Share

13. Karena Kucinta

-teraniaya-

          Aku baru saja melangkahkan kaki, dan mulai keluar dari masjid usai mengisi ceramah di masjid desa sebelah. Ceramah yang baru saja kusampaikan, bertemakan dengan kesabaran seorang suami, yang diambil dari dari kitab Jawahirul Lu’luiyyah. Ya, meskipun diriku belum berumah tangga, setidaknya kusudah mulai memahami dan mulai mengerti, agar nanti jika diriku sudah menikah, kusudah memiliki kemampuan serta ilmu yang cukup untuk membangun rumah tangga. Kumulai menaiki motor usai berpamitan dengan pihak masjid serta beberapa jamaah yang masih belum pulang. Saat dalam perjalanan pulang, ada rasa yang sedikit tidak enak di saatku melaju. Entahlah, mungkin saja diriku sedang merasa tidak enak badan, sehingga apapun suasana di sekelilingku ini tak begitu nyaman untuk dirasakan.

          Sepuluh menit kemudian, kumulai memasuki gang rumahku yang sedikit gelap. Tak biasanya jalanan ini gelap seperti ini, entah mungkin saja lampunya sudah tiba waktunya untuk diganti. Tak lama akan hal itu, diriku mulai dihadang oleh tiga orang yang berpakaian hitam layaknya seorang preman.

           “Hey, berhenti!” seru salah seorang preman itu.

           “Maaf bang ini ada apa ya?” tanyaku dengan penuh keheranan.

           “Loe yang namanya Aldi kan?” Tanya preman itu.

           “Iya emang ini ada apa ya bang?” tanyaku kembali.

           “Ahhh udah nggak usah banyak bacot loe.” Tukas preman itu.

          Tak banyak waktu, tiga orang preman itu langsung menghajarku. Perutku mulai ditendang, wajahku dihantam lalu tubuhku di injak-injak dan kakiku dipukul oleh sebuah balok kayu besar. Tak lama mereka menghajarku, dalam waktu lima menit mereka pun mulai pergi meninggalkan diriku yang mulai terkapar. Aku tak mampu untuk bergerak, dan kakiku tak mampu untuk kembali berdiri dalam membangkitkan tubuh ini. Karena begitu terasa sakit, pada akhirnya kumulai pingsan. Waktu tak berjalan lama, salah seorang warga menemukanku yang tergeletak lemas di jalanan ini.

           “Yaa ampun Astaghfirullah hal adzim, ini kan mas Aldi.” Sontaknya dengan kaget.

           “Tolong!! Tolong!!!.” Teriaknya kepada warga.

          Warga pun mulai berdatangan, dan mulai membopongku menuju rumah yang jaraknya tak begitu jauh. Saat tiba di rumah, ibu begitu shock melihat tubuhku yang mulai terlihat memar.

           “Astaghfirullah hal adzim ya Allah, kamu kenapa Di, kok bisa babak belur seperti ini.” Keluh ibu.

          “Tadi Aldi dikeroyok sama sekelompok preman buk, nggak tahu apa masalahnya.” Jawabku.

          Ibu mulai memijat tubuhku serta membersihkan beberapa luka yang masih membekas di pipiku. Tak begitu dalam rasa sakit yang saat ini kurasakan, kecuali kaki ini yang masih terasa sakit bila digerakkan. Tak ada hal lagi yang bisa kulakukan kecuali hanya tidur dan mulai beristirahat.

          Satu hari pun telah berlalu, kumulai terbangun saat alarm berdering pada pukul setengah tiga pagi. Kumulai bangkit dari tempat tidur, namun tubuh ini masih terasa sakit. Kucoba untuk menguatkan diri meski kaki ini masih terasa memar, sehingga terpaksa diriku menjalani shalat dengan cara duduk. Dan ketika waktu pagi telah datang menyambut, ibu mulai memasuki kamarku dan mulai melihat kondisiku yang mulai melemah.

           “Gimana kondisimu sekarang Di?” Tanya ibu.

           “Yahh, kalau badan masih agak mending buk, tapi kaki Aldi terasa sakit bila digerakkan.” Jawabku.

           “Hemm, ya sudah nanti ibuk antar kamu ke tukang pijat ya Di!” pinta ibu.

