“Mas Iwang, pindahkan belanjaan mama ke bagasi mobilku, yah! Setelah itu, Mas Iwang bisa pulang dengan mobil Lenita.”“Baik, Mas!” Iwang mengangguk patuh melakukan perintah majikan mudanya.“E—ehh! Jun! Tapi belanjaan Mama pasti bau dan membuat bagasi mobilmu amis!” Wenti ingat dia tadi membeli ikan dan daging selain sayur-sayuran.“Tak perlu cemas untuk hal kecil begitu, Ma. Kalau bau dan amis, kan bisa dibawa ke tempat cuci mobil.” Juna mengentengkan kecemasan Wenti.Wenti tidak berkutik lagi karena desakan Juna. Dia pun patuh digiring ke kabin depan mobil baru sang menantu dan didudukkan di kursi navigasi.Setelahnya, Juna masuk ke ruang kemudi dan tersenyum ke Wenti sebelum menyalakan mesin mobil. Meski mobil baru, karena Juna sudah melunasi semua pembayaran dan telah melengkapi segala dokumen yang dibutuhkan, maka dia bisa membawa pulang langsung.Tentu dari Juna telah mengantongi STCK atau Surat Tanda Coba Kendaraan yang telah dia urus secara cepat di Samsat kota Samanggi sehing
“Aku sudah mulai lupa apa saja yang aku alami ketika mati suri, Ma.” Akhirnya, Juna memilih untuk merahasiakan saja identitas asli dirinya. Dia tak yakin Wenti bisa menerima kejujurannya.“Oh, baiklah.” Wenti tidak mendesak ingin tahu. “Yang penting, Mama dan papamu senang karena kamu sekarang sudah lebih mau peduli dengan pekerjaan di kantor.”Juna terdiam. ‘Ya, memang sudah semestinya kalian lega dengan itu karena dulunya Arjuna sungguh tidak berguna, menjadi CEO tapi sehari-harinya hanya sibuk menempeli Lenita saja tanpa peduli dengan urusan perusahaan.’Setibanya di rumah, Juna melihat mobil Hartono yang dibawa Iwang tadi sudah memasuki garasi dan kemudian mobil pribadinya segera diparkirkan di carport.Iwang segera mengambil semua belanjaan Wenti di mobil Juna untuk dibawa ke dapur.Ketika Juna dan Wenti keluar dari mobil, mereka disambut Hartono yang tersenyum. Ini berbanding terbalik dengan Lenita yang memasang wajah cemberut.Wenti masuk bersama Hartono, sedangkan Juna dihampi
“Mana yang sakit? Hanya ini?” Juna mengoleskan obat salep luka bakar pada jari Lenita.“Ini juga. Uhh ….” Lenita menunjuk ke jari lainnya sambil bersuara manja.“Dasar lemah. Kena minyak sedikit saja sudah seheboh itu. Tsk!” Juna mengomel sembari mengoleskan lagi salep ke area yang ditunjuk istrinya.“Arghh! Pelan!” Lenita memekik pelan ketika suaminya mengoleskan salep tidak dengan cara lembut.“Sudah! Jangan manja! Besok aku ingin ayam goreng sambal ijo.” Juna menyebutkan menu yang dia inginkan sebelum dia berdiri dan pergi dari hadapan istrinya.Lenita diam sambil mulutnya berkerut. Ini adalah pertama kali baginya memasak makanan yang tergolong susah serta berat. Ikan bumbu pedas, yang membuat dia terkena cipratan minyak di beberapa area tangannya. Tidak parah, tapi bagi dia yang tidak pernah sakit gara-gara minyak, tentu saja itu merupakan hal yang berat.Meski begitu, Lenita harus menahan egonya demi bisa menyenangkan Juna. Apalagi dia tak mau dianggap payah oleh suami sendiri. H
Sebagian nyali Lenita menjadi ciut akibat tatapan tajam dan ucapan Juna. Sudah pasti makna dari ucapan itu dalam dan memuat ancaman yang tak mengenakkan bagi dia nantinya. Lenita paham itu.Maka, Lenita menelan ludahnya dan menghapus air mata di pipi dengan kasar sambil menyahut, “Ini karena kamu seenaknya bicara, Jun! Apa aku tak boleh marah?”“Aku hanya mengucapkan kalimat sederhana seperti pujian lazim pada istri dan mamaku, apakah itu salah?” Juna memiringkan kepala sembari matanya masih menyorot tajam ke Lenita.Hartono yang berdiri di antara keduanya, masih bingung. Memangnya ada masalah apa? Tak ada yang mau memberitahu dia?Sementara itu, Wenti tidak berani mendekat, karena dia paham, jika dia muncul di depan Lenita saat ini, keadaan makin runyam. Dia memilih meringkuk diam di kamar Hartono, menangis diam-diam.“Kalau aku tak suka, ya tak suka!” Lenita bersikeras. Dia benci luar biasa mendalam pada Wenti. Baginya, Wenti adalah sumber perpecahan keluarganya, penyebab ayah dan i
