adzan. Kini jenazah beliau sudah dikuburkan, namun sesuangguhnya diriku tak tega melihat Aisy yang terus berderai air matanya, begitu juga dengan ibunya. Entahlah, semoga ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi Aisy, agar dia dapat berubah sebagaimana seorang anak yang patuh terhadap orang tua.

          Tak berselang lama, para warga segera beranjak meninggalkan tempat pemakaman ini yang hanya menyisakan kita bertiga. Dalam hati, kuhanya bisa berkata “selamat tinggal bapak.”

           “Ya sudah Aisy, kita segera pulang yuk.” Pintaku.

           “Pulang ke mana? Ke rumahmu yang jelek dan kumuh itu.” Bantahnya dengan sedikit kesal.

           “Udah Aisy udah. Baru aja kita nganter jenazah bapak, kok masih sempet-sempetnya kamu marah-marah.” Sahut ibunya.

          Mungkin saja Aisy merasa sangat sedih atas kepergian bapaknya, sehingga dia harus melampiaskan amarahnya untukku. Lalu kita bertiga kembali pulang menuju rumah dengan membawa perasaan yang cukup menyedihkan. Entahlah, sebaiknya aku tak perlu lagi untuk merisaukan hal tersebut, karena aku menyadari jika ini hanyalah cobaan.

          Dan kuhanya bisa terdiam sepi, tak berkutik sepatah katapun. Kuhanya bisa memandangi dirinya dari jarak jauh, meski diriku tak bisa lagi untuk berkomunikasi dengannya. Semua itu karena diriku telah menyadari sepenuhnya, bahwa kehadiranku di hadapannya hanyalah sebagai benalu, meski aku telah berniat baik untuknya sementara dia tak pernah menganggapku ada.

          Matahari pun mulai terbenam, dan mulai menyembunyikan sinarnya. Kubaru saja datang ke rumahnya sekedar ingin membantu persiapan ibunya, karena nanti usai Maghrib akan ada acara tahlilan. Dari jarak yang tak terlalu jauh, kumulai memandangi dirinya yang masih terduduk dan hanya termenung sendiri di ujung rumahnya. Dengan bersandarkan tembok, dengan perlahan kumulai mendekatinya dengan maksud untuk menghiburnya, agar kesedihan yang dia alami, bisa segera rapuh.

           “Assalamualaikum Aisy.” Sapaku, namun dia hanya terdiam tak menjawab.

           “Aisy, nggak baik terus-terus nangisin orang yang sudah mati, lebih baik kita doain saja yuk.” Pintaku.

           “Ahhh, kamu itu tau apa sih soal aku.” Bantahnya.

           “Iya Aisy, aku ngerti perasaanmu kamu kok. Sekarang udah adzan Maghrib, sebaiknya kita shalat bareng-bareng.” seruku.

           “Hmmm, buat apa aku shalat, kalau hal itu nggak bisa menjamin aku bahagia.” Tukasnya.

           “Aisy, nggak baik ngomong kayak gitu, karena shalat itu merupakan kewajiban. Insya Allah dengan kita shalat, hati kita pasti akan lebih terasa tenang.” Imbuhku.

           “Hufff, ya udah ayo.” Jawabnya dengan sedikit cuek.

          “Alhamdulillah.” Batinku.

          Lalu kita berdua menjalani shalat Maghrib dengan berjamaah. Syukurlah, kumerasa sangat senang di hari ini, karena Aisy bisa menjalani kewajiban ibadah shalat. Kusangat berharap, agar ke depannya dia bisa menjalani shalat tanpa harus ada aku di sampingnya. Ya Allah, andaikan diriku sudah menikah dengannya, pasti dia akan senantiasa kubimbing untuk senantiasa beribadah. Tetapi sayangnya, diriku bukanlah siapa-siapa untuknya, jangankan memberi dia kebahagiaan, membuatnya tersenyum sedikit saja, belum tentu aku bisa. Namun entah bagaimanapun caranya, aku akan tetap mencoba dan terus mencoba untuk membuatnya mengerti, serta memahami bahwa sebenarnya diriku memiliki niat baik terhadapnya, karena kumenyayangi dirinya itu apa adanya, bukan karena ada apa-apanya dari apa yang dia punya.

          Dan keesokan hari pun telah tiba, aku masih menyempatkan waktu ke rumahnya, semua tidak lain karena kuingin meringankan beban ibunya usai ditinggal oleh suaminya, selain itu kujuga berniat untuk menghibur Aisy agar tidak terlalu larut akan kesedihan yang dia alami setiap hari. Kehilangan seseorang itu sangatlah berat, dan sungguh sangat menyakitkan, apalagi jika yang ditinggalkan itu adalah salah satu keluarga yang sangat kucintai. Namun harus bagaimana lagi, sebagai manusia biasa mungkin kita hanya bisa pasrah, karena kita juga tak bisa menolak takdir sedikitpun, namun kita juga harus yakin sepenuh hati, bahwa di balik semua itu, Allah pasti punya rencana baik yang tak pernah kita tahu.

-harapanku-

          "Ibuk, Aldi berangkat dulu ya." ucapku pada ibu saat berpamitan untuk pergi ceramah di waktu sore.

          "Iya Aldi, hati-hati dalam menyampaikan ilmu yaa, karena hal itu akan jadi pertanggung jawaban di hadapan Allah." jawab ibu.

          "Iya buk, sudah pasti Aldi akan lebih teliti sebelum menyampaikan ilmu kepada para muslimin muslimat. Ya sudah buk, Aldi pamit, Assalamualaikum." ucapku kembali.

          "Walaikum salam, hati-hati nak." jawab kembali ibu.

          Waktu tak berselang lama, kini diriku telah tiba di masjid Quba. Alhamdulillah kedatanganku telah disambut baik oleh banyak orang, dan kini saatnya diriku bersiap-siap dalam menyampaikan ilmu.

          "Hadirin para muslimin dan muslimat yang dirahmati oleh Allah, saat ini kita hidup di sebuah zaman di mana waktu telah berjalan semakin cepat. Satu tahun terasa sebulan, sebulan terasa seminggu, dan seminggu terasa beberapa hari saja. Inilah yang merupakan ciri-ciri dari sebuah tanda-tanda akan dekatnya kita pada hari kiamat. Maka dari itu, sudah selayaknya bagi kita untuk mempersiapkan diri, dalam membekali banyak amalan-amalan yang akan menyelamatkan kita di hari kiamat kelak, ..."

          Alhamdulillah, baru saja aku berceramah di hadapan banyak orang, semoga bisa memberi manfaat untukku dan juga para umat. Menyikapi apa yang baru saja kulakukan, sebenarnya kumasih memiliki satu harapan untuk mengedukasi Aisy. Ingin rasanya diriku memberikan dia banyak ilmu yang berkaitan dengan agama, karena diriku berharap agar Aisy bisa menjadi pribadi perempuan yang salehah nantinya. Tiada lagi rasa harapku selain hanya kepada Allah SWT, karena kuyakin selama diriku tidak berhenti untuk terus berdoa, Allah pasti akan membukakan jalan terbaik, karena yang sebenarnya kuharapkan hanyalah satu, Allah bisa mempersatukan diriku dengan Aisy suatu saat nanti.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status