           “Baiklah buk.” Jawabku.

          Kumulai menikmati sarapan pagi yang sudah disiapkan oleh ibu, usai sarapan aku segera meluangkan waktu untuk duduk sejenak di teras rumah. Seperti biasanya hal ini selalu kulakukan agar tidak terasa jenuh serta sebagai upaya untuk menghibur diri.

          Mentari mulai memancarkan sinarnya, dan mulai memberikan kehangatan untukku. Bunga-bunga mulai tersenyum dan puluhan burung mulai berkicau saat bertengger di atas ranting-ranting pepohonan yang lebat. Begitu juga dengan diriku, kumulai mencoba melukis senyuman baru pada wajahku, agar kudapat melupakan sejenak rasa sakit pada tubuh yang saat ini kuderita. Memang sendiri itu tak enak, apalagi di usia yang sudah mulai dewasa namun seorang permaisuri sebagai pendamping hidup belum tiba saatnya untuk datang.

          Dalam kesendirian ini aku kembali berpikir tentang rasa sakit yang telah kualami saat ini. Kejadian tadi malam sungguh tidak masuk akal. Bayangkan saja, sekelompok preman menghajarku habis-habisan lantas mereka pergi begitu saja tanpa menjarah barang-barang yang kubawa. Aku mulai curiga, jangan-jangan dibalik semua ini ada otak yang menyuruh preman-preman tersebut untuk menghajarku. Ini tidak bisa dibiarkan begitu saja, secepatnya kuharus menyelidiki, tentang siapakah pelaku dibalik semua ini.

          Kucoba untuk berdiri, dan mulai menggerakkan tubuh ini dengan perlahan. Saat aku berdiri, kumulai terjatuh. Ya ampun, ternyata cukup sakit juga bila kaki ini dibuat untuk berjalan. Entahlah, setidaknya aku akan bersabar untuk hari-hari ke depan, mungkin tak sampai dua minggu juga akan sembuh.

-kebun teh-

          Terkadang sendiri itu menyakitkan, apalagi jika memendam rasa yang cukup dalam. Aku bagaikan mawar hitam yang tumbuh dalam sebuah pekarangan, tiada satupun bunga yang mekar. Sehingga hanyalah kehampaan, serta kesedihan yang selalu menekan. Hati kecilku pun mulai berkata, seakan ada dorongan untuk memaksa agar diriku bisa cepat mendapatkan sang pujaan hati. Aku menyadari akan hal itu, tetapi dalam waktu yang dekat ini, sepertinya juga tidak mungkin. Namun aku akan tetap bersabar dalam menyikapi keadaan ini, karena dibalik derasnya hujan dan badai, pasti akan hadir sebuah pelangi.

           “Aldiiiii." panggil Aisy dari kejauhan saat diriku melamun dan bersandar pada tembok.

           “Ehhh Aisy, ngagetin orang aja." jawabku sambil tersenyum.

           “Abisss, kamu dari tadi ngelamun aja sihh, bikin aku bete aja." jawabnya sambil sedikit cemberut.

           “Hehehe, iya-iya." balasku.

           “Yaudah main yuk!" serunya.

           “Hemm, emang mau main ke mana mendung-mendung begini. Awas hujan lohh." tukasku.

           “Ke kebun teh sebelah. Yaudah buruan yuk nggak usah bengong!" serunya kembali.

           “Yaudah, aku izin sama ibu dulu yaa." jawabku.

          Setelah mendapat izin dari ibu, aku segera mengeluarkan sepeda dari dalam rumah. Aku dan Aisy mulai melakukan perjalanan yang kira-kira jaraknya dapat ditempuh sekitar lima kilometer dari rumah. Perjalanan kali ini sungguh sangat menyenangkan, di mana aku dan Aisy bisa saling berbicara di atas dua roda ini. Selain itu, di kiri maupun kanan penuh dengan pemandangan alam yang sangat indah, ada persawahan yang mulai menguning juga ada ribuan burung sriti terbang di atasnya.