“Tidak.” Juna menjawab singkat. Meski tidak kembali menelusuri pekerjaannya, tapi dia masih diam tanpa melakukan apapun. Lenita bingung dengan sikap diam suaminya. Dia kehilangan akal. Bagaimana caranya agar Juna mau bersamanya ke kamar? “A—aku ….” Sebersit ide muncul di kepala Lenita dengan tiba-tiba sehingga dia berjalan lebih dekat ke Juna sambil tertatih, tapi sedikit menekan telapaknya yang terluka. “Auch!” Lenita berteriak mengaduh karena sakit pada telapak kakinya yang baru tadi siang terluka oleh pecahan kaca. Dia sedikit melimbungkan tubuhnya ke arah Juna. Sebagai panglima kuat di kerajaannya, Juna tentu sigap bergerak dan lekas meraih tubuh istrinya yang nyaris tersungkur di lantai. “Hati-hati.” Juna mau tak mau berdiri dari kusrinya sambil membantu Lenita menegakkan badan. “Uffhh … sakit ….” Lenita merintih lirih, berharap iba Juna. “Makanya jangan sembarangan bertingkah.” Juna menekan kekesalannya jika teringat tindakan konyol istrinya tadi siang. “Iya, iya, aku tah
Gondo dan Desi sama-sama terkejut mendengar pertanyaan dari Juna.“Ma—maksudnya bagaimana, Pak Juna?” Gondo yang merupakan direktur keuangan, bertanya karena tak ingin salah tangkap kalimat Juna.“Pertanyaanku sesederhana tadi, kalian masih ingin bekerja di sini … atau tidak? Kalau sudah tidak ingin bekerja di sini, saya akan berikan surat pemberhentian kalian dan kuberi uang pesangon.” Juna menganggap dirinya masih baik karena berniat memberi usang pesangon andaikan dua orang itu memilih pergi dari perusahaannya.“Ka—kami tentu saja masih ingin bekerja di sini, Pak!” Desi sebagai direktur pemasaran, tak ingin kehilangan pekerjaan secara mendadak begini. Gondo mengangguk menyetujui ucapan rekan kerjanya.“Baiklah!” Juna mengangguk tegas cukup sekali dan berkata, “Kalau kalian memang masih ingin bekerja di sini, maka tolong lebih serius pada divisi kalian.”Gondo dan Desi saling berpandangan, tak begitu paham makna kalimat Juna arahnya ke hal apa.“Masih bingung?” Juna menatap dua dire
Lenita menghentikan makannya dan menatap sejenak suaminya yang baru saja mengatakan sesuatu yang membuatnya termangu.Bulan madu. Ya, itu adalah sesuatu yang pernah diucapkan Juna di meja makan. Ternyata suaminya masih mengingat mengenai itu.“Um … memangnya kalau kakiku tidak cepat sembuh, kau akan bulan madu dengan siapa?” Ada gurat cemberut di raut wajah Lenita.“Dengan guling.” Juna menggusak poni panjang Lenita. Ternyata menggemaskan juga istrinya ini meski kerap bersikap kasar tak sopan padanya.“Jadi kau lebih suka bulan madu dengan guling?” Lenita makin mengerucutkan bibirnya, menunjukkan sikap merajuk meski tak berani memaki Juna seperti biasanya. Dia harus berhasil membuat Juna takluk padanya.“Loh, tadi kau tanya kalau kakimu lambat sembuh, aku bulan madu dengan siapa, yah apa salahnya aku menjawab dengan guling? Kenapa? Mau cemburu dengan guling juga?” Juna seakan sedang menantang ketika menatap istrinya meski dia menahan tawanya.“Kamu jahat!” Lenita bersiap menangis.“Su
Seorang lelaki digoda di bagian yang paling berbahaya, mana bisa menahan diri?Namun, itu orang lain. Berbeda dengan Juna yang telah melalui didikan militer keras di era dia dan tidak terbilang sedikit pengalamannya bertahan dari segala macam situasi sampai yang mengancam nyawa pun kerap dia hadapi.Maka, Juna lekas menangkap tengkuk Lenita dan menarik kepala ke dekat mulutnya agar sang istri bisa mendengar ucapan tegas bernada rendah darinya, “Berhenti, Len, atau aku akan ke ruang perpustakaan dan tidur di sana.”Tangan Lenita membeku dan perlahan ditarik dari selangkangan Juna agar suaminya tidak benar-benar pergi membiarkan dia tidur sendirian seperti hari-hari belakangan ini.Raut masam di wajah Lenita bersamaan ketika dia bertanya, “Memangnya aku salah melakukan itu ke kamu, Jun? Kamu kan suamiku. Lagipula … aku sudah tidak marah-marah lagi ke kamu belakangan ini, kan?”Juna ingin tertawa mendengar suara protes istrinya yang mencicit pelan seakan takut kalau kalimatnya membuat di