          Tak sampai tiga puluh menit, kita akhirnya telah tiba di kebun teh ini. Aku dan dia segera memarkir sepeda lalu kita mulai berjalan menyusuri kebun yang indah ini. Kita mulai berlari-lari kecil sambil mengejar kupu-kupu yang terlintas di depan kita. Akan tetapi, semakin kita kejar kupu-kupu itu, semakin jauh pula kupu-kupu itu pergi. Kita berdua kembali berlari, namun kumulai lelah sehingga terpaksa diriku beristirahat sejenak, dan mulai bersandar di batang pohon.

           “Ahhh Aldi kenapa berhenti sih.” Ucap Aisy.

           “Bentar Aisy, aku capek banget nih.” Jawabku sambil mengusap keringat.

           “Hemmm kamu, tiap kali diajak main selalu aja dikit-dikit capek.” Keluh Aisy sambil cemberut.

          Lalu Aisy terduduk di depanku, namun dia hanya terdiam sayu, mungkin saja dia sedikit merasa kesal akan diriku yang tak bisa membuatnya gembira saat kita main bersama. Akan tetapi diriku tahu akan karakter Aisy, seberapa besar dia marah padaku, tak lama lagi dia juga pasti tersenyum. Tanpa sengaja, sepertinya aku telah menemukan sesuatu di belakangnya. Kumulai penasaran akan hal itu, sehingga mau tidak mau kuharus bicara.

-mahkota-

           “Aisy, sepertinya aku melihat sesuatu di belakang kamu.” Ucapku.

           “Apaan sih?” tanyanya.

          Lalu aku berdiri dan mulai kuambil benda itu. Ternyata itu adalah mahkota yang dibuat dari serabut serta terhiasi penuh dengan bunga-bunga.

          “Wahh apaan tuh Di?” Tanya Aisy.

           “Aku juga nggak tahu ini apa, tapi kalau dilihat dari bentuknya. Ini sebuah mahkota yang terbuat dari hiasan bunga.” Jawabku.

           “Indah sekali yaa.” Imbuh Aisy.

           “Iya nih, coba aku pasang di kepalamu.” Pintaku.

           “Emmm, boleh-boleh.” Jawabnya kembali.

          Dengan perlahan, kumulai memasangkan mahkota ini padanya. Subhanallah, seumur hidup selama diriku kenal dengannya, tak pernah kulihat sebuah keindahan maupun kecantikan yang ada pada dirinya saat ini, begitu terlihat berbeda dari wajahnya yang dulu. Aku layaknya pangeran yang siap mengantarkan Cinderella menuju tempat tertinggi, di mana di sana kita akan menuai benih-benih cinta dan kebahagiaan.

          “Tak perlu menjadi seorang raja untuk bisa kupasangkan mahkota indah ini padamu, karena sesungguhnya ketulusan hatiku hanya untuk dirimu seorang.” Batinku dalam hati.

          Aku dan dirinya mulai terdiam dan saling menatap mata, namun tiba-tiba suara rintikan air mulai terdengar dengan perlahan. Ternyata hujan telah hadir dalam kebersamaan kita. Rintikan hujan itu semakin lama semakin kencang. Derasnya hujan yang membasahi bumi ini membuat kita berdua berlari kencang menuju tempat untuk bisa bernaung. Kita terus berlari kencang sambil berteriak dan tertawa bahagia. Hujan kali ini sungguh berbeda dari biasanya, begitu syahdu sekali dari yang kurasakan sebelumnya. Namun ketika jalanan ini mulai menurun, diriku kembali kelelahan hingga pada akhirnya kuterjatuh, blukkkkk.

           “Aldi.” Panggil ibu.

           “Emm iya bu.” Jawabku.

           “Ayo katanya mau pijat, kok malah tiduran di sini?” Tanya ibu.

           “Iya buk maaf Aldi ketiduran, ya sudah sebentar lagi ya.” Jawabku.

           “Baiklah, ibuk siapin sarapan dulu.” Imbuh ibu kembali.

          Ya Allah, begitu bahagianya diriku hari ini, bersama menikmati keindahan alam bersama Aisy di kebun teh. Ya, meskipun itu hanyalah mimpi sejenak yang baru saja kurasakan, namun hal tersebut telah mampu membawaku ke dunia lain. Entahlah, mungkin lebih baik diriku bersabar saja, karena mendapatkan hati seseorang itu juga tidak semudah dari yang kubayangkan